cari kata

Rabu, 28 Maret 2012

Silent Majority dan Floating Mass

Sebagai pelajar ilmu komunikasi massa,  harus mempelajari lebih dalam tentang massa itu sendiri. Massa, publik, rakyat secara singkat adalah sekumpulan individu yang memiliki resepsi kognitif beragam namun dapat terpola.
Pada saat dulu jaman orde baru, silent majority dikenal, karena slogan  : ‘politik no, pembangunan yes’. Dengan manajemen orde baru yang militeristik,  rakyat  cenderung memilih sikap silent atau diam. Identitas politik individu pada rakyat tidak terlalu ditonjolkan oleh rakyat, dan rakyat memilih kemapanan hidup, stabilitas ekonomi keluarga dengan cara mengejar ekonomi dan bekerja untuk memenuhi nafkah masing-masing.
Romantika revolusi yang dibawa orde lama tidak ada lagi setelah benturan besar dua ideologi massa saat itu, yakni yang menganut paham sosialis dan menganut paham kapitalis, saling bertabrakan dashyat sehingga korban jiwa jutaan berjatuhan.
 Kemudian rakyat yang tertegun menjadi silent (diam) karena melihat konflik berdarah  yang menghancurkan (devastating)  secara mengerikan dari konflik dua ideologi fundamental di masa geo politik terbagi menjadi dua kutub sosialis dan kapitalis. Di pedesaan terjadi konflik berdarah berbasis tanah, kebetulan tuan tanah pemilik kapital tanah luas adalah  berlatar religi, sementara yang berharap dibagi tanah adalah abangan yang diklaim sebagai pemihak sosialis.
Setelah rakyat melihat betapa mengerikannya benturan dua ideology yang mengacu pada geo politik saat itu, maka saat orde baru mengambil alih kekuasaan, silent majority mulai terbentuk. 
Silent majority ini adalah rakyat yang tidak secara terang-terangan menyatakan sikapnya memihak pada partai politik tertentu. Mayoritas rakyat Indonesia saat orde baru menjadi diam untuk mencari selamat.
Saat orde baru jatuh karena problem moneter serius dan tidak lagi mendapat kepercayaan lembaga finansial internasional,  maka seolah-olah rakyat telah bangkit dari tipologi floating mass menjadi fundamental mass. Padahal bukan. Rakyat pada saat orde baru jatuh sebenarnya tetap menjadi floating mass.
 Orde baru pada hakekatnya jatuh karena uangnya habis, anggaran morat-marit akibat tergerus fluktuasi kurs moneter.  US Dollar yang dibutuhkan untuk membayar hutang luar negeri pemerintah dan swasta melambung  karena, di pasar uang supply US dollar menurun dan demand  untuk US dollar guna membayar hutang meningkat.  Di sisi lain yang mudah terlihat di media massa adalah kiprah mahasiswa menjatuhkan orde baru. Pada hakekatnya ada peran dari mahasiswa, namun peran utama kejatuhan orde baru adalah karena negara-negara donor dan lembaga keuangan internasional tidak lagi memberi kepercayaan pada Orde Baru, pasar keuangan merespon negatif, dan menghargai rupiah murah karena hutang luar negeri yang jatuh tempo harus dibayar dengan US Dollar.
Kini silent majority sebenarnya masih ada. Siapakah  kini silent majority di Indonesia ? jawaban saya adalah : silent majority di Indonesia yang paling mudah terlihat adalah kaum hawa, kaum ibu-ibu dan kaum perempuan yang jumlahnya adalah relatif fifty- fifty dengan kaum laki-laki.  Dalam pemilu misalnya, kaum ibu-ibu ini memiliki mind set sendiri, yang khas mind set wanita secara natural. Wanita menginginkan kemapanan, mendambakan stabilitas keamanan (piramida maslow) dan impian untuk kondisi keluarga yang lebih baik. Pada saat kaum wanita bersama-sama kaum pria pergi ke tempat pemilu, kaum wanita tentu memilki hak suara yang sama dengan kaum pria.
Kaum wanita, ibu-ibu, remaja putri boleh berbeda pendapat dengan suaminya, boleh berbeda pilihan dari sang pria kawannya.  Dalam keluarga, pilihan wanita boleh sah berbeda dengan suaminya.
Kaum wanita secara nature memilih pemimpin dengan kriteria umum yang disukai oleh kaum hawa.
Kriteria itu adalah :
1.Fisik yang gagah
2. Terlihat mampu memberikan perlindungan dan pengayoman.
3.Mengesankan dan kharismatik; yang membentuk alam bawah sadar seorang wanita bahwa inilah pemimpin idola yang sayang keluarga dan adil.
Jadi silent majority pada hakekatnya adalah didominasi oleh kaum perempuan. Meski pria juga banyak yang memilih sebagai silent majority, namun secara maskulin pria bisa lebih bebas menyuarakan pikirannya kepada rekan-rekan sesama pria.
Dan karena jumlah wanita di Indonesia  ini adalah kurang lebih fifty-fifty atau hampir sama dengan jumlah kaum pria. Asumsi yang saya pakai, jumlah pemilih yang mendatangi tempat TPS pun antara perempuan dan lelaki jumlahnya hampir sama.
Saya melihat perempuan pergi ke TPS dengan senyum lebar dan semangat, karena ada perasaan dihargai suaranya, yang mungkin selama ini suaranya minor dan tidak dominan dalam keluarga, serta dalam balutan tradisi kehidupan wanita secara sosial.
Berbeda dengan pemilih lelaki, pemilih lelaki lebih terfraksi atau berbeda kriteria memilih pemimpin. Lelaki pada umumnya juga memilih pemimpin berdasarkan rasio pikiran lelaki yang lebih kompleks. Sementara perempuan memilih pemimpin berdasarkan emosional dan naluri perasaannya sebagai wanita. Perempuan pada umumnya lebih diam dan mengandalkan insting keibuannya guna mencari kedamaian dari sosok pemimpin.
Tidak heran pemimpin yang terpilih adalah sosok yang anteng, maskulin,  lebih tinggi besar, ganteng gagah dan bercitra mengayomi. Pemilihnya adalah mayoritas perempuan. Citra pemimpin dengan kriteria ini sudah ada dalam masyarakat manusia sejak 20.000 tahun yang lalu saat manusia masih hidup dalam puak kecil di gua-gua.
Kini Indonesia tengah dililit persoalan korupsi yang serius, dan pemimpin yang dicitrakan itu mendadak turun citranya karena korupsi membelit orang-orang di sekitar pemimpin itu.
Silent majority masih berlaku dan floating mass masih berlaku.  Floating mass adalah massa yang sengaja mengambangkan dirinya,  karena tidak ingin  mencolok dalam menunjukkan ideologi politiknya. Resiko keamanan telah dialami saat benturan massa yang fundamemtal secara ideologi terjadi di masa lalu.  Dan yang kedua; floating mass terjadi karena rakyat sudah tidak mengenali lagi apa itu ideologi. Ideologi bukan lagi di otak rakyat, namun di perut rakyat. Ideologi adalah sembako dan itu final bagi silent majority, sekaligus yang mendasari langgengnya  floating mass di Indonesia.
Bagi pemerintahan negara dunia ketiga :  selama dunia internasional terutama negara-negara donor masih mempercayai administrasi sebuah pemerintahan di negara dunia ketiga, - dimana negara dunia ketiga sebagai penyedia bahan mentah untuk negara maju/donor-, maka dipastikan pemerintahan negara dunia ketiga itu akan baik-baik saja.
Hubungan negara dunia ketiga dan negara adi kuasa dan negara donor telah menjadi faktor hubungan internal, dan bukan lagi faktor hubungan eksternal.

Garis Massa
Indonesia praktis tidak lagi mengenal adanya garis massa. Karena garis massa hanya dikenal pada saat Indonesia baru saja merdeka. Saat romantisme revolusi, garis massa terbentuk. Dan kemudian garis massa menjadi samar dan tidak lagi dianggap penting setelah orde baru berkuasa.  Garis massa adalah sebuah line atau sebuah garis ideology yang dianut secara militan dan mendalam oleh massa yang telah mendapatkan pendidikan politik dari partai politik secara intens.
Saat orde lama,  garis massa menjadi perhatian ilmu politik karena semangat rakyat yang baru saja merdeka masih menggebu-gebu untuk menunjukkan identitas nasionalnya.
Kini massa yang ada adalah  mayoritas floating mass (massa mengambang). Bahkan adanya sentimen parsial di tingkat grass root masih kerap melihat ‘baju’ orang.
Dengan begitu, rakyat Indonesia yang mayoritas lebih memilih damai, dipastikan secara mayoritas lebih baik menjadi massa mengambang daripada berdebat dengan tetangganya yang terlihat lain pakai ‘baju’lain dan tentunya beda pendapat.
Agaknya silent majority dan massa mengambang masih akan terus terjadi di Indonesia karena ideologi sekarang, entah mau pakai baju apa saja, adalah ; mayoritas ber-ideologi merkantilisme, di mana setiap orang secara sah boleh bermimpi akan menjadi pelaku ekonomi yang bertarung di pasar bebas kapital-free market liberal. Survival of the fittest.
Seperti di Amerika bahwa American Dream adalah menjadi impian sah setiap orang, bahkan seorang buruh bekerja secara spartan, karena dalam benaknya dia bermimpi akan berkesempatan menjalani gaya hidup luks. (*)

(oleh :Mung Pujanarko, pernah berkuliah di FISIP Komunikasi Universitas Sam Ratulangi Manado-Sulut, kemudian Tamat S1 Hubungan Internasional FISIP Universias Negeri Jember Jawa Timur, Alumnus Program Magister pada Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.)

Selasa, 27 Maret 2012

Eskalasi Massa CRRRC (2)

Mengamati dari dekat aksi demo terutama di Ibu Kota Jakarta pada hari ini rabu (27/3) ini, terlihat eskalasi massa telah sampai terjadi pembentukan crowd (kerumunan massa) dan masuk pada tahapan rage (kemarahan) serta raid (penyerangan). Durasi akselerasi eskalasi mulai dari awal crowd berkumpul, berorasi sampai dengan memicu rage dan raid berlangsung antara 3-4 jam. Sementara di Makassar, massa terlihat lebih mudah cepat naik eskalasinya dari crowd hingga mencapai tahap rage dan raid membutuhkan waktu kurang dari 3 jam.
Hari rabu (27/3) ini tentu saja menjadi evaluasi baik pihak aparat keamanan yang selalu tekun mengatur strategi, juga wacana bagi pihak pendemo.
Kelemahan pihak pendemo terlihat bahwa ternyata tipologi massa mengambang (floating mass) masih mendominasi para pendemo. Apalagi ada seruan seorang ketua umum sebuah partai besar dimana beliau menarik kembali seruannya untuk mengerahkan massa partai. Ketua umum partai besar ini menarik kembali seruannya dan ganti menyerukan massa partainya agar tidak berdemo turun ke jalan. Saya belum melihat apa alasan politiknya. Kemungkinan seperti yang sudah-sudah Presiden telah memegang sejumlah kartu truf yang membuat ketua umum partai menarik kembali seruan bagi massanya untuk berdemo. Ini demi kepentingan politik, its all about politics at highest level.
Rabu 27/3 ini endurance massa pendemo lumayan kuat bertahan hingga sore hari melaksanakan aksi demonya. Terutama ketahanan elemen mahasiswa yang memang relatif tidak dibebani dengan kewajiban mencari sandang pangan untuk keluarga.
Sementara aksi sporadis buruh terbatas (limited action) karena buruh sendiri juga harus kembali bekerja demi nafkah keluarga.
Aksi demo rabu (27/3) ini eskalasinya berhasil diredam hingga sampai tahap raid terhadap aparat saja. Dan penanganan aparat kemanan dari polri dan beberapa kesatuan tentara yang terlatih baik, saya melihat cukup bagus. Meskipun ada improvisasi dari aparat polisi yang ganti balas melempar batu kepada massa pendemo, dimana hal ini sebenarnya tidak perlu dilakukan. Karena melihat formasi aparat yang maju teratur sudah mampu mendesak massa pendemo hingga keluar titik demo.
Titik konsentrasi demo menjadi krusial dan penting maknanya bagi massa pendemo, karena assembly point atau titik berkumpul di depan obyek vital simbol itulah yang menjadi golden square atau kotak emas yang memancing publikasi dari media. Jika massa crowd pendemo berhasil didesak keluar dari titik demo yang strategis, maka aksi demo akan kehilangan lokasi strategisnya dan aksi demo menjadi kurang strategis pula untuk mendapat sorotan publikasi.
Sebenarnya dari sudut pandang saya, dari aksi demo inilah terlihat benar profile aparat keamanan. Jika hasil rekrutan bagus maka, gerakan setiap personel pasti terkontrol, sebagai hasil latihan fisik dan mental yang teratur. Saya dapat melihat ketika aparat berhasil mempertahankan formasi (hold the line) dan dengan teratur maju memecah crowd yang sedang naik eskalasinya menjadi raid, hal ini menjadi bentuk kedisiplinan tersendiri dari aparat keamanan yang sudah jauh lebih baik penanganan demo-nya dibanding tahun 1998 saat saya masih menjadi mahasiswa S1 dulu. Sebaiknya dalam demo tahun ini aparat keamanan juga lebih baik dalam memperlakukan setiap mahasiswa yang terjebak dalam formasi aparat.
Tapi jika aparat mudah sekali terpancing emosi, maka sebaiknya ini menjadi bahan evaluasi dari pihak keamanan itu sendiri.
Aksi menolak kenaikan BBM selalu disuarakan rakyat, karena itu masalah BBM adalah masalah sensitif buat rakyat.
Kembali pada aspek demonstasi massa, dalam disiplin ilmu komunikasi massa, interaksi antara aparat keamanan yang berhadapan head to head dengan massa pendemo, masih saling menggunakan bahasa verbal dan non verbal dengan simbol-simbol kekerasan (violence). Saya menyayangkan satu-dua orang mahasiswa yang tertangkap terlihat terang-terangan dihajar oleh beberapa orang aparat keamanan dan diseret untuk diamankan.  Pemandangan ini justru makin menyulut rage dan meningkatkan raid dari crowd.
Dari sisi media massa, adegan-adegan dramatis inilah yang sangat disukai oleh media dan mendatangkan banyak iklan.
Penonton televisi sangat menantikan untuk menyaksikan tayangan demo karena dalam demonstrasi terdapat unsur :
1.    Action
2.    Drama
3.    Adegan violence yang memang disukai oleh audiens.

Tayangan violence selalu mendapatkan rating tinggi di televisi dan memancing penonton dalam jumlah signifikan. Aksi massa pada Rabu (27/4) ini menjadi penting bagi aparat keamanan yang stand by berjaga dan juga para pemikir dari massa pendemo, penting bagi kedua belah pihak untuk bahan evaluasi dan strategi di lapangan.
Dan karena BBM belum naik secara aktual maret-april 2012 ini, maka aksi massa yang terjadi, hanyalah permulaan dari aksi-aksi massa yang kemungkinan akan terjadi lebih besar lagi, dengan dipicu opsi pemerintah yang bebas menaikkan BBM. Saya maklum apabila mahasiswa jadi gemas kepada pemerintah, karena pemerintah terlihat patuh sekali pada mekanisme pasar minyak dunia : minyak dunia naik, pemerintah menaikkan BBM,- pasar minyak dunia turun, pemerintah ikut pula menurunkan BBM. Tidak heran, karena Negara Republik Indonesia memang menganut paham liberalisme di segala bidang.
Untuk itu kita semua sebagai pemerhati ilmu sosial dapat senantiasa mengamati gejala-gejala dalam masyarakat sosial kita. (*)
(oleh Mung Pujanarko : menempuh thesis pada magister jurnalistik,  dan mengajar jurnalistik, pernah menjadi wartawan yang sering meliput aksi demo)

Tipologi Massa dan Eskalasi CRRRC

Massa demonstran di Indonesia relatif tidak memiliki basic kohesivitas yang kuat seperti halnya massa pendemo di Korea Selatan atau Jepang.
Setelah pergolakan tahun 1965 dimana massa yang berbasis sosialis  dibenturkan dengan massa yang berbasis kapitalis, langsung menjadikan massa di Indonesia menjadi massa mengambang (floating mass).
Dalam berbagai aksi demo, terlihat jelas bahwa tipologi floating mass atau massa mengambang  adalah tipologi struktur massa yang membentuk aksi demo.
Di Jepang atau Korea Selatan kita melihat kohesivitas massa begitu kuat. Kita bisa melihat  di televisi  saat buruh dan juga mahasiswa Korea Selatan atau Jepang  berdemo, terlihat kompaknya.
Ini karena massa  Korea Selatan dan Jepang  bukanlah floating mass melainkan berasal dari struktur masyarakat yang satu.  Masyarakat Jepang dan Korea Selatan relatif  tidak terlalu terfragmen dengan suku agama dan ras. Seluruh semenanjung Korea adalah kebanyakan orang Korea, sukunya sama. Orang Jepang juga begitu seluruh Jepang sukunya adalah ras Jepang,  tidak ada fragmen kesukuan yang signifikan. Ada guyonan yang mengatakan kalau pergi ke Korea dan Jepang ya kita ketemunya dengan orang-orang yang sama, artinya orang Jepang yang  rasnya juga homogen.
Sementara di Indonesia, terdiri dari beragam suku yang memiliki adat  dan kebiasaan yang membentuk alam pikiran dan tindakan masing-masing.
Tipologi Massa di Indonesia adalah satu tipologi yakni : massa mengambang (floating mass). Sekali lagi, massa mengambang terjadi setelah benturan dua massa berideologi  fundamental sosialis dan fundamental kapitalis,  berbenturan dengan hebat, yang mengakibatkan jutaan orang menjadi korban. Setelah benturan usai, Orde Baru menikmati menggiring massa yang memang telah mengambang dan tidak punya ideologi yang fundamental lagi.
Masyarakat yang tak punya ideologi dan hanya memiliki  satu jalur pikiran kapitalisme, menjadi massa yang makin mengambang dan renggang.
Dalam aksi demo, terlihat massa mengambang memiliki durasi demo dan endurance yang lebih sedikit daripada massa yang  memiliki ideologi fundamental.
Di Korea dan Jepang meski sama-sama kapitalis, namun pemahaman akan wawasan ideologi kebangsaan berbeda dengan di Indonesia. 
Di Jepang dan Korea Selatan penguasa lebih memiliki niat dan kesadaran untuk tidak melebarkan kesenjangan sosial. Petani dan Buruh sebagai anak bangsa dilindungi, diberi jaminan sosial dan memiliki kebanggaan akan kemajuan teknologinya. Di sisi lainnya, pengusaha kaya dan konglomerat Jepang dan Korea Selatan juga masih memiliki rasa kebersamaan sebagai satu bangsa, kebanggaan yang sama. Karena itu biarpun dalam aksi demo, terlihat kebanggaan sebagai orang Jepang dan Korea masih tertanam kuat di benak massa. Kebanggaan sebagai citizen (warga negara) Jepang dan Korea Selatan menciptakan kohesivitas massa dalam aksi demo mereka.

Eskalasi CRRRC

Di dalam aksi demo, yang dapat terjadi di mana saja, terdapat kecenderungan Eskalasi Massa CRRRC : (crowd yang dapat berkembangcmenjadi  rage /kemarahan dan selanjutnya dapat bekembang menjadi raid dan kemudian riot/kerusuhan dan terakhir menuju situasi chaos/huru-hara besar) dapat terlihat kecenderungannya.

Ada aksi demo yang hanya sampai tahapan crowd saja kemudian bubar, ada yang sampai tahap rage dan raid kemudian dipadamkan, adapula yang sampai  riot dan chaos, tanpa terlokalisir dengan baik.

Aksi demo yang terjadi pada tipologi massa mengambang (floating mass) biasanya terlihat awalnya bergerak solid menuju tempat demo, namun karena massa pendemo terfragmen menjadi banyak ragam kelompok, maka pendemo sendiri bisa terjebak menjadi saling gesekan dan saling prasangka antar kelompok pendemo. Kohesivitas massa mengambang amat lemah.
Namun adanya provokasi intern dan ekstern yang memancing rage dari massa demonstran mengakibatkan aksi tidak lagi hanya sebatas crowd. Aparat keamanan biasanya telah paham akan ‘panic mass management’. Rage dan raid biasanya cenderung membuat barisan  massa panik dan terurai, tercerai-berai. Dan aparat hanya perlu mengantisipasinya dengan  ‘panic mass management’.

Namun  dalam situasi tertentu, bisa terjadi demo yang diselenggarakan oleh tipologi massa mengambang (floating mass) dapat segera mencapai momentum kuat, dan menuai simpati dari masyarakat luas apabila dalam demo terjadi ‘kecelakaan’ yang mengakibatkan  beberapa orang demonstran menjadi martir.

Dalam aksi demo yang dilakukan oleh gabungan kelompok-kelompok massa, -biarpun dengan kohesivitas awal lemah-, namun bila terjadi situasi gugurnya martir dalam aksi demo, maka seketika dapat segera meningkatkan kohesivitas massa itu  menjadi solid.
Momentum terjadinya fenomena martir dalam  aksi demo, segera membawa opini publik yang berlawanan dengan opini kekuasaan.
Bila opini publik telah menjadi tsunami opini, bisa menerjang kekuasaan dengan cepat.
Untuk itu kita semua sebagai pemerhati imu sosial dapat senantiasa mengamati gejala-gejala (sign) dalam masyarakat sosial kita.

(oleh Mung Pujanarko : pernah bekerja sebagai wartawan 'Surya' Surabaya dan Duta Masyarakat biro Jakarta. Saat itu sebagai wartawan seringkali meliput aksi demo, baik itu demo di depan Istana Negara, demo di Bundaran HI dan tempat-tempat pendemo lainnya. Kini menempuh thesis pada Magister Jurnalistik IISIP Jakarta dan mengajar pada FIKOM Jayabaya dan FISIKOM Unida Bogor)

Senin, 26 Maret 2012

Eskalasi Massa C - R - R - R - C


Crowd, Rage, Raid, Riot, Chaos
adalah urutan dari eskalasi massa. Pengetahuan ini sebaiknya dimengerti oleh segenap pemerhati komunikasi massa.
Dalam ilmu komunikasi massa mahasiswa ilmu komunikasi telah diajarkan sejumlah teori massa. Teori massa (mass theory) kuno yang dikenal manusia dalam sejarah didapat dari para penguasa militer Mesir Kuno 4000 SM. Menurut sejarawan favorit saya Hendrik Van Loon dalam bukunya The History of Mankind (saya punya edisi pertama bukunya terbitan tahun 1926),  mengatakan bahwa bangsa Mesir kuno dengan pimpinan para pharaoh telah sangat memahami teori komunikasi massa, dan teori massa.
Dengan begitu para penguasa mesir kuno bisa membangun piramid dengan mengerahkan tenaga massa yang luar biasa. Diketahui bahwa pembangunan piramid bukan hanya produk kaum kaum budak yahudi di mesir kuno, melainkan juga oleh warga negara mesir yang bebas namun telah dimotivasi dengan komunikasi massa yang baik dari para pharaoh secara turun-temurun memimpin mesir.
Teori Komunikasi Massa ini kemudian dikembangkan oleh bangsa Yunani dengan canon komunikasi Aristoteles. Kemudian dimodernisasi oleh bangsa Aria Jerman di awal abad 20 yang membanggakan dirinya bahwa Aria Uber Alles atau bangsa Aria adalah bangsa yang paling unggul. Josef Goebbels dikenal sebagai komunikator massa Jerman yang ulung.
Dalam eskalasi massa ahli komunikasi Mesir kuno telah memformulakan adanya eskalasi CRRRC atau Crowd (kerumunan) dimana kerumunan  massa atau Crowd ini secara garis lurus dapat berkembang menjadi  Rage (kemarahan) massa dan kemarahan atau Rage berkembang menjadi Raid (penyerangan) dan apabila dibiarkan maka massa akan menuju ke situasi Riot (kerusuhan) dan Riot bila dibiarkan akan menuju ke situasi Chaos.
Eskalasi CRRRC ini lazim dipahami oleh pemerintah di seluruh dunia sekarang ini. Maka itu dalam demo BBM yang marak sekarang ini  pemahaman akan eskalasi massa ini harus dimengerti  oleh kita semua. Bahwa Crowd (kerumunan) massa yang berkumpul  adalah merupakan agregat dari sekumpulan individu. Agregat massa ada dua jenis :
1.Agregat massa teratur (organized)
2Agregat massa tak teratur (non organized)

Agar agregat menjadi kelompok diperlukan kesadaran pada anggota-anggotanya akan ikatan yang sama yang mempersatukan mereka. Kelompok (organisasi, baik organisasi formal dan informal) mempunyai tujuan dan melibatkan interaksi diantara anggota-anggotanya

Sekarang bila kita bicara tentang massa pendemo, memang ada beberapa kelompok pendemo yang terlihat teratur dari organisasi yang teratur, tapi sebenarnya keteraturan kelompok-kelompok massa dalam situasi demonstrasi adalah bersifat fragile (rapuh) dan rentan.
Dalam massa pendemo terjadi noise dalam situasi di dalam diri pendemo dan diluar diri pendemo. Noise itu berasal dari suara megaphone (diktatif) yang disuarakan berulang-ulang dengan volume yang keras agar masuk dalam kesadaran pendemo. Kemudian noise dalam diri pendemo adalah adanya emosi dan disorientasi terhadap situasi yang dirasakan di tengah tekanan massa.
 Ketidakteraturan Crowd  berpotensi untuk tersulut menjadi Rage (kemarahan) kemarahan ini dipicu oleh provokasi baik dari pihak pendemo sendiri maupun dari pihak diluar pendemo yang berinteraksi dengan pendemo. Setelah Rage (kemarahan) yang lazim dinyatakan oleh suara-suara makian dan ajakan penyerangan,  maka yang terjadi menit berikutnya adalah Raid atau penyerangan.
Penyerangan ini bisa berarti melempar batu, sandal, kaleng dan apapun yang bisa digunakan sebagai bahan penyerangan kepada pihak lawan. Dalam bahasa Inggris, pengertian Raid tidak jauh berbeda dengan Assault. Raid dan Assault bisa terjadi secara spontan.
Sasaran Raid dari Crowd secara langsung adalah aparat keamanan yang merepresentasikan sosok pemerintah yang dianggap merugikan, /dianggap memicu demo/ dianggap tidak adil. Jadi semua representasi pemerintah yang dianggap merugikan rakyat  semua melekat pada aparat keamanan baik polisi maupun  tentara yang langsung head-to head berhadapan dengan massa pendemo. 
Dalam  kognisi pendemo / mass / crowd melihat aparat keamanan adalah figure yang keras dan berbicara/berkomunikasi hanya dalam bahasa kekerasan, seperti halnya yang memang didikkan kepada aparat keamanan.
Dan memang kekerasan adalah sebuah hal yang sulit dihindarkan apabila Crowd telah terbentuk. Yang bisa dilakukan oleh aparat keamanan dalam pemahaman ilmu komunikasi massa, hanyalah melokalisir dan mencairkan eskalasi CRRRC secara pelan-pelan.
Eskalasi CRRRC sulit dibendung, dan hanya perwira yang cerdas saja yang dapat mensiasati eskalasi CRRRC mulai dari meminimalisir sumbu-sumbu dalam crowd, dan tidak mulai meng-ignition atau menyalakan sumbu-sumbu dalam Crowd.
Aparat keamanan yang gagal memahami Crowd maka, crowd yang tidak ter-manage dengan baik akan langsung berkembang menuju Raid.
Setelah Raid terjadi maka dalam hitungan detik dapat meletus  menjadi Riot atau kerusuhan dalam skala  terlokalisir. Bila gagal dilokalisir, maka akan berkembang menjadi Chaos atau kerusuhan massal yang meluas. Kita melihat Mesir, Libya dan negara negara timur tengah sereprti Suriah sudah mengalami suasana Chaos yang berkepanjangan. Indonesia juga sudah pernah mengalami Chaos pada Mei 1998.
Jadi sebagai pelajar ilmu sosial, ada keuntungannya apabila kita memahami apa yang selama ini dipahami sebagai eskalasi massa dalam studi Komunikasi Massa tentang seluk-beluk eskalasi massa.
Saya ingat dulu tahun 1998 pembentukan PPRC (pasukan pemukul reaksi cepat) adalah mengingatkan selalu akan potensi CRRRC (Crowd- Rage- Raid- Riot- Chaos) yang hampir selalu terjadi mengiringi beragam  aksi demonstrasi yang melibatkan massa dengan jumlah signifikan.
(Oleh :Mung Pujanarko - belajar di magister jurnalistik IISIP-Jakarta)

Selasa, 20 Maret 2012

Menulis Jangan Menunggu Mood


Guna melatih skill menulis artikel, kepada mahasiswa jurusan jurnalistik di mana saya mengajar  telah saya tugaskan untuk membuat tulisan sebagai karya jurnalistik. Karya jurnalistik ini harus dipublikasikan, dan saya sarankan yang paling cepat adalah mempublikasikannya di Blog. Hasilnya hari ini ada 3 mahasiswa dari 16 jumlah mahasiswa dalam satu kelas yang telah membuat blog.
“Tulisannya masih satu pak, engga apa-apa kan pak?” tanya Dwi (20) mahasiswa saya yang telah menaikkan tulisannya tentang olah raga skateboard di blognya.
Saya sungguh mengapresiasi upaya mahasiswa untuk mulai membuat artikel dan mempublikasikan di blog. Artikel yang yang tugaskan pada para mahasiswa jurusan jurnalistik ini adalah artikel bebas bersyarat.  Syaratnya :
1. Aktual
2.Faktual
3.Menarik
4. Ditulis dalam kaidah jurnalistik.
Aktual berarti ada batasan bahwa artikel itu harus apa yang dilihat oleh mahasiswa itu, dan bukan saduran atau dari mekanisme ‘katanya’.
Faktual artinya artikel yang ditulis adalah berupa artikel yang benar-benar terjadi apa adanya, dan bukan fiksi.   Sedangkan menarik artinya topik yang diangkat bebas dan meskipun sederhana, namun menarik untuk dibaca.

   Dari melihat cara mahasiswa menulis, problem menulis yang dialami oleh mahasiswa adalah yang pertama; tidak mood, kedua ; tulisan berhenti di tengah jalan, artinya macet di tengah jalinan peristiwa/kisah yang ditulis dan sekaligus unable to continue  atau tak bisa menyelesaikan hingga kisah story itu closing.
Problema menulis yang selanjutnya adalah kesulitan fokus dalam disiplin plot-paragraf. Ide dalam paragraf sering loncat-loncat, ini pertanda sulit berpikir kronologis.
Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini mahasiswa jurnalistik saya sarankan harus memiliki disiplin menulis yang baik.
Disiplin menulis adalah biasakan menulis mulai dari judul, kemudian disusul menyusun kalimat opening yang membuka tulisan, isi tulisan yang terjalin dengan opening dan closing tulisan.
Saya menekankan pada para mahasiswa jurnalistik agar paragraf pertama adalah merupakan tiang pancang dari isi tulisan. Jadi opening (kalimat pembuka tulisan) tidak boleh dihapus di tengah sedang mengetik menyelesaikan body/tubuh  tulisan. Disiplin paragraf pertama ini sangat berguna bagi kita untuk  menyelesaikan tulisan secara cepat dan tepat. Dan jangan takut/khawatir mati gaya dalam menulis, yang penting kisahkan seperti apa yang anda alami sendiri. Jadi disiplin menulis tidak perlu menunggu mood dalam menulis karya jurnalistik. (*)

Minggu, 18 Maret 2012

Jambu Bol Jamaika di Pekarangan (1)

jambu jamaika dapat berukuran besar


Jambu Bol Jamaika disebut juga Jambu Dersono. Jenis Jamaika yang saya tanam di halaman cuma 1 pohon saja, karena keterbatasan lahan pekarangan rumah saya, namun tanaman Jambu Jamaika ini tidak mengecewakan, karena berbuah setiap musim sekali.
Maret 2012 ini di Bogor sedang musim hujan, dan Jambu Jamaika yang saya tanam tidak berbuah sebanyak musim panas 2011 lalu.
Satu dompolan pentil berisi 10 biji, tapi yang berhasil jadi besar cuma 1 sampai 3 buah per-dompol, yang lain rontok karena hujan. Saya engga semprot pakai macam-macam PPC, pupuknya ya cuma basic saja pada tanahnya.

Sementara ini, pada musim hujan ini, ukuran (size) buahnya sungguh besar, lebih besar dari musim hujan lalu 2011. Pada bulan Maret ini saya memetik beberapa buah yang cukup masak, dan ukuran besarnya mengesankan buat saya. Rasa buah Jambu Jamaika ini kebetulan manis, dan berair. Kalau warnaya merah tua cenderung gelap maka rasanya pun makin manis.

Meski buah pertama pada musim hujan ini banyak yang rontok, namun saya melihat pohon Jambu ini pentil bakal bunganya muncul lagi, bahkan sampai ke atas cabang.

Bunga Jambu Jamaika bentuknya indah dengan warna merah yang merekah.

Hama yang sesekali muncul adalah kutu daun yang membuat benjol pada daun muda, kemudian ulat pengebor batang pohon. Cara untuk mengenyahkannya adalah untuk daun-daun yang sudah benjol, petik dan buang, dan untuk lubang ulat di pohon adalah dengan celup pakai minyak tanah pada kapas atau kain kecil, kemudian sumpalkan pada lubang yang ada di pohon Jambu Jamaika.

Pekarangan saya memang saya tanami dengan beberapa tanaman buah kesukaan saya, yang sekiranya saya sulit dapat di pasar buah Bogor, seperti Srikaya New Varietas, Srikaya Merah, sedangkan khusus untuk Srikaya lokal yang sangat saya gemari (mengingat saya asal Surabaya) saya bariskan sepanjang pinggir halaman  dalam.

Bogor amat kaya dengan aneka jenis buah, dan yang biasa kita lihat di pinggir jalan, di pasar tradisional dan supermarket,  adalah hampir semua jenis buah lokal dan import, tapi Srikaya yang 'happening' buat saya, sulit saya cari di pasar Bogor, ini mungkin karena Srikaya jarang orang yang suka karena bijinya banyak, dan cara makannya yang sulit.

Dan yang baru saja berbuah di pekarangan saya, dengan letak agak berdekatan dengan pohon Jambu Jamaika, adalah Pisang Varigata (Musa varigata). Pisang Varigata ini juga kapan kapan akan saya naikkan di blog saya ini, karena bentuknya yang unik dengan warna daunnya yang belang putih hijau.
Uniknya, warna buahnya juga berwarna belang garis putih-hijau. Untuk pisang varigata ini pembaca bisa  mencari di google dengan ketik : pisang varigata maka akan muncul beberapa gambar tentang pisang varigata. (*)

(note : terimakasih untuk blog http://idesubagyo.blospot.com, bapak Ir Subagyo, M.Sc di Surabaya sering saya mintai advis via email di  : subagyo.surabaya@gmail.com, dan beliau selalu menjawab pertanyaan saya, sebodoh apapun pertanyaan saya tentang tanaman.

Senin, 12 Maret 2012

Media Blog Mahasiswa untuk Karya Jurnalistik

Mahasiswa saya sedang mengikuti perkuliahan di kampus

Di jaman informasi dan teknologi yang berkembang seperti sekarang ini, malu rasanya bila kaum intelektual muda tidak bisa untuk mengakses teknologi dan media informasi di dalam ranah new media.
Mahasiswa contohnya, sebagai intelektual muda, ternyata banyak mahasiswa yang tidak (mau) memiliki blog. Alih-alih nge-blog, para mahasiswa ini -seperti halnya adik-adiknya di SMP dan di SMU-, lebih memilih beraktivitas di dunia media pergaulan sosial yang lebih mudah dan tanpa ribet, seperti halnya di facebook dan twitter.

Dari sebanyak 16 mahasiswa jurusan jurnalistik yang saya tanya, ternyata hanya seorang saja (6,25%) yang membuktikan kalau dia punya blog, tapi blognya ini juga belum diisi baik foto atau tulisan, "Bingung pak mau diisi apa ?" ujar Kurniawan (20) seorang mahasiswa saya yang sudah membuat blog.

Sementara ke-15 temannya yang lain (93,75%) belum ada yang mau membuat blog. "Waduh", kata saya kepada para mahasiswa ini, "Di Blog kan anda-anda semua bisa menuangkan artikel, bahkan news dan feature yang selama ini anda pelajari di kampus,"
 "Enakan fb dan twit pak, langsung dapat respon," timpal anak-anak mahasiswa.
"Iya benar kalau enaknya, ya jelas enak  yang ga' susah-susah kan?, tapi anda-anda semua harus mampu menunjukkan karya jurnalistik anda yang telah anda publikasikan," jawab saya.

 Karya jurnalistik bukan hanya dipelajari secara teoritis namun juga harus dipraktekan, jadi saya tugaskan kepada para mahasiswa ini untuk membuat karya jurnalistiknya di media-media yang bisa dipublikasikan secara mandiri. Karya jurnalistik adalah berupa : news, feature, artikel, gambar, audio, audio video (auvi). Dan wajib hukumnya bagi mahasiswa jurnalistik untuk dapat membuat karya-karya jurnalistik di atas.

Tentunya amat disayangkan, kalau kemampuan menullis para mahasiswa, tidak terasah. Karena terlalu asyik dengan chatting saja, serta curhat-curhatan saja.

Kalau dilatih secara intens, mahasiswa akan terbiasa membuat karya jurnalistik

Menulis artikel di blog memang cukup sulit dirasakan, karena harus berpikir mencari tema, membuat judul dan merangkai kata serta kalimat untuk menuangkan ide tulisan artikel ke dalam blog.

Mahasiswa  kebanyakan cenderung bergaya hidup santai, dan cenderung enggan untuk membuat karya tulis meskipun itu hanyalah sebuah artikel ringan.

Untuk melatih kemampuan mahasiswa dalam menulis artikel, maka saya menyarankan agar media blog harus pula dimanfaatkan sebagai ranah new media untuk menyalurkan latihan menulis.

Sebenarnya menulis bukanlah kegiatan yang berat, karena menulis adalah menuangkan kembali apa yang kita lihat, kita dengar dan kita rasakan ke dalam sebuah wadah. Karena jaman ini adalah jaman new media, maka menulislah artikel untuk latihan membuat karya jurnalistik. Untuk itu bagi mahasiswa terutama mahasiswa ilmu jurnalistik disarankan agar memiliki blog sendiri sebagai wahana penyaluran karya jurnalistiknya. (*)

Selasa, 06 Maret 2012

CJ dan SoJo

    CJ (Citizen Journalist) dan SoJo (Solo Journalist) keduanya adalah saudara kandung dalam ranah new media. Yang dinamakan 'New Media' adalah media saluran informasi yang tergolong baru karena menggunakan teknologi informasi (TI) yang berkembang seiring kemajuan jaman. Pakar komunikasi Douglas Kellner dan James Bohman menyatakan bahwa media baru, terutama internet, memberikan potensi untuk ruang publik demokratis postmodern, di mana warga negara dapat berpartisipasi dalam perdebatan baik informasi, non-hirarkis berkaitan dengan struktur sosial mereka.
Media massa lama (Old Media) dikenal sebagai media massa yang menggunakan mesin cetak atau mesin press yang telah ditemukan pada bentuk pencetakan yang sangat sederhana telah dibuat di Cina pada pencetakan Kitab Sutra Intan yang saat ini tersimpan di British Library, karya block printing ini dicetak pada tahun ke-9 Dinasti Tang Xiantong (868 SM), dan berkembang lagi sekitar tahun 175 Masehi di Cina dan Korea. Tampilan yang terbalik di atas kayu, dan kemudian perunggu telah dibuat di tahun ini. Alat ini kemudian dibubuhi tinta kemudian ditempatkan di atas secarik kertas dan digosok dengan lembut menggunakan sebuah tongkat bambu. Kemudian sekitar tahun 1440 Johannes Gutenberg dari kota Mainz, Jerman membuat mesin cetak di Eropa.
Sementara New Media meliputi media yang menggunakan ranah internet.
Tapi semua media kini tidak mau dinamakan media lama, dan ada televisi, radio, majalah, koran dan tabloid yang mengusung pula jargon sebagai ‘new media’. Kalau maksudnya mengusung informasi yang selalu up date, ini sebenarnya adalah sifat news itu sendiri yang memang selalu baru dan diperbarui. Tapi kalau menyangkut definisi, televisi, radio, majalah, dan koran konvensional termasuk old media.
Citizen Journalist dan Solo Journalist adalah dua predikat yang sedang hangat dibicarakan di dalam dunia Ilmu Jurnalistik. Karena dua predikat ini menawarkan kemandirian, independensi, dan kebebasan untuk menyuarakan news seperti apa adanya, tanpa adanya embel-embel policy grup media. Misalnya : seorang CJ atau SoJo dapat menyuarakan kepentingan publik sebuah komunitas yang sumber air di desanya disedot habis oleh perusahaan air minum komersial, tanpa takut perusahaan air minum komersial itu tidak beriklan di medianya.
Karena itu media bagi CJ dan SoJo boleh menggunakan blog-blog pribadi dan dotcom milik personal. Ada beberapa pendapat orang yang mengatakan bahwa blog bukanlah media jurnalistik. Dalam ilmu sosial jurnalistik, yang dinamakan channel atau saluran itu sifatnya adalah luas. Media tempat berbagi news bisa berupa apa saja, karena sejarah jurnalistik sendiri berasal dari bahasa latin Diurnarii yang berarti:  "orang-orang yang mencatat Acta Diurna" atau pengumuman warta Senat Romawi yang dipahat dalam 'acta' yang bisa berbentuk lempengan marmer. Kemunculan Diurnarii pertama ada pada jaman Romawi kuno, 800 (delapan ratus) tahun sebelum Masehi. Sejarawan Hendrik van Loon dalam bukunya yang terkenal ‘The History of Mankind’ -saya punya terbitan tahun pertama aslinya tahun 1926-, mengungkapkan bahwa media tulisan sudah ditemukan jauh sebelum para Diurnarii bekerja untuk masyarakat Romawi. Catatan warta kuno sudah dibuat manusia  4000 (empat ribu) tahun sebelum Masehi, ketika Bangsa  Mesir kuno menemukan tulisan hieroglyph (hieroglyphic) yang ditorehkan di batu dan di papyrus. Kemudian tradisi mencatat ini diteruskan oleh kebudayaan Mesopotamia 2000 (dua ribu) tahun sebelum Masehi.
Jadi blog yang kini ada adalah perkembangan dari hyeroglyph, perkembangan dari acta diurna di Romawi, perkembangan dari prasasti di India dan Nusantara, juga perkembangan dari keropak-keropak kuno dan perkamen-perkamen serta naskah-naskah dalam kulit kambing, kulit unta, naskah dalam papyrus, naskah digores pada tulang, kulit pohon daun lontar dan sebagainya. Pada intinya blog di ranah internet adalah termasuk  : media.
Untuk disebut sebagai jurnalis tentu saja blogger tidak seketika disebut jurnalis, artinya tidak semua blogger bisa mendapat predikat jurnalis, namun ada blogger yang bisa disebut sebagai jurnalis. Blogger yang tidak dapat disebut sebagai jurnalis adalah blogger yang tidak memenuhi kaidah ilmu jurnalistik itu sendiri, karena pada pengertian dasarnya, jurnal yakni : catatan kronologis berisi informasi yang diterbitkan secara berkala. Jurnal bisa terbit berkala dalam hitungan detik (second), menit (minute), jam (hour), hari (daily) minggu (weekly), bulanan (monthly) dan tahunan (annualy).
Jadi bila seorang blogger tidak memenuhi standar penerbitan jurnal itu sendiri, maka blogger itu adalah disebut sebagai pengisi ruang blog atau disebut blogger saja.
Jika blogger tadi telah dapat merapikan kronologi penerbitan catatan jurnalnya (jurnal bisa berbentuk : news, feature, artikel, informasi auvi) secara teratur dan berkala, plus memahami teknik dasar jurnalistik dan memahami semua kaidah jurnalisme, termasuk elemen jurnalisme, maka blogger tadi dapat mendapat predikat sebagai seorang jurnalis.
Kita jangan rancu dengan sebutan atau predikat, jika disebut jurnalis lalu harus tergabung dalam media besar. Tidak seperti itu, analoginya seorang pedagang tidak perlu tergabung dalam perusahaan besar, seorang pedagang kecil disebut pula pedagang. Pengemudi tidak perlu punya mobil, semua orang yang megemudikan kendaraan disebut pengemudi (driver)
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia jurnalis adalah : “orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat dalam surat kabar, majalah, radio, dan televisi; juru warta; jurnalis; (nomina).”
Dalam kamus besar ini, blog dan media dotcom belum termasuk, karena kamus besar tadi dicetak sebelum marak kemunculan media dotcom sebagai media news dan media blog, apalagi jejaring sosial seperti twitter dan facebook, dan ada (banyak) orang yang menganggap bahwa ilmu sosial seperti ilmu eksakta, ngotot mempertahankan pengertian ini tanpa mau adanya change sebagai semangat perubahan.
Karena itu itulah istilah pewarta amatlah tepat bagi CJ, karena untuk citizen journalist atau CJ menjadi terjemahan pewarta warga, karena pewarta adalah orang yang mewartakan melalui media apa saja.
Banyak orang yang waktunya habis untuk berdebat, tentang kategori-kategori predikat dan subyek, misalnya : “lalu pewarta itu jurnalis atau bukan?”.  Jawabnya jelas hakekatnya sama saja, karena jurnalis dan pewarta sama-sama  mewartakan. Kalau ditulis, tidak diwartakan, nah itu namanya baru penulis diary pribadi.
Antara SoJo dan CJ sama-sama bergerak bukan dari ranah mainstream media atau media besar yang dimiliki oleh Media Mogul, atau saya sebut sebagai Media Shogun dan Media Daimyo, ini istilah untuk Tuan Besar Media.
CJ dan SoJo mewakili alternatif orang untuk menjadi jurnalis. Di Indonesa CJ dan SoJo tentu saja masih dipandang unik, dan oleh kawan-kawan wartawan reguler yang digaji oleh para Tuan Besar Media (Media Mogul) CJ dan SoJo, bahkan tidak dianggap sebagai rekan sesama jurnalis dalam pergaulan antar wartawan.
Hal ini dapat dimaklumi karena perkumpulan wartawan di Indonesia bersifat parsial, ada perkumpulan wartawan, di mana wartawannya adalah digaji oleh media mainstream, ada pula perkumpulan pewarta warga. Ini semua adalah dinamika dalam dunia jurnalistik.
Sebuah dinamika yang berlaku wajar akibat dari perkembangan dunia jurnalistik dan dunia komunikasi itu sendiri. Jadi kalau orang itu ingin bergaul, maka jangankan dengan rekan sesama peliputan berita di lapangan, dengan nara sumber siapa saja dan dengan orang macam apa saja orang itu mau bergaul, tapi kalau seorang sudah membatasi diri bergaul hanya dengan kelompoknya dan meminta kelompoknya hanya bergaul dengan orang macam dia, maka orang tadi bersifat ‘ekslusive non egalitarian’.
Banyak dinamika terjadi di lapangan peliputan berita, misalnya saja, ada seorang pewarta warga yang ikut jumpa pers, boleh tidak? Jawabnya : pada hakekatnya undangan jumpa pers terserah pada pihak yang mengundang mau mengundang siapa, bukan terserah pada yang tamu yang diundang. Artinya, pengundang boleh mengundang siapa saja yang hendak diundang.
Tapi jika sebuah lembaga publik mengeluarkan pengumuman untuk publik, maka pewarta warga, (CJ), SoJo,  dan wartawan reguler di lapangan, semuanya berhak untuk meliput seperti yang diatur oleh UU KIP (Undang-undang Keterbukaan Publik), terutama :
Pasal 2
(1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.
(2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
(3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
(4) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan UndangUndang,kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindung kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan
pengelolaan Badan Publik yang baik;
d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien,
akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk
menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Jadi tidak perlu seorang wartawan reguler yang digaji oleh Tuan Besar Media (Media Mogul) kemudian mengusir seorang pewarta warga  (CJ) dan SoJo yang tidak digaji oleh Media Mogul dalam sebuah jumpa pers yang dilaksanakan oleh lembaga publik.
Karena ada aturan UU KIP diatas. Juga diatasnya UU KIP, ada Pasal 28F UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI, yang seharusnya diketahui oleh semua jurnalis baik jurnalis yang digaji oleh Media Mogul dalam media yang disebut mainstream ataupun CJ dan SoJo sebagai pengisi New Media.
Selanjutnya saya ucapkan selamat berkarya bagi CJ, SoJo dan para jurnalis sekalian. (*)
Oleh Mung Pujanako : Dosen Ilmu Jurnalistik FIKOM Jayabaya Jakarta, & Unida Bogor.

Topik Tulisan untuk Pewarta Warga

Mencermati perkembangan akhir-akhir ini fenomena citizen journalism (jurnalisme warga) yang diharapkan dapat menjadi suara warga yang alami, dan mengembang di awal era reformasi, jangan sampai kemudian mengempis hanya karena terus dibayangi ketidakpahaman akan UU ITE (Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik).
Memang dalam ITE ini terutama bunyi Pasal 27 ayat 1, 2, 3 dan 4 :
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atauDokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Dimana ketentuan pidananya termuat dalam pasal 45 adalah :
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Maka hal ini harus diperhatikan benar bagi penggiat aktivitas media sosial dan pewarta warga yang aktif menulis dan mengunggah berita di internet, karena ranah media elektronik internet adalah salah satu wahana kebebasan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menulis topik apapun seperti : berita, feature, bahkan curhat seperti apa yang dilakukan oleh Pritta Mulyasari melalui curhatnya, namun mengapa curhat tersebut bisa dibidik serta ditembak dengan UU ITE sehingga berimbas Prita pernah masuk bui, masuk hotel prodeo.
Sebenarnya ‘kecelakaan’ penulisan jurnalistik seperti yang dialami Pritta dapat dihindarkan oleh pewarta warga jika kita sebagai pewarta warga memahami rambu-rambu yang sudah ada. Rambu-rambu itu diantaranya adalah Kode Etik Pewarta Warga, UU ITE dan UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Apalagi ditambah jika kita dalami benar makna jurnalisme dalam 9 elemen jurnalisme yang ditulis oleh Bill Kovach dalam bukunya 'The Element of Journalism' yakni :
Sembilan Elemen Jurnalisme (Bill Kovach) :
1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran.
2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara.
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya.
5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan.
6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi.
7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan.
8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional.
9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Jadi setelah kita pahami UU ITE dan elemen jurnalisme jangan sampai terjadi mengempisnya antusiasme warga Indonesia untuk meramaikan ranah citizen journalism, karena diharapkan para pewarta warga dapat memahami elemen jurnalisme yang dianut secara global ini.
Karena itu ada beberapa pakem yang kita mantapkan terlebih dahulu agar paham benar untuk memulai tulisan di ranah pewarta, pakem yang utama adalah memilih : Topik.
Saudara, memilih topik tulisan, haruslah direncanakan dengan matang, kita tidak bisa menulis sebuah kasus besar tanpa investigasi, tanpa wawancara dengan banyak nara sumber yang relevan, dan tanpa memahami persoalannya. Intinya : jika ingin menulis kasus besar, anda harus punya banyak alat bukti berupa : rekaman wawancara dengan para sumber valid dan relevan, foto- foto lokasi kejadian, bila perlu foto-foto tersembunyi, dan bahkan wawancara dengan sejumlah nara sumber yang enggan disebutkan namanya, agar wawasan anda terhadap kasus yang anda tulis menjadi clear, menjadi semakin jelas alur kasus itu.
Saudara, saya memberi contoh, sebuah topik skandal seperti Skandal Water Gate yang melengserkan Presiden Amerika Richard Nixon, skandal ini tidaklah terkuak jika tidak ada dua wartawan The Washington Post yang gagah berani melakukan investigasi dan menurunkan laporannya. Duet wartawan The Post (istilah bagi The Washington Post) Woodward dan Bernstein inilah, yang mampu menurunkan laporan investigative yang sangat komprehensif, sangat lengkap. Keduanya berhasil mewawancarai seorang saksi kunci yang mengindikasikan keterlibatan Presiden Nixon, saksi itu diberi nama sandi “Deep Throat”. Kedua wartawan itu memegang teguh rahasia nama sumbernya, sampai-sampai Presiden Nixon jatuh, keduanya tidak pernah dipermasalahkan. Tidak ada dalam catatan media yang menuntut atau menuding bahwa data kedua wartawan itu tidak valid. Nanti setelah 30 tahun kemudian, ternyata Deep Throat yang dimaksud itu tidak lain adalah Mark Felt yang merupakan orang kedua di Biro Penyelidik Federal (FBI) AS. Begitulah, sebuah skandal diungkapkan secara professional oleh kedua wartawan itu. Namun hal itu terjadi di ranah media massa yang lahir di negeri liberal demokrat yang sudah tua, setua 200 tahun lebih,di Amerika.
Di Indonesia yang mengenyam demokrasi selama 67 tahun, dipotong masa pemerintahan Suharto 32 tahun, jadi kira-kira tinggal separuhnya saja demokrasi yang sesungguhnya, era kebebasan pers masih dipijak secara ragu-ragu meski oleh dunia pers itu sendiri. Bagi diri saya pribadi -agar saya tidak bingung-, saya membagi Dunia Pers menjadi 2 (dua) secara tegas, yakni : Yang pertama Dunia Pers Profesional dan yang kedua adalah Dunia Pers Amatir. Dunia pers profesional adalah ada wartawan profesional reguler –pengertian profesional di sini bukan seperti dalam benak banyak orang yakni profesional sama dengan arti hebat dan jagoan-, namun profesional artinya adalah : Dibayar. Sementara Amatir di sini bukan pula seperti mind set banyak orang yakni Amatir sama dengan rendah, hina dan tidak ahli, namun dalam pengertian: Amatir adalah tidak dibayar, alias nir-upah.
Jika kategori antara pro dan amatir mewakili skill, maka siapapun juga bisa menjadi jurnalis handal asalkan telah mendapatkan pelatihan dan berpengalaman, pasti skill-nya akan meningkat (analogi dunia tinju amatir dan pro). Nah, di ranah pers amatir namun dapat berkeahlian bak jurnalis profesional inilah Citizen Journalism berkembang.
Yang memprihatinkan jika konsep citizen journalism (pewarta warga) yang telah sesuai dengan konstitusi kita berupa kebebasan berpendapat (pasal 28 F, UUD 1945), ini tidak disiram oleh semangat Warga Negara Indonesia untuk mengembangkannya, maka konsep Citizen Journalism ini bisa jadi hanya dibayangi ketakutan oleh UU ITE. Jika citizen journalism ini surut, maka dikhawatirkan era pemerinah otoritarian ala Suharto jelas kembali lagi, yakni era rezim yang tidak membuka kebebasan bersuara bagi warganya.
Kekhawatiran pewarta warga tidak perlu berlebihan untuk mulai menulis berita, jika anda memiliki topik yang menarik. Dan apalagi jika anda memiliki topik berita setingkat skandal yang serius melibatkan orang- orang yang penting pula, maka anda pun harus bersikap amatir yang berjiwa profesional, dalam arti biarpun tidak dibayar oleh siapapun juga asal anda memiliki bukti cukup, wawancara dan dokumen (bukti dalam pers ada dua yakni : hasil wawancara dan dokumen alias ‘people trail’ dan ‘paper trail’), juga bukti fisik yang menguatkan, dan bukanlah hanya sekedar asumsi belaka, bukan fitnah, kemudian anda memiliki bukti rekaman, baik audio maupun video yang valid, plus juga meminta pendapat sejumlah ahli tentang kasus yang anda tulis. Maka jika anda pun telah menulis dengan prinsip covering of both side atau telah berusaha meliput dari kedua sisi, maka topik hangat ini bisa anda tayangkan. Ini berarti kita telah siap apabila nantinya dijerat oleh UU ITE, karena bukti-bukti yang dimiliki oleh pewarta warga ini sudah sedemikian lengkapnya. Saya berpikir jika bukti sudah menancap sampai pada inti (core) dan rantai (link) yang melibatkan pelaku (person) secara kuat (significant), maka semua pihak yang terlibatpun akan merasa gamang jika sampai kasus ini dibuka di pengadilan secara umum melalui pintu UU- ITE.
Begitulah, karena kita harus pahami UU ITE  bagi pewarta warga, jika anda para calon pewarta warga maupun pewarta warga masih belum mampu menulis topik berat dan bernuansa berita besar sekaliber skandal politik nasional. Maka mulailah saja dengan topik yang paling membahagiakan diri anda dan orang lain, yakni orang yang anda liput, dan masyarakat yang membaca liputan anda. Seperti yang dilakukan oleh wartawan senior Bondan Winarno dalam ‘Wisata Kuliner’. Membahagiakan semuanya, yang punya warung senang, media senang, iklan ‘berenang’, dan pemirsa yang melihat juga cukup kenyang.
Namun jika selera anda keras dan berita anda seperti music heavy metal, keras dan membuat sakit telinga orang yang terlibat, maka chord atau nada anda harus pas, dalam arti sekali lagi bukti harus valid, relevan dan mampu menjadi alat bukti di pengadilan.
Ingat, slogan bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’ dibuat bukan untuk menakut-nakuti tapi harusnya menjadi penerang jiwa yang sadar bahwa argumentasi berdasar kebenaran, keadilan dan akal sehat harus maju dan ditampilkan di muka pengadilan, guna melawan argumentasi dan penafsiran hukum dari pihak yang bersalah dan merugikan alam semesta kejujuran dan kebenaran. Saya yakin Tuhan Yang Maha Esa tidaklah tidur, dan orang yang curang pasti akan masuk jurang.

(Oleh : Mung Pujanarko, saat ini staf pengajar di FISIKOM UNIDA, FIKOM Jayabaya, mantan wartawan SURYA Surabaya dan redaktur Duta Masyarakat)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons