cari kata

Selasa, 21 Agustus 2012

Hubungan Antara Citizen Journalism dengan Situs Jaringan Berita


ABSTRAK
Masa sekarang ini adalah era kebebasan informasi. Dimulai sejak rezim orde baru tumbang, dunia pers dan jurnalistik makin maju.  Era kebebasan pers ini kemudian melahirkan banyak media baru baik cetak maupun elektronik. Dan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah media berita dot.com . Munculnya situs berita dotcom ini kemudian bertemu dengan munculnya fenomena berupa Citizen Journalism (Jurnalisme Warga) dengan aktivisnya para CJ (Citizen Journalist) atau pewarta warga.

BAB I
PENDAHULUAN

      Apa itu pewarta warga atau Citizen Journalist ? Menurut Wilson Lalengkey, Ketua Umum PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) dalam, makalahnya ;“Beberapa Pemikiran Tentang Pewarta Warga”,  2006 mengatakan bahwa pewarta warga adalah : “Warga masyarakat yang turut aktif menuliskan berita, opini, dan  artikel ke dalam situs berita atau jejaring sosial yang berfungsi memberikan informasi kepada khalayak”. Sedangkan Citizen Journalism adalah Jurnalisme Warga, yakni kegiatan jurnalistik oleh dari warga oleh warga dan untuk warga.
Selanjutnya menurut Ali Imron Hamid selaku Redaktur Pelaksana situs www.koran-jakarta.com dalam tulisan “Asyiknya Menjadi Pewarta Warga” yang dimuat dalam situs  www. newsflashjakarta.com (12 Januari 2010) menyatakan bahwa  Pewarta Warga adalah orang yang membuat laporan berita baik cetak dan elektronik dalam bentuk tulisan, suara dan visual yang dibuat oleh warga dan untuk warga tanpa  terpengaruh oleh trend berita”.
 Fenomena Citizen Journalism sendiri adalah termasuk dari bagian ilmu komunikasi. Secara umum komunikasi dapat diartikan sebagai proses mengirimkan dan menyampaikan pesan untuk mencapai pemahaman bersama.
Dalam “The Elements of Journalism” (April 2001) karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, menyatakan semua aliran jurnalisme, tugas pokoknya dalah “memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas.” Praktiknya sinonim dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.
  Dengan munculnya fenomena Citizen Journalism (Jurnalisme Warga) dalam ranah ilmu jurnalistik, maka menarik untuk dikaji apakah ada hubungan antara aktivitas pewarta warga (citizen journalist) dengan tumbuhnya situs-situs berita independen  di dunia internet yang ada di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Apa itu Citizen Journalism? Bagi kebanyakan masyarakat istilah ini sama sulitnya dengan memahami ilmu jurnalistik itu sendiri. Sebenarnya melalui  aktivitas Citizen Journalism (Jurnalisme Warga), maka seorang Citizen Journalist (pewarta warga) selaku warga negara bisa dengan mudah menyalurkan aspirasi dan  tulisan-tulisan yang merupakan bentuk berita (news), atau  features (artikel minat insani) dan opini masyarakat, demi tercapainya amanat konstitusi Republik Indonesia terutama pasal 28F UUD 1945,  yang menjamin kebebasan berserikat dan berpendapat, karena ini adalah amanat konstitusi kita.
Menurut Konsep Ilmu Jurnalistik, Citizen Journalism (Jurnalisme Warga) dapat membimbing Warga Negara agar mudah menyalurkan pendapat, baik lisan dan tulisan guna melaporkan atau membuat berita (news), Feature (Artikel Minat insani), dan Opini agar tercapainya masyarakat  madani (Civil Society) yang demokratis.
 Citizen Journalist atau Pewarta Warga adalah : Warga Negara yang  melakukan kegiatan berkomunikasi  guna menyalurkan aspirasinya, baik berupa berita (news) dan feature (Artikel Minat insani), yang berdasarkan fakta yang ada dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, serta opini  warga  yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang ditampung  dan disalurkan  melaui media massa baik cetak dan elektronik. Karena kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat dijamin oleh pasal 28 F, UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka semua warga negara tanpa ada diskriminasi SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) dapat  bebas tanpa rasa takut untuk mengeluarkan pendapatnya (Pujanarko, 2010).
Sementara, Citizen Journalism adalah sebuah konsep pemikiran ilmu, dengan etimologis kata berakhiran ‘isme’ atau ‘ism’ yang berarti merupakan sebuah cabang pemikiran atau aliran intelektual. Tentu saja warga yang berkiprah dalam Citizen Journalism (Jurnalisme Warga) haruslah terlebih dahulu memahami dengan baik dan benar konsep Citizen Journalism. Citizen Journalism merupakan bentuk ‘way’ bahkan ‘ high way’ atau jalan besar -yang seharusnya bebas hambatan- agar rakyat dapat menyalurkan semua bentuk komunikasi, baik lisan dan tulisan pada media massa baik, cetak dan elektronik agar tercapai Indonesia yang Demokratis (Pujanarko, 2010).
Sedangkan landasan Demokrasi mutlak  bagi syarat tumbuh dan berkembangnya Citizen Journalism. Demokrasi sendiri dipahami sebagai  konsep hidup bangsa yang sadar bahwa aspirasi warga haruslah mendapat perhatian karena ada pepatah Vox Populi, Vox Dei  artinya suara publik adalah suara Tuhan (pengertian Demokrasi: Wikipedia:2010). Contohnya; apabila publik menuntut keadilan, maka Tuhan telah terlebih dahulu berkehendak  keadilan Universal. Jika publik mengecam korupsi, maka Tuhan telah terlebih dahulu melarang manusia untuk korupsi dan mencuri. Jadi suara rakyat banyak akan sebuah nilai-nilai yang mulia (divine virtue) datang dari Tuhan.
Namun  yang perlu dipahami, pengertian suara publik di sini benar-benar merupakan suara hati nurani publik, bukanlah rekayasa dan diatur oleh kehendak ambisi pribadi-pribadi yang mampu menggerakkan massa. Kalau sudah terjadi rekayasa, maka istilah Vox Populi-Vox Dei menjadi buram dan  mudah diplesetkan. Contohnya jika penguasa yang memiliki ambisi pribadi menggerakkan massa rakyatnya agar bersuara, maka hal itu bukanlah kehendak masyarakat secara natural. Namun jika masyarakat menginginkan sesuatu yang bersifat natural serupa keadilan dan kemakmuran, maka jelas hal tersebut datang secara natural dari hati nurani masyarakat.
Rumusan Masalah adalah  :
1.    Munculnya fenomena citizen journalism.
2.    Munculnya kesadaran masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya melalui berbagai media, baik lisan maupun tulisan apakah itu bersifat opini, berita dan feature (artikel), juga audio visual.
3.    Munculnya banyak situs berita dotcom di internet yang kini siap menampung semua aspirasi warga dari  kegiatan citizen journalism, situs berita ini diantaranya adalah www.pewarta-indonesia.com, dan beragam situs lainnya.
4.    Munculnya kebiasaan menulis berita oleh warga dalam blog, dan situs jejaring sosial.

C. Tujuan Penelitian
Penulis menggali ada atau tidaknya  hubungan antara  aktivitas pewarta warga (Citizen Journalist) dan eksistensi situs berita di internet -yang selama ini bisa disaksikan sendiri melalui internet-, berbagai situs berita dotcom  itu  mengakomodasi  tulisan pewarta warga.  Ada atau tidaknya hubungan antara variabel aktivitas pewarta warga  dengan kata lain kegiatan citizen journalism dengan variabel  situs berita dotcom di internet perlu diteliti, karena  di masyarakat  terjadi  minat untuk membat tulisan yang bersifat informatif dan berguna bagi orang lain melalui aneka situs internet.

D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian yang pertama bisa dipakai sebagai alat ukur bagi bisnis media dotcom untuk mengevaluasi dan memahami aspirasi masyarakat yang memanfaatkan dunia internet terutama melalui  situs- situs di internet.  Dunia bisnis dotcom saat ini berkembang pesat di tanah air, untuk itu pelaku bisnis perlu  dapat menilai apakah fenomena pewarta warga (Citizen Journalist) ini menguntungkan atau tidak bagi perkembangan bisnis media dotcom di tanah air.  Kegunaan yang kedua adalah bagi pelaku jurnalisme warga sendiri, adalah untuk bisa mengetahui ada tidaknya  kesempatan untuk mengirimkan hasil karya jurnalistiknya kepada beragam media yang ada di internet. Kemudian tujuan penelitian yang terakhir yang diharapkan dari peneliti adalah menjaring minat sebanyak-banyaknya dari pewarta warga karena, demi berkembangnya wawasan akan kekayaan intelektual Warga Negara Indonesia sendiri.
E. Sistematika
Sistematika penelitian menggunakan metode analisa kualitatif dari wawancara mendalam dengan sumber- sumber yang terdiri dari :
1.   Informan utama : yakni orang-orang yang melakukan aktivitas kegiatan Citizen Journalism  yakni para Citizen Journalist (Pewarta Warga), anggota dari PPWI  (Persatuan Pewarta Warga Indonesia).
2.   Informan Internal : yakni pemimpin redaksi  sejumlah media dot com yang mengakomodasi citizen journalism.

BAB II
Kerangka Teori
 Peneliti memakai landasan Teori : Teori  Media dan Teori Masyarakat yang dikemukakan oleh Dennis McQuail dalam Bukunya "Mass Communications Theory" (2005). McQuail menekankan bahwa antara Media, Masyarakat dan Kebudayaan berkaitan erat baik dalam hubungan bahkan konflik di antara ketiga aspek ini. Untuk lebih menjelaskan hubungan antara ketiganya McQuail mengutip pendapat Rosengrem (1981) tentang tipologi sederhana untuk mendefinisikan apakah media berkaitan dengan asas : "struktur sosial mempengaruhi kebudayaan”  atau kebalikannya  yakni “ kebudayaan mempengaruhi struktur sosial".

  Jad bila kita pikir bahwa media massa adaah aspek dari masyarakat, maka pilihan dari materialisme dapat dihadirkan di sini. Dengan kata lain barang siapa yang mengendalikan media maka dapat memilih atau membatasi apa yang bisa mereka perbuat. Ini adalah esensi dari posisi Marxisme yang kemudian diambil pula oleh asas kapitalisme. Baik Marxisme maupun kapitalisme pada pokoknya kedua pemeluk ideology ini  saling berebut pengaruh melalui media massa.
Bila kita pikir bahwa media adalah menerangkan segala sesuatu lebih dari kebudayaan ini berarti adalah mengindikasikan asas idealisme, kebalikanya  dengan otonomi.
Dari sini dikatakan oleh McQuail bahwa media dapat menjadi sarana pengekangan namun  juga dapat menjadi sarana pembebas, bisa menyatukan juga bisa memecah belah masyarakat (McQuail,81;2005).
Menurut McQuail dalam teori media dan teori Masyarakat, Komunikasi Masa Sebagai Proses Sosial, Perantara dari Hubungan Social dan Pengalaman
Mediasi (perantara) adalah bentuk dari relationship atau hubungan. Hubungan yang diperantarai lewat media massa biasanya adalah berjarak, lebih bersifat tidak pribadi dan lebih lemah daripada ikatan pribadi. Media massa seharusnya tidak memonopoli arus informasi yang kita terima dari semua hubungan sosial kita yang luas. McQuail mengutip Thompson (1993;1995) tentang dua type interaksi lewat media. Yang pertama ;Interaksi melalui perantara media dan yang kedua “mediated quasi  interaction” yakni media menciptakan atmosfer baru bagi hubungan sosial kemasyarakatan.
Media dotcom juga berfungsi sebagai:
1.    Sebagai jendela dari peristiwa dan pengalaman, yang memperluas cakrawala dan membuat kita mampu untuk melihat kita, tanpa campur tangan orang lain.
2.  Sebagai cermin dari peristiwa yang terjadi di masyarakat, meskipun sudut dan posisi cermin itu dikendalikan oleh orang lain.
3.  Sebagai filter atau gate keeper atau dengan kata lain sebagai penyaring dan penjaga gerbang. Penjelasannya media pada hakekatnya juga menyaring dan membatasi informasi untuk masyarakat.
4.    Sebagai disseminator atau penyampai pesan.
 Perspektif  Teori Media dan Teori Masyarakat berbeda di beberapa aspek,  tergantung dari tipe dan perubahan di masa depan. Kesemuanya tidak bisa direkonsiliasi karena perspektif dan metode yang berbeda.  Yang kedua terdapat perbedaan antara pandangan sosio sentris dan pandangan  media sentries.

Kerangka Berpikir
Peneliti sadar bahwa munculnya beberapa type media baru telah memperluas serta merubah spektrum atau  cara pandang kita secara keseluruhan. Maka itu peneliti memakai kerangka berpikir dengan bantuan pemahaman atasa media internet sebagai media baru (new media).
•  Adanya media baru (new media) seperti internet  adalah bentuk perubahan fundamental; dari bentuk sosial organisasi teknologi media,  yang diakibatkan oleh hubungan sosial atau dalam Carey (1998) yang menyebutkan ‘struktur dominat dari selera dan rasa’.
• Yang lebih penting lagi munculnya jenis masyarakat baru yang memiliki jejaring hubungan  yang kompleks membuat kita  sadar bahwa era internet ternyata tidak bisa dilepaskan dari keseharian masyarakat terutama yang butuh berinteraksi secara sosial.
• Yang dimaksud ‘media baru’ yang kita diskusikan di sini adalah fakta yang ditimbulkan dari teknologi komunikasi yang dimungkinkan terjadi akibat  digitalisasi personal yang dipakai dalam alat komunikasi.
• Contohnya  Media Baru dalam McQuail (2005;136) dalah penggunaan internet, iklan, aplikasi peyebaran media digital termasuk download music, forum dan diskusi dalama World Wide Web (www).
•  Yang paling fundamental dari teknologi komunikasi adalah : digitalisasi, di mana proses pengiriman symbol  dapat disingkat melalui  kode-kode binner kemudian dibagikan serta disimpan.
• Misalnya yang terjadi dalam ‘media elektronik baru’; dapat disaksikan oleh pemirsa  karena  adanya spektrum ketimbang hanya pemindahan barang seperti yang berlaku dalam media lama.
• Karena munculnya media baru semacam internet ini seorang ahli komunikasi massa yang dikutip McQuail yakni Livingstone (1999;65) mengatakan bahwa  “Hal yang baru dari internet adalah kombinasi dari hubungan interakltif dimana  isi media  sangat innovative untuk komunikasi massa” (McQuail 2005;138) 
• Fungsi Media baru bagi para citizen journalist berarti pula meningkatnya kesempatan utuk mengirimkan tulisannya pada media internet, semacam dotcom, blog, dan jenis- jenis publikasi dalam internet.
• Sementara bagi penerbit media baru seperti  internet peranan lama tatap berlanjut yakni menerbitkan tulisan atau materi  baik secara profit dan non profit  selain itu  penerbitan memiliki peran baru sebagai gate keeper, serta penerbit lebih leluasa intervensi pada editorial.
• Sejatinya kerangka berpikir yang sesuai dengan teori komunikasi massa terutama teori media dan teori masyarakat adalah media massa memiliki pertimbangan pada 4 hal Yakni : 1. Kekuasaan dan ketidak setaraan, 2.Integrasi  social dan pribadi, 3. Perubahan dan perkembangan social, serta 4. Waktu dan ruang. Dari empat point diatas maka perpektif dari media baru bisa di-diskusikan. Karena  dalam waktu yang tidak terlalu lama seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi massa menjadi jelas bahwa teori yang lama atau teori terdahulu tidak bisa cocok bagi  situasi media baru. Karena situasi nya sudah berubah, komunikasi tidak hanya mengalir secara vertical dari atas kebawah atau hanya  memiliki pola yang terpusat dari ‘puncak masyarakat’’ saja atau pusat masyarakat  saja.  Dalam McQuail (2005;140) McQuail mencontohkan di Amerika pemerintah dan hukum tidak bisa lagi mengontrol dan mengatur Internet seperti halnya mereka mengatur pada ‘media  lama’.
• Karena itu diharapkan terjadi fungsi sebaliknya bahwa media baru bisa memberikan kontribusi  untuk mengontrol kekuasaan dan kebijakan terpusat, terutama melalui  pengamatan dan keterlibatan suara  publik  via internet (media baru).
• Dalam Media baru terbetuk pula apa yang dinakaman Virtual Community. McQuail menjelaskan bahwa CMC (Computer Mediated Communication) memiliki ide dasar virtual community atau masyarakat virtual yang terbangun melalui dunia maya. Lindloff dan Schatzer (1998) dalam Mc Quail (2005;149) menyatakan : “Masyarakat virtual dibangun oleh masyarakat yang secara bersama-sama menyalurkan kepentingan mereka, secara sering membicarakan topik sehari-hari melalui  CMC, menjadi bagian dari gaya hidup cosmopolitan yang cair”.
Nilai-nilai dasar seperti liberalisme, demokrasi, pekerjaan, hak asasi manusia, juga etika komunikasi mengalami evolusi dan bukan mengalami kemandegan di era ekarang in meskipun itu di Negara seperti Indonesia, bahkan kesadaran masyarakat dewasa ini semakin meningkat, dan meningkatnya kesadaran warga akan hak-haknya ini kemudian disalurkan  melalui kebebasan mengeluarkan suara dan pendapat melaui saluran media,  termasuk dalam kegiatan Citizen Journalism.
 Di Negara maju bahkan  kini ada wacana baru munculnya ‘personal news paper’ atau Koran-koran pribadi melalui internet yang  disebut sebagai fenomena ‘daily me’ hal ini sudah bisa terlihat pula di Indonesia dalam content blog bahkan content situs jejaring social. 

  Pertanyaan Penelitian                                                                                 
Dalam meneliti apakah ada hubungan antara munculnya aktivitas citizen journalism dengan eksistensi media berita dotcom yang mengakomodasi kegiatan CJ di dunia internet, muncul beberapa pertanyaan dasar dari peneliti berupa:
1. Apakah media dot com itu  di bawah control tertentu ?
2. Apakah fenomena Citizen Journalism ini  muncul karena kebebasan  pers termasuk munculnya ratusan  situs DotCom serta  kemudahan membuat blog?
3. Siapa yang memiliki kepentingan ?
4. Versi  oleh siapa yang ditampilkan?
5.  Seberapa effective media DotCom  dalam mencapai tujuan kepentingan itu ?
6.  Apakah media mendukung kesetaraan dalam  masyarakat ?
7.  Apakah akses kepada media itu diatur, terutam apakah warg masyarakat yang ingin menyalurkan aspirasi melalui media DotCom itu diatur ?
8.  Bagaimana media menggunakan kekuatannya itu untuk mempengaruhi ?
Dalam tinjauan pustaka mengenai kekuasaan media lazim, dipakai 2 model yakni model Media yang Dominan dan lawannya adalah Model media yang Pluralis. Dalam media yang dominan, masyarakat menerima media itu sebagai pengetahuan atas sebuah dunia dengan sedikit respon balik. Media yang dominan oleh Mc Quail (2005:223) juga disebutkan sebagai alat dari propaganda kebudayaan, dan  produk dari kebudayaan yang imperialistis.  Namun bila masyarakat menerima  sebuah model media yang pluralistis yang terjadi adalah adanya kebebasan masyarakat dalam  memandang sebuah dunia serta timbulnya  pemahaman yang beragam dan tanggapan masyarakat atau respon yang di luar dugaan akibat adanya pendapat yang  bebas dikeluarkan.

 Tinjauan Jurnalistik terhadap Masalah
Menurut Mung Pujanarko pendiri www. suararakyatindonesia.com dalam seminar tentang Citizen Journalism yang pernah diadakan oleh PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) dalam uraiannya, Pujanarko membagi Dunia Pers menjadi 2 secara tegas, yakni : Yang pertama Dunia Pers Professional dan yang kedua adalah Dunia Pers Amatir. Dunia pers professional adalah wartawan professional-pengertian professional di sini bukan seperti dalam benak banyak orang yakni professional sama dengan arti hebat dan jagoan-, namun professional artinya adalah : Dibayar. Sementara Amatir di sini bukan pula seperti mindset banyak orang yakni Amatir sama dengan rendah, hina dan tidak ahli, namun dalam pengertian: Amatir adalah tidak dibayar, alias nir-upah. Jika kategori antara pro dan amatir mewakili skill maka siapapun juga bisa jika mendapatkan  pelatihan dan berpengalaman pasti skill-nya akan meningkat (analogi unia tinju amatir dan pro). Nah, di ranah pers amatir inilah Citizen Journalism berkembang.
Mung Pujanarko juga concern jika konsep citizen journalism (jurnalisme warga) yang telah sesuai dengan konstitusi kita berupa kebebasan berpendapat ini (pasal 28F UUD ’45),  ini tidak disiram oleh semangat Warga Negara Indonesia untuk mengembangkannya, maka konsep Citizen Journalism ini bisa pelan-pelan layu dan mati oleh kemunculan  UU ITE. Jika ini mati, maka era Suharto jelas kembali, yakni era rezim yang tidak membuka kebebasan bersuara bagi warganya
Dalam seminar itu pula Mung Pujanarko berpendapat ketakutan pewarta warga tidak perlu berlebihan dalam memilih topic jurnalistik, jika warga memiliki topik yang menarik. Dan apalagi jika citizen journalist memiliki topik berita setingkat skandal yang serius melibatkan orang-orang yang penting pula, maka Pujanarko berpesan harus bersikap amatir yang berjiwa professional. Dalam arti biarpun tidak dibayar oleh siapapun juga asal  memiliki bukti cukup, wawancara dan dokumen (bukti dalam pers ada dua yakni : hasil wawancara dan dokumen), dan bukanlah hanya sekedar asumsi belaka, apalagi fitnah, kemudian jika memiliki bukti rekaman, baik audio maupun video yang valid, plus juga meminta pendapat sejumlah ahli tentang kasus yang ditulis, maka berita itu bisa ditayangkan dengan prinsip covering of both side atau meliput dari kedua sisi.
Ini berarti citizen Journalist telah siap apabila nantinya dijerat oleh UU ITE, karena bukti bukti yang dimiliki oleh pewarta warga ini sudah sedemikian lengkapnya. “Saya berpikir jika bukti sudah menancap sampai pada inti (core) dan rantai (link) yang melibatkan pelaku (person) secara kuat (significant), maka semua pihak yang terlibatpun akan siap bila sampai kasus ini dibuka di pengadilan secara umum melalui pintu UU- ITE” ungkap pendiri www.suararakyatindonesia.com, Mung Pujanarko.
Sedangkan dalam melakukan liputan (covering) dalam  ilmu jurnalistik adalah saat yang paling menentukan dalam tugas Jurnalis. Bisa dikatakan lebih terasa excitement atau menegangkan dari pada ketika jurnalis sedang mengetik berita untuk menurunkan hasil liputannya. Namun agar kegiatan citizen jurnalis dapat berlangsung dengan baik dalam meliput berita, maka ada hal-hal yang sebaiknya diperhatikan, diantaranya :

1.    Schedulling/ Timing : Ada waktu-waktu tertentu yang tepat untuk menjalankan peliputan. Seringkali timbul pertanyaan di benak masyarakat. Saat kapankah untuk jurnalis meliput berita ? Mengapa bisa mendapatkan berita dalam waktu yang tepat ? Citizen Jurnalis yang telah berpengalaman menjalankan tugasnya sehari-hari dengan irama tertentu. Secara garis besar untuk memperoleh waktu (timing) yang tepat dalam menangkap moment ada beberapa jalan. Yang pertama adalah : Stand By  dalam meliput berita citizen journalist dapat, berkoordinasi dengan humas terkait, terutama mengenai schedule event, dan tinggalkanlah kartu nama serta nomer telpon anda yang bisa dihubungi sewaktu waktu. Peran Humas bisa menjadi mitra citizen jurnalis bila ada event tertentu semisal launching product, pres conference, press gathering, dan lainnya.
 Di dalam kondisi yang dikategorikan perkecualian yakni kondisi dan situasi genting/emergency, waktu tidak bisa diperkirakan. Dalam kondisi peristiwa genting/emergency citizen journalist atau solo journalist dapat berkoordinasi dengan sesama rekan wartawan dari berbagai media. Untuk itu membangun link diantara wartawan adalah penting karena bisa mendukung kelancaran  kegiatan sebagai citizen jurnalis atau bahkan solo jurnalis.
 Misalnya, dalam kondisi genting/bahaya seperti demo mahasiswa besar-besaran di depan gedung MPR/ DPR di Senayan, atau di depan Istana Negara, para citizen jurnalis bisa langsung saling kontak untuk mengabarkan situasi. Koordinasi antara sesama jurnalis bisa pula untuk langkah keamanan dalam mendekati lokasi titik terdekat dari peristiwa bahaya, dengan tetap memperhitungkan keselamatan diri pribadi. Seringkali jurnalis baik reguler maupun CJ dapat maju meliput ketika polisi belum bergerak dari barisan. Karakteristik kerawanan dikenal dengan  type step CRRRC (C triple RC ). Berikut ulasan singkat tentang CRRRC : CRRRC sendiri yakni singkatan dari Crowd (kerumunan), dalam kerumunan segerombolan orang berkumpul membentuk massa, dari gesekan di dalam massa terjadi perkembangan emosional, maka dari Crowd bisa berkembang menjadi situasi Rage (kemarahan). Massa yang marah mulai berteriak “ Bakar !”, “ Serbu!”, Serang !” dan aneka ragam cacian, makian, umpatan dan limpahan kekesalan. Kemudian dari kemarahan massa jika tidak diantisipasi bisa berkembang lagi menjadi Raid (penyerangan). Penyerangan oleh massa pada umumnya mencakup lemparan batu, benda- benda keras, dan massa mulai merangsek mendekati ke arah barisan aparat keamanan. Dalam kondisi ini bisa terjadi kontak antara aparat dan massa. Sampai pada titik ini jurnalis masih bisa melanjutkan liputan. Untuk selanjutnya situasi Raid bisa berkembang lagi menjadi Riot (kerusuhan). Dalam situasi kerusuhan ini, sudah terjadi benturan antara aparat dan massa. Kerusuhan apabila bisa diredam oleh aparat yang terampil maka kondisi bisa dikendalikan. Namun apabila para provokator penyusup lebih “terampil” dengan terus gigih untuk melancarkan agitasi dan taktik hit and run, Riot bisa berkembang menjadi situasi Chaos (anarki dan kerusuhan dalam major scale atau skala besar). Saudara, Chaos yang bersejarah dapat kita saksikan dalam kerusuhan Mei 1998, kemudian Malari 1974, pasca Gestapu 1965, dan mundur lagi pada 10 Nopember 1945, di mana seorang Brigjen Inggris (Mallaby) terbunuh di dalam situasi chaos.
 Untuk itu ada baiknya sebagai citizen jurnalis mengerti sedikit saja tentang karakteristik pasukan aparat kemanan. Pada umumnya aparat keamanan dibagi menjadi 2 jenis karakter, yakni pasukan TNI, dan Polri di lain sisi. Untuk demo yang melibatkan mahasiswa, biasanya Polri yang maju terlebih dahulu untuk meredam massa. Polri di sini biasanya diwakili oleh Brigade Mobile yang memang memiliki jiwa dan doktrin tempur. Sepengetahuan penulis, satuan Brigade Mobile (Pelopor, Gegana dan bahkan pula Densus 88) bukanlah musuh wartawan, tidak sama sekali. Namun wajib dingat sekali lagi bahwa kesatuan khusus itu memiliki doktrin yang berbeda sama sekali dengan kesatuan polisi lainnya, semisal Sat Sabhara atau Sat Serse. Satuan Brimob baik dari Gegana, satuan Pelopor, dan Densus 88 adalah taktis satuan tempur lapangan. Jadi hampir sama dengan TNI pada umumnya yang memiliki jiwa tempur. Untuk itu biasanya wartawan akan mencari tempat yang paling aman jika Brimob sudah mulai maju menyerang massa demonstran anarkis. Bukan apa-apa, dalam rule of combat, hanya ada dua kategori : peluru tajam atau peluru tumpul, yang termasuk di dalamnya gas air mata. Peluru bisa memantul (ricochet) dan dalam hal ini wartawan tetap bisa meliput dalam jarak yang aman, jarak dekatpun tidak ada yang melarang, dengan beragam resiko yang ditanggung sendiri, tentunya dengan memperhitungkan asuransi anda dan jaminan perusahaan.
     Kembali kepada persiapan meliput berikutnya adalah :
 2. Question List. Persiapan daftar pertanyaan, amatlah penting agar jangan sampai CJ hanya pasif menunggu lontaran komentar dari nara sumber, terutama saat melakukan wawancara door step atau mencegat nara sumber yang tengah menjadi sorotan. Wawancara door step amat bergantung pada situasi yang telah lebih dulu berkembang, maka galilah pertanyaan yang merupkan follow up dari situasi yang telah berkembang sebelumnya. Di lain sisi ada wawancara by appointment atau dengan janji terlebih dahulu. Hal ini memerlukan rincian pertanyaan yang lebih mendetail. Dan jangan sampai pula sebagai CJ dianggap tidak tahu akan materi awal, saat melakukan wawancara.
3.  Positive thinking atau berpikir positif adalah sangat penting ketika melakukan liputan. Contohnya ketika di antara rekan wartawan lainnya mulai lelah dan menyerah menanti ketidak-pastian dari sebuah situasi yang sedang berkembang di lapangan, ada baiknya wartawan tetap positive thinking dan wait and see hingga titik yang paling nadir ketika menanti ketidak- pastian sebuah berita. Maka dengan ketabahan, seorang citizen jurnalis bisa mendapatkan berita yang bermutu, di tingkat nasional mapun lokal.
4. Tenggang Rasa (Tolerance) : Sikap tenggang rasa diperlukan oleh CJ agar semua wartawan baik CJ maupun reguler dalam satu lokasi dan waktu yang sama saat menjalankan tugas, bisa merasa senasib dan sepenanggungan. Memang ada sejumlah provokator dan wartawan gadungan yang kadang menyusup dalam sebuah situasi di lapangan. Langkah yang paling baik adalah abaikan provokasi, dan tetap fokus pada beritanya. 
Sementara di sisi lain, adakalanya pula, persaingan sesama jurnalis untuk mendapatkan angle berita yang paling baik, kerap terjadi di lapangan. Hal tersebut sah saja. Tapi ada baiknya wartawan mengerti pula bahwa dalam kondisi tertentu di lapangan bisa berubah sewaktu-waktu, terutama saat meliput situasi yang memanas dan genting. Kembangkan sikap professional untuk mencari angle yang terbaik, dan di sisi lain untuk menolong sesama rekan bila dalam keadaan bahaya. Biarpun menurut hukum kapitalis menyatakan bahwa rekan wartawan lain adalah competitor di pasar media, namun solidarity among citizen journalist is beyond capitalist thing.
Bab III
A.    Metode Pengambilan Sampel
Berdasarkan  latar belakang permasalahan, maka harus dicari upaya pengambilan sampel yang valid serta kepada orang-orang atau nara sumber serta para informan yang relevan. Dalam hal ini upaya pengambilan sampel melalui dua cara
1. Yang pertama wawancara langsung di lapangan kepada informan utama, informan internal dan informan eksternal.
2. Kedua  wawancara secara tidak langsung yakni melalui email kepada para informan agar waktu mengisi  pertanyaan bisa lebih panjang.
B.    Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data secara teknik selektif yakini  wawancara hanya kepada para aktivis pewarta warga, atau orang-orang yang memang melakukan kegiatan Citizen Journalism, dengan bukti- bukti contoh karya jurnalistik yang telah di muat di media dotcom. Pengumpulan data secara selektif ini berlaku pula untuk semua informan baik informan Utama, Informan Internal dan Informan Eksternal.
Kegiatan Dokumentasi dilakukan dalam bentuk mengumpulkan contoh karya asli dari citizen journalist yang dilakukan oleh para informan, agar memang valid bahwa informan-informan Utama merupakan orang yang berkegiatan dalam bidang citizen journalism.(*)

(oleh Mung Pujanarko, anggota PPWI : Artikel berbasis studi literatur ini saya susun untuk membantu kawan-kawan semua baik mahasiswa, dan teman-teman semua dalam menyusun data bagi penelitian lanjutan (heurisme) yang berbasis pada topik tentang citizen journalism).


Senin, 20 Agustus 2012

DIKPIM dan BELA NEGARA PPWI Wujud Cinta Tanah Air



Prakata : Diklat PIM dan Bela Negara bagi anggota PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) ini telah dilangsungkan setahun yang lalu yakni pada bulan November 2011, namun kenangannya masih membekas jelas di hati sanubari para pesertanya. Diklat PIM dan Bela Negara PPWI ini digelar dengan satu tujuan  yakni : agar anggota PPWI semakin memiliki rasa cinta tanah air dan menebalkan sense of diversity atau keberagaman. PPWI sebagai organisasi pewarta warga nasional memiliki anggota di berbagai propinsi di Indonesia. PPWI ingin agar setiap anggotanya memiliki rasa cinta pada tanah air Indonesia, untuk itu dengan bimbingan Kopassus yang bersedia memberikan program training bela negara pada PPWI, maka Kopassus telah menjalankan amanat konstitusi RI yakni "Setiap warga negara berhak ikut serta dalam usaha pembelaan negara".
Mung Pujanarko sedang persiapan rapelling dari lantai 5 gedung Kopassus

Mung Pujanarko (ke-empat dari kanan) beserta kawan PPWI lain sedang menyimak survival training Kopassus

Mung Pujanarko (duduk di belakang) saat di kelas bersama rekan2 PPWI

Mung Pujanarko (paling kiri) sejenak sebelum memasang LCR

Mung Pujanarko (pojok kanan belakang) bersama rekan PPWI saat apel pagi di markas Grup 3 Kopassus

(Mung Pujanarko pojok kanan depan, memperhatikan penjelasan dari Instruktur dari Grup 3 Sandi Yudha)

(pagi push up, siang juga,..)


Rangkaian acara pertemuan nasional dan Diklat Kepemimpinan serta Bela Negara yang dihelat PPWI bekerjasama dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD, yang dihelat Markas Komando Kopassus, Cijantung berjalan dengan sangat baik. Acara tersebut dihelat selama 1 minggu sejak tanggal 20-26 November 2011. Di mata warga sipil, Diklat Kepemimpinan dan Bela Negara yang dipusatkan di Markas Grup 3, Komando Pasukan Khusus menjadi kesempatan langka dan menarik.
    Sejumlah 25 anggota dan pengurus PPWI se-Indonesia telah tamat mengikuti Diklat Kepempimpinan dan Bela Negara yang di Mako Kopassus Cijantung, Jakarta. Dengan berbagai aturan dan tata cara yang sangat ketat, puluhan anggota PPWI mengikuti perintah dan panduan dari para instruktur profesional dari Kopassus. Menurut Mung Pujanarko, pimred/pendiri situs berita www.suararakyatindonesia.com sekaligus juga merupakan Wakil Ketua Dewan Pengurus Nasional PPWI yang juga menjadi salah satu peserta diklat, pelatihan ini diharapkan dapat membentuk karakter dan mental kedisiplinan setiap anggota PPWI. 
  Mung Pujanarko menjelaskan bahwa karakter setiap orang pada hakekatnya harus dibangun. Karakter yang bagaimana ? Yakni karakter orang Indonesia yang cinta terhadap bendera merah putihnya, bukan cinta pada bendera lain. Karakter orang Indonesia yang cinta pada bangsa dan negaranya. Rasa cinta terhadap bendera merah putih dan tanah air bangsanya inilah yang dikhawatirkan semakin luntur. Menurut Mung Pujanarko yang juga sebagai pewarta warga sekaligus Dosen jurnalistik di Universitas Jayabaya- Jakarta, dan Universitas Djuanda Bogor, juga Universitas Bung Karno (UBK) Cikini, ini mengatakan bahwa Diklat PIM dan bela negara ini bukan untuk menjadi militer, namun untuk menghayati perjuangan para TKR '45 (Tentara Keamanan Rakyat) para pejuang rakyat di tahun awal kemerdekaan. "Tidak dapat dibantah, bahwa rakyat dulu langsung turun berjuang untuk melakukan kontak senjata dengan penjajah, terlatih atau tidak rakyat berjuang dengan senjata seadanya,  secepat itu rakyat bangkit untuk melawan penjajahan, kini kita sebagai elemen bangsa ingin menghormati spirit perjuangan rakyat itu di tahun 1945 dulu," urai Mung Pujanarko alias Imung Pujanarko ini.
Salah satu peserta lainnya, Fenly Sigar, Ketua DPD PPWI Sulawesi Utara memiliki kesan menarik terhadap acara yang dihelat PPWI Nasional tersebut.
"Pertama kali, saya merasa seram mengikuti acara ini, karena kitakan pewarta warga. Ingat tidak, kita sewaktu zaman Soeharto, wartawan dihilangkan atau diraibkan. Kalau sampai memuat berita-berita yang menyudutkan rezim Soeharto apalagi pemerintahannya, para wartawan akan diraibkan," urai dia dengan penuh kesungguhan.
Tapi, lanjut Sigar, ternyata sekarang setelah menit-menit awal beradaptasi, terlebih setelah disuruh jalan 2-3 kilometer dengan menyanyikan lagi-lagu nasional, ternyata di sini kita merasa seperti keluarga besar Kopassus ini. Sementara anggota  PPWI dari Sulawesi Utara lainnya yakni Maykel Tielung mengatakan bahwasannya Kopassus dan PPWI memiliki kesamaan visi dan misi, yakni mempertahankan NKRI, negara yang sangat kita cintai bersama. 
Maka Rabu, 22 November 2011 lalu itu, seluruh peserta Diklat Kepemimpinan mengikuti berbagai program acara yang telah diskenariokan khusus oleh para komandan dan instruktur Kopassus. Antara lain Pengetahuan Bongkar Pasang LCR, Pengetahuan dasar mengenai Senjata Laras Panjang (SS1, M 16), Pistol (FN 45, Glock), kemudian di-drill  dengan PBB (peraturan baris berbaris) yang ketat, ditambah mengikuti Orientasi Wawasan Kebangsaan dan pengetahuan lainnya terutama jungle survival, land survival
Menurut Mung Pujanarko selaku anggota PPWI, sekali lagi PPWI apalagi dirinya ingin mengenal senjata sebagai sarana bela negara bukan untuk menjadi militer, bukan sama sekali, tapi menurutnya rakyat Indonesia pada tahun 1945 dulu juga berjuang dengan pengetahuan senjata seadanya, ada senjata rampasan tentara Belanda, dan pada pertempuran 10 November 1945 rakyat merampas bedil Jepang dan langsung berhadapan dengan NICA belanda. "Pengenalan senjata ini bukan untuk jadi militer, contohnya di negara lain misal di sebagian negara bagian di Amerika beberapa remaja sudah lebih mahir pegang semi otomatis dari pada remaja di negara lain, karena ada semangat membela tanah air, meskipun ada ekses negatif bila senjata dibebaskan yakni peristiwa-peristiwa penembakan di Amerika misalnya"
  Sedangkan komentar dari Anhar Rosal, Sekretaris DPD PPWI Riau mengaku, penerimaan dari Kopassus sangat baik. "Ini sebuah kebanggaan bagi kita bahwasannya pelatihannya bisa memberikan ilmu bagi kita baik di lapangan terutama dalam menanamkan rasa kebersamaan dalam keberagaman," ujar dia. Harapannya, selepas dari sini karakter masing-masing anggota PPWI bisa lebih baik dan bisa menambah ilmu. Pada kesempatan Diklat tersebut, DPD Riau mengirimkan 2 orang dan DPC Siak 2 orang. "Rencananya Riau akan mengirimkan 8 orang tapi karena kendala biaya, jadi yang berangkat hanya 4 orang. Sepertinya para instruktur melayani kita dengan baik, kita harus menerima setiap keputusan mereka. Cara mendidik mereka sangat bagus," jelasnya yang kali itu memakai seragam "dinas harian" yang sangat gagah dan menarik.
Peserta belajar teknik survival
Espede Ainun Nadjib, yang notabene-nya seorang kolumnis di berbagai media massa cetak lokal dan nasional yang sekaligus menjadi Ketua DPD PPWI DIY dalam kesempatan tersebut juga mengaku bangga bisa mengikuti acara Diklat Kepemimpinan dan Bela Negara di Kopasus yang umumnya hanya bisa diikuti oleh anggota militer saja.
  Menurut Mung Pujanarko sebagai wakil ketua DPN PPWI Nasional, PPWI dapat memetik berbagai macam ilmu dari TNI, terutama kesadaran pewarta warga atas pentingnya hidup harmonis dengan diversity (keberagaman) suku bangsa dan agama, juga mengasah wawasan ketahanan nasional. (*)

Sumber berita diolah lagi  dari : http://www.pewarta-indonesia.com/special-event/warta-ppwi/7136-dikpim-dan-bela-negara-bentuk-karakter-mental-anggota-ppwi.html 

Mung Pujanarko (tengah) sedang bersiap turun rapelling

Pemandangan dari atas gedung setinggi +- 30 meter

Malam juga di drill, melintasi medan sejauh 10 km tanpa lampu, dan ada ujian fisik mental pada setiap pos, peserta sedang persiapan cross night -lintas malam, terlihat Mung Pujanarko menyimak petunjuk agar tak tersesat di malam hari




Jumat, 10 Agustus 2012

Menulis untuk Mengisi Ruang Bathin

Menulis itu pada hakekatnya adalah untuk mengisi ruang bathin pribadi penulis dan pembaca. Ruang bathin manusia pada hakekatnya ‘minta’ diisi terus-menerus secara alamiah. Ada orang yang senang mengisi ruang bathinnya dengan melihat film, menonton acara-acara hiburan, dan ada yang suka mengisi ruang bathinnya dengan bekerja (istirahat aktif), berkesenian, bermain olah raga, dan menulis serta membaca.  Saya memperoleh informasi dari beberapa penulis, terutama dari Ir. Subagyo M.Sc yang punya blog di http://idesubagyo.blogspot.com, beliau mengatakan bahwa di Indonesia ini kebanyakan orang tidak suka membaca. Lebih suka menonton.
Ternyata benar, saya pikir-pikir memang  pada dasarnya manusia itu kurang suka membaca dan lebih suka menonton. Menonton hiburan adalah sarana pengisi ruang bathin no 1 bagi manusia, terutama pada masyarakat Indonesia. Kemudian pada lapisan-lapisan masyarakat tertentu ada yang suka mengisi ruang batinnya dengan menulis atau membaca, tapi jumlahnya tidak sebanyak khalayak aktif penikmat tontonan segala macam hiburan. Televisi menjadi barang wajib yang harus dipunyai oleh semua rumah tangga, atau mereka yang belum berumah tangga sekalipun. Televisi adalah barang yang keramat, tempatnya pun terhormat di dalam sebuah rumah, yakni : di dalam ruang keluarga,  di mana  quality time atau waktu yang berkualitas bagi keluarga dihabiskan sambil menonton televisi bersama.
Tapi, inilah kadang yang menjadi sebuah problem klasik bagi sebuah keluarga, karena setiap anggota keluarga memiliki acara favoritnya sendiri-sendiri. Sang anak lebih suka nonton film kartun atau nonton FTV, ibunya nonton infotaintmen dan sang ayah lebih memilih menonton berita dan olah raga. Ini sudah sangat umum sepertinya. Akhrnya quality time yang diharapkan ada di ruang keluarga ditemani sang televisi menjadi ajang perebutan channel televisi. Apalagi kalau keluarga itu berlangganan TV kabel, kemungkinan besar tak ada acara nonton bersama, yang ada adalah sama-sama nonton TV kabel, tapi  dengan decoder tambahan untuk masing-masing anggota keluarga yang menonton channel favoritnya di kamar dan ruang waktunya masing-masing. Ahirnya, tidaklah sinkron jika dikatakan bahwa quality time keluarga adalah nonton TV bareng.
Sementara seorang kawan saya mengatakan  quality time bagi diri dan keluarganya diperoleh saat makan malam atau waktu sarapan. Di kedua waktu itulah sebuah keluarga membicarakan hal-hal untuk mempererat hubungan keluarga. Namun karena desakan pekerjaan dan studi dari setiap anggota keluarga, maka  makan malam pun kadang tidak sama waktunya. Dan makan pagi juga tidak sama waktunya. Akhirnya quality time didapat keluarga hanya saat hari minggu, itupun jika punya uang pergi wisata bareng, dan jika sedang tidak punya uang, ya di rumah lagi nonton televisi bareng lagi- secara sendiri-sendiri.
Kalau sudah begini maka membaca dan menulis menjadi sebuah sarana tersendiri bagi sebagian orang  guna mengisi ruang bathin. 
Menurut Ir. Subagyo, M.Sc  yang blognya saya ikuti di http://idesubagyo.blogspot.com, beliau mengatakan  bahwa dengan menulis artikel, beliau telah menyalurkan ‘banjir’ ide di kepalanya. Pak Bagyo demikian panggilan akabnya yang sekarang berumur 74 tahun ini adalah seorang pelahap berbagai macam buku, baik berbahasa Russia, Inggris, bahasa Belanda, dan Indonesia. Karena itu blognya dipenuhi dengan artikel-artikel dari hasil bacaannya dan pengamatannya.
Waktu saya wawancarai, Pak Bagyo banyak bercerita bahwa saat mudanya dulu dia suka sekali membaca buku tentang apa saja. Dia menceritakan saat berburu buku dan memperoleh buku pengetahuan yang menarik, maka dia baca dengan senang hati sampai tamat. Jadi saat masa remajanya sekitar umur 11-16 tahun Pak Bagyo punya jadwal tetap, pagi hari bekerja membantu ibunya, kemudian berangkat sekolah, pulang istirahat (ishoma) membaca dan malam belajar. Tak heran setelah lulus SMAN 2 di Surabaya tahun 1956, Subagyo muda kemudian  diterima di Fakultas Kedokteran Hewan UGM, kemudian saat tahun 1959 ada kesempatan test untuk memperoleh bea siswa di Russia, Subagyo muda dinyatakan lulus dan berangkatlah dia belajar pertanian di Russia.
Nyaris tak ada waktu santai apalagi dugem bagi Subagyo muda, di Russia belajar secara spartan. Dan banyak mahasiswa asal Indonesia yang dipulangkan karena gagal studi terutama gagal mempelajari bahasa Russia selama 3 bulan saja. 
Setelah lulus, kemudian pulang ke Indonesia pada tahun 1966, ternyata bukannya tenaganya dipakai oleh pemerintah, malah semua mahasiswa lulusan Russia atau lulusan negara Blok Timur,  dikejar-kejar aparat untuk mengisi ruang penjara dan mengisi kuota Pulau Buru sebagai kamp konsentrasi.  Subagyo muda tabah, dan memilih menyingkir dari dunia ramai untuk bekerja di kebun kopi terpencil di ujung timur Pulau Jawa. “Yang mencari lulusan Russia untuk ditangkapi itu banyak pihak, dulu itu seperti bounty hunter party bagi setiap pihak untuk mencari kami lulusan Russia, kami dikejar-kejar bukan untuk disanjung bak lulusan Amerika, tapi ya untuk dimasukkan kamp konsentrasi di Pulau Buru,”ujar Subagyo seraya tersenyum penuh ketabahan.
Padahal menurut Pak Bagyo, ide pemuda jaman dulu yang sepaham dengan Bung Karno itu ya sederhana saja : berdikari-berdiri di atas kaki sendiri, sedapat mungkin mengurangi/menghindari hutang luar negeri yang ujungnya agar bangsa Indonesia bisa menikmati kekayaan alam Indonesia, bukan dimonopoli asing. Tapi hal itu rupanya mustahil, karena hampir tidak mungkin menghindar dari polarisasi dua kutub besar saat itu. Ide Negara Non Blok yang ingin mandiri gagal total di Dunia ini. 
Pada akhirnya, kegiatan menulis memang mengasyikkan bagi sebagian orang, dan jika tulisannya enak dibaca dan penting bagi pengisi bathin khalayak pembaca maka ada saja respon yang masuk, baik ingin menanggapi, mengkritik atau menyukai (like). Itu semua karena ada orang-orang yang tidak terlampau menyukai menonton hiburan, namun lebih suka menghadap layar komputernya yang sedang blank (putih semua) dan memulai mengetikkan huruf demi huruf memulai menuliskan idenya. 
(Mung Pujanarko, bergabung di PPWI, lihat situs www.pewarta-indonesia.com)

Jumat, 03 Agustus 2012

Komunikasi dengan Pengguna Baru Narkoba


Narkoba adalah zat yang dirasa menyenangkan bagi pemakainya, yakni para drug abuser atau penyalah guna narkoba. Sebenarnya Narkoba bisa digunakan untuk tujuan medis yakni menyelamatkan nyawa manusia dengan pemakaian yang sah/legal dan terukur secara medik. Tapi bila disalahgunakan, maka narkoba menjadi ‘permen’ untuk memuaskan nafsu bersenang-senang para penyalah gunanya.
Cara ber-Komunikasi dengan pengguna narkoba baru atau early drug abuser ditujukan bagi para orang tua, guru, dan pihak mana saja yang ingin menjalin komunikasi dengan early drug abuser atau penyalah guna baru narkoba yang telah diketahui mulai mencicipi narkoba sebagai sarana untuk bersenang-senang.
Cara berkomunikasi dengan pengguna baru narkoba dapat dilakukan dengan penerapan Teori Sikap atau Stand Point Theory (Nancy Hartsock, 1997 dalam West and Turner, 2010). Dalam teori sikap (Stand Point Theory) komunikator harus telah terlebih dahulu memahami keadaan sosial ekonomi yang melatar belakangi komunikan, karena dalam Teori Sikap diteliti setiap individu pada dasarnya adalah bagian sebuah kelompok (group), dan ketika kehidupan material distrukturkan dalam kelompok yang berbeda latar belakang ekonominya, terlihat bahwa masing-masing individu selalu berada dalam sebuah kelompok kelas masyarakat yang terpisah berdasarkan lingkungan pergaulannya.
Dalam asumsi Teori Sikap atau Stand Point Theory, Hartsock mengemukakan pemikiran bahwa lokasi individu dalam struktur kelas membentuk dan membatasi pemahaman mereka akan hubungan sosial (Hartsock dalam West and Turner 2010). Jadi bila asumsi ini dilekatkan pada pengguna baru narkotika, maka setiap inividu pengguna pada dasarnya mengerti bahwa hubungan sosial mereka (early drug abuser) terbatas pada satu kelas sosial saja dan sulit untuk bergaul lintas kelas sosial. Dalam alur pergaulan dalam satu persamaan kelas sosial, maka pembentukan group atau peer group menjadi lebih mudah terjadi. Bahkan bila di Amerika misalnya, pembentukan sebuah kelompok dalam persamaan status sosial dan lokasi dapat berkembang menjadi terbentuknya sebuah Gang (kelompok).
Saya hanya ingin mengemukakan bahwa dengan memahami teori komunikasi yakni yakni Teori Sikap (Stand Point Theory) seorang pelajar ilmu komunikasi dapat terlebih dahulu mengidentifikasi masalah terikatnya individu pada sebuah kelompok atau peer group.
Terikatnya seorang anak remaja atau individu ke dalam sebuah peer group akan menimbulkan efek loyalitas pada peer group dan keterikatan khusus pada peer groupnya. Grup atau kelompok sebaya ini menjadi identitas sosial seorang individu.
Yang patut diwaspadai jika dalam peer group ini muncul kecenderungan untuk hanya berkumpul untuk bersenang-senang, bersama tanpa melakukan hal- hal yang positif seperti belajar, berolah raga, berkesenian, ber-religius bersama dan hal- hal yang konstruktif lainnya, maka sebuah group akan mudah terintroduksi oleh kesenangan memakai narkoba. Karena efek senang (fun) dengan narkoba sepanjang pengamatan saya adalah bersifat speed (cepat) dan sudden/ seketika, juga inter-dimensional (lepas dari alam nyata).
Bagi early drug abuser, perasaan terlindung dalam sebuah peer group dalam satu lingkungan kelas sosial yang sama, membuatnya aman berbuat apa saja asalkan bersenang-senang bersama. Ini-lah yang orang tua, guru dan siapa saja yang peduli, bisa mendeteksi apakah anak-anaknya mulai mengenal narkoba atau tidak dari peer groupnya. Kata orang banyak biasanya adalah : karena pergaulan.
Kata- kata “karena pergaulan “ inilah yang diselidiki lebih jauh dengan Stand Point Theory atau Teori Sikap. Bagimana sikap individu dan kecenderungan-kecenderungannya bila berada dalam sebuah ikatan kelompok sosial yang sama.
Jika dirunut akar teori ini, bahkan Hegel sebelum Hartsock telah mendefinisikan alur Teori Sikap ini dengan menggunakan asumsi bahwa individu pada dasarnya terbagi dalam kelas-kelas sosial yang memiliki sikap yang berbeda dalam memandang kehidupan ini berdasarkan sikap dan cara pandang kelas sosial dimana individu itu berada.
Memang ada yang bilang, : “lho kan individu itu bisa bergaul dalam lintas kelas sosial yang berbeda?”
Jawab : “Kenyataannya memang bisa, tapi apakah mayoritas individu bergaul dengan kelas sosial yang berbeda?” Coba pikirkan dulu jawabannnya. Dan lihat saja anak-anak remja kita, apakah mayoritas kawannya adalah teman-teman dalam lingkup kelas sosial yang sama ataukah mayoritas bergaul dengan kelas sosial yang timpang ?
Stand Point Theory dalam ilmu komunikasi hanya membantu menjelaskan bahwa jika kita akan melakukan komunikasi maka pahami dulu beberapa asumsi Teori Sikap. Untuk membaca kecenderungan sikap Individu dalam kelompok sosial yang tersedia untuk individu teresebut.
Early drug abuser -tak terbantahkan- bahwa mereka biasanya mendapatkan pasokan narkoba dari mulai dikenalkan oleh kawan. Ingat, dikenalkan oleh kawan, oleh pergaulan. Maka sebaiknya kita teliti sejauh mana anak-anak remaja kita terikat dengan peer groupnya ? kalau peer group positif tak perlu dibahas, tapi jika peer group terpolusi oleh beberapa anasir pengembang kegiatan ‘teler bersama’ ini yang repot. Apalagi jika peergroup negatif tadi solid, maka kalau bisa sebaiknya ditarik saja individu itu dari peer groupnya.
Pada dasarnya sikap setiap individu adalah ingin mendapatkan respek dari sesama anggota kelompok pergaulannya. Respek yang keliru adalah jika dianggap ‘berani’ jika mencoba rokok, miras dan narkoba, awalnya untuk memperoleh impresi dari kelompok sebaya. Harus ditanamkan bahwa respek itu jangan asal ingin mendapat respek dari kelompok sebaya saja, namun respek bisa diperoleh dari hal yang sederhana misalnya, sadar bahwa masa depannya bukanlah tergantung peer groupnya semata, tapi tergantung pada sikap individu/ remaja itu sendiri untuk berani menjalani safe life atau hidup secara aman bagi jiwa dan tubuhnya sendiri. (Oleh : Mung Pujanarko)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons