cari kata

Rabu, 20 Maret 2013

Kiat Sederhana Untuk Sukses Berkomunikasi

Artikel  ini ditulis pertama pada Wednesday, November 14, 2007 9:21 PM

Komunikasi berasal dari pengertian dasar commune, communis, community, atau ‘komuni’ yang berarti masyarakat. Masyarakat saling berhubungan antara individu dengan cara verbal (bahasa) maupun non verbal (symbol dan tulisan), sehingga terbentuk istilah communication (komunikasi) atau proses hubungan. Pengertian dasar tersebut sangat sederhana. Namun yang kemudian acap menjadi sebuah kerumitan tatkala dalam proses komunikasi tersebut pesan yang disampaikan mendapat tanggapan keliru atau reaksi dan persepsi negatif dari si penerima pesan sehingga timbullah berbagai macam ketegangan.
 Komunikasi yang direkayasa negatif seringkali dibungkus dengan bahasa yang indah-indah untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
 Apalagi jika sang komunikan (sang penyampai pesan) sengaja mengunakan introduksi atau bahasa pembuka yang berbunga bunga, puitis dan halus untuk mempesona penerima pesan, agar maksudnya tercapai. Ini dinamakan pseudo communication atau komunikasi semu. Semu artinya tidak jelas dan tidak lugas bahkan tidak jujur, minimal jujur terhadap diri sang pemberi pesan sendiri. Untuk itu, agar kita semua meskipun mungkin anda bukanlah seorang pemerhati ilmu komunikasi, dapat memahami proses komunikasi dengan mudah, terdapat sebuah kunci sukses berkomunikasi yang mudah dipraktekkan sehari-hari.
 Yang pertama dalam berkomunikasi baik verbal mapun non verbal gunakanlah tiga tahap sebagai berikut, yang pertama yakni intro. Intro dalam bahasa pergaulan alamiah seringkali diisi dengan salam pembuka, seperti “Apa kabar?”, pujian, doa, atau kalimat pembuka pemancing percakapan. Dalam proses komunikasi non verbal ( surat, e-mail, sms, symbol) intro sebaiknya menjadi paragraf awal yang isinya adalah salam serta introduksi atau perkenalan awal. Gunakan intro untuk mengukur kedalaman minat orang yang diajak berkomunikasi. Intro amatlah penting karena dengan intro yang benar tidaklah sulit memasuki tahapan berikiutnya yakni content atau isi
Pada tahap berikutnya yakni Content (konten) atau isi adalah maksud pokok yang akan dikomunikasikan sehingga tercapai tujuan awal berkomunikasi, yakni saling memahami. Acap kali orang yang memulai proses komunikasi merupakan orang yang mempunyai kebutuhan kepada orang yang diajak berkomunikasi. Untuk itu biasakan dalam menyampaikan konten memakai 6 kaidah dalam ragam Bahasa Indonesia Jurnalistik (BIJ) seperti tertulis dalam kamus besar Bahasa Indonesia yakni Singkat, Padat, Sederhana, Lugas, Menarik, dan Jelas (SPSLMJ).
 Bila sudah dicapai satu kondisi saling memahami antar individu yang melakukan komunikasi maka suasana yang lebih rileks dapat dicapai tanpa menggunakan sarana lain seperti tempat pertemuan yang disetting, maupun tanpa suguhan yang bisa dianggap oleh sebagian orang terutama kalangan barat bisa “melemaskan lidah”  semisal minuman beralkohol, wine, dan rokok.
  Kemudian tahapan yang ketiga yakni closing (penutup). Closing amatlah penting dalam proses komunikasi verbal maupun non verbal. Closing yang bagus akan menghantarkan pada proses komunikasi pada kesempatan yang lebih erat lagi. Untuk itu selalu pahami bahwa sebelum memulai proses komunikasi inter-personal atau antara individu sebaiknya dalam diri anda terlebih dahulu terbangun proses komunikasi intra-persona atau komunikasi dengan diri sendiri yang baik, serta ada pemahaman yang positif terhadap kelebihan dan kekurangan diri yang proporsional serta berimbang, sehingga tercapai rasa jujur pada diri sendiri. Hal ini bisa mewujudkan rasa percaya diri yang bagus.
Inilah seklumit tulisan tentang kiat berkomunikasi yang sangat sederhana yang bisa dipakai oleh siapa saja. Karena sekarang ini seiring dengan gaya hidup individualistis yang makin berkembang dalam masyarakat kita, sedikit demi sedikit mulai terbangun jurang komunikasi yang lebar, baik antar tetangga, kerabat, maupun antara individu itu sendiri. Penyebabnya bisa macam macam mulai dari tekanan hidup yang kian berat, sampai pengejaran terhadap materi yang menghallakan segala cara, dan mengorbankan sikap kejujuran. (*)

Gaya Komunikasi Jalanan

Artikel 
Ditulis pertama pada Wednesday, November 14, 2007 9:23 PM

Saat ini kita sering melihat, mendengar dan merasakan cara masyarakat berkomunikasi yang bisa dibilang didominasi oleh gaya “komunikasi jalanan" atau street gang communications style. Gaya komunikasi jalanan ini makin tumbuh subur seiring tayangan hiburan di televisi dan media massa tertentu terutama acara-acara humor di televisi yang sering menggunakan makian dan istilah olok-olok. Mengapa disebut gaya komunikasi jalanan ?, karena gaya komunikasi ini cenderung kasar, sering mengetengahkan bahasa-bahasa yang mengandung unsur kekerasan, makian, penghinaan pada harkat manusia, sarkastik dan bahkan sadistik yang kerap muncul dari para penggunanya. Bila komunikasi jalanan ini awalnya hanya digunakan oleh kelompok dalam masyarakat tertentu sepreti : preman, anak jalanan, dan komunitas terminal yang memang sering bergelut dan berinteraksi dengan gaya komunikasi jalanan ini. Maka kini gaya komunikasi ini kini mulai merambah pada gaya pergaulan semua kalangan terutama kalangan menengah yang secara sosiologis cukup cendekia dan educated di dalam srtuktur masyarakat kita.
     Ungkapan-ungkapan bernada kekerasan, sarkasatik, bahkan sadis pun menjadi “wajib” dalam percakapan- percakapan sehari hari kita, baik itu di kantor, di mall, maupun di tempat-tempat masyarakat kelas menengah -yakni pelajar, mahasiwa dan profesional -biasa berkumpul. Akrab di telinga kita tiba- tiba mereka yang berpenampilan necis, dandy dan modis tiba- tiba terceletuk dari mulutnya ucapan semacam :“Santai aje bos, ntar juga kelaar kerjaannya, kalau nggak dia akan saya habisin deh”, atau, tiba- tiba sosok wanita berbusana sopan dan berpenampilan bak peragawati tiba tiba berucap dengan gaya ‘premanwati’ : “(kata Makian...), siapa die? gile juga, dasar perek, ngakunya sekretaris tapi boss juga diembat.” atau sekelompok mahasiswa yang setiap hari bergulat dengan ilmu-ilmu luhur tiba-tiba bak preman baru menjelma saling mengumpat,“Bangs…t, anj.... kita hajar aja, kalau berani macam- macam, sudah stress nih..”. 

Masya Allah ungkapan-ungkapan bernuansa kasar, slang, dan sakastik yang biasanya hanya memenuhi ruang publik marjinal seperti terminal, pasar, sudut- sudut lampu merah, kini mulai mendapat ‘tempat yang layak” di kampus, kantor baik negri dan swasta, bahkan rumah sakit.
Seolah nilai yang berlaku di era reformasi ini adalah nilai semi premanisme bahkan pure premanisme yang menggejala di segala bidang. Boleh jadi berlaku dalam benak masyarakat, sebuah adagium dengan berbahasa semakin kasar, keras, dan bergaya sadis maka akan semakin dihormati dan disegani orang tesebut dalam lingkup sosialitasnya.
 Bila dibiarkan gejala semacam ini merebak di kalangan masyarakat kelas menengah kita yang nota bene agent of change, maka dikhawatirkan change of cultural behaviour yang kurang santunlah yang akan diwariskan pada generasi berikut. Budaya komunikasi ini mencerminkan kepribadian kita sebagai sebuah bangsa yang mulai kehilangan jati dirinya, terutama akibat budaya barat impor. Generasi baru bangsa mengalami degradasi kemampuan berkomunikasi antar masyarakat secara patut.
 Relasi antara manusia dibangun melalui komunikasi, melalui komunikasi pula kita dapat mengenal pribadi orang, dan sebaliknya kita juga dikenal oleh orang lain. Cara memilih kata -kata yang digunakan merupakan cerminan perumusan pemikiran orang tersebut, (Mulder, Niels : Individual dan Society, Interpretation of Social Change, Illinois 1982). Dari sinilah arti penting komunikasi yang sehat dapat dibangun. Komunikasi yang sehat berarti menggunakan gaya bahasa yang jernih dan didasari dari pesan yang berasal dari hati nurani. Dengan demikian masing-masing individu dapat memberikan rasa respek dan penghargaannya pada individu lainnya -dalam proses komunikasi itu- secara wajar, tanpa di dasari oleh status sosial.
Di sini penulis ingin mengulas bagaimana awalnya masyarakat kita, terutama yang nota bene kaum intelektual dan kelas menengah mulai mengadaptasi budaya komunikasi jalanan atau gaya premanisme tersebut. Awalnya, dalam sejarah perkembangan kebudayaan Indonesia , kelas masyarakat yang terpelajar mendapat sebutan khusus diantaranya, kalangan pegawai, priyayi dan gedongan, (Koentjaraningrat, 1980). Pada jaman Belanda orang tepelajar jaman dahulu masih memperhatikan etikanya sebagai sebuah etika kepatutatn dalam berkomunikasi karena menunjukkan’kelas kepriyayian’. Namun seiring dengan pergeseran nilai moral dan etika pergaulan dari jaman ke- jaman, etika dalam berkomunikasi pun makin kabur dan tak memiliki standar kepatutannya lagi. Dewasa ini dalam pergaulan, cara berkomunikasi yang sesuai dengan etika kepriyayian jaman dulu cepat dianggap sebagai sebuah bentuk kelemahan. Karena jaman kapitalis yang serba keras dan kompetitif ini menilai alur berkomunikasi secara halus dianggap sebagai bentuk komunikasi yang feminin. Dan dianggap tidak mewakili bahasa maskulin yang sarat dengan saling mengirim pesan yang bertujuan saling mengukur kekuatan baik itu kekuatan financial serta kekuatan kekuasaan. Sebenarnya bentuk komunikasi ini secara tidak langsung didapatkan oleh berbagai kalangan dari gaya dialog film yang sering dilihat dan didengar oleh masyarakat. Umpatan, makian, dan sumpah serapah dalam film tersebut tertanam dalam benak anak muda dan dianggap cool.

 Di wilayah negara Barat sendiri menyumpah disebut dengan swear  atau curse , yang berarti kutukan dalam bahasa Indonesia. Soal sumpah serapah ada sedikit perbedaan antara Indonesia dan Barat. Kalau di Barat yang dikatakan menyumpah serapah itu adalah jenis kata- kata makian semisal “son of a….”. namun menyumpahi dalam budaya timur berarti mendoakan buruk atau mengutuk pada lawan bicara. Derasnya gaya bahasa ala barat yang diserap oleh publik kita ini sejatinya merupakan cross culture communication atau komunikasi lintas budaya, karena ada perbedaan cultural yang mendasar. Kebudayaan komunikasi ala Hollywood didasari pada gaya bahasa awal mula terbentuknya koloni-koloninya, yakni masyarakat miskin imigran dari Eropa sebagai penduduk awal, berkembang menjadi gaya bahasa cowboy, yang menekankan sumpah serapah agar terkesan macho.
Sementara itu sebagai bangsa yang berbudaya timur, gaya komunikasi masyarakat kita dari berbagai suku bangsa diadaptasi dari kelas menengah yang terpelajar yang dekat dengan sumber kebudayaan baik itu istana raja, keraton, kesultanan, kemudian nilai etika itu mengalir pada kelas di bawahnya. Seperti gaya bahasa yang dipakai oleh para bangasawan, pujangga, semacam syair-syair bernuansa religius, yang mementingkan unsur estetika dalam berkomunikasi. Namun sayangnya pada kenyataan yang sedang berlangsung, kemampuan menyusun unsur estetika dalam berkomunikasi ini mulai meluntur dalam masyarakat kita di semua kelas pergaulan, seiring dengan menguatnya nilai-nilai premanisme di segala bidang. (*)

Senin, 04 Maret 2013

Diklat Jurnalistik FKW oleh PPWI Penyegaran bagi Wartawan



FKW (Forum Komunikasi Wartawan) Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan bekerja sama dengan PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) mengadakan Diklat Jurnalistik untuk memberikan wawasan dan pembelajaran bagi para anggotanya terutama di bidang Jurnalistik.

Diklat ini berlangsung di Hotel New Idola, Jl Pramuka Raya, Jakarta pada tanggal 4-6 Maret 2013.  Tujuan diadakan pelatihan ini yang pertama adalah untuk menjalin tali silaturhami antar anggota FKW dan PPWI dan kedua adalah untuk menimba pengetahuan terbaru di bidang jurnalistik.

Dalam pelatihan ini dititikberatkan bahwa para anggota FKW harus mampu mengadapatasi cara jurnalistik terbaru yakni Quick News dan  etika jurnalsitik.

Tampil sebagai pembicara adalah ketua umum PPWI  yakni Wilson Lalengke, dan juga pembicara pengajar jurnalistik yakni Mung Pujanarko.  Dalam diklat ini menurut para peserta sangat membantu  dalam  menimba  ilmu jurnalistik. “Dalam diklat ini saya merasakan adanya penyegaran dalam bidang kewartawanan, dan banyak hal yang kita dapatkan di sini” ujar Gusti, Pimred tabloid  X-Kasus, Tanah Bumbu.

Sedangkan bagi peserta lain yakni Muaz selain silaturahmi adalah kebanggaan bagi daerah, karena wartawan yang memiliki banyak karakter bisa berkumpul dan belajar bersama,”papar Muaz selaku wartawan harian media kalimantan.

Nanang Rusmani Ketua FKW Tanah Bumbu (kiri-pakai baju bergaris), Mung Pujanarko (kanan-baju biru)

 Ketua FKW (Forum Komunikasi Wartawan) Tanah Bumbu- Kalimantan Selatan, Nanang Rusmani menyatakan bahwa pihaknya mendukung penuh agar para wartawan dan insan pers di Tanah Bumbu Kalimantan Selatan agar mau masuk dalam organisasi profesi.
 Pada kesempatan Diklat Jurnalistik yang digagas oleh FKW Tanah Bumbu di Hotel New Idola, Jakarta Timur, pada hari senin (4/3) Nanang Rusmani menyatakan bahwa wartawan adalah profesi strategis bagi perkembangan daerah dan bagi otonomi daerah. “Untuk itu saya pribadi mendukung  agar wartawan di Tanah Bumbu yang belum ada perkumpulan organisasi untuk nantinya masuk ke dalam organisasi profesi yang resmi misal FKW, PPWI atau PWI, untuk mendukung keberadaan wartawan itu sendiri,” papar Nanang Rusmani.
Dirinya juga mengatakan bahwa di Tanah Bumbu, keberadaan wartawan juga dibutuhkan untuk mengangkat potensi daerah Tanah Bumbu. “Kami dari FKW, bukan merupakan corong Bupati, namun sebagai warga Tanah Bumbu, kami juga memiliki kewajiban untuk mengangkat kebaikan dan potensi Tanah Bumbu,” lanjutnya.
Dengan begitu, menurutnya, tingkat independensi wartawan Tanah Bumbu bisa terjaga dan tidak diintervensi oleh pihak manapun. “Contohnya dengan pelaksanaan Diklat Jurnalistik FKW bekerja sama dengan PPWI pusat, maka inipun sebagai kerja keras untuk melaksanakan independensi wartawan Tanah Bumbu, saya pribadi berterimakasih  kepada PPWI yang telah memberikan motivasi, dan penambahan wawasan serta silaturahmi yang baik kepada FKW Tanah Bumbu,” urai Nanang Rusmani.  (*)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons