cari kata

Rabu, 28 Februari 2018

Memaknai Wisata










Wisata yang kita jalankan tentu menyenangkan.

Perjalanan menuju obyek wisata ini merupakan pengalaman tersendiri.

Adakalanya orang hanya ingin merasakan sensasi perjalanan menuju ke lokasi wisata.

Adakalanya orang ketika sampai di lokasi wisata justru terpikir pada rutinitas pekerjaan yang akan menantinya kelak sekembalinya dari tempat wisata.

Untuk itu penting kiranya memahami rasa memaknai wisata.

Memaknai wisata dimulai dari memaknai menghargai waktu yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa untuk kesempatan berwisata.

Memaknai wisata dimulai ketika bekal sangu untuk wisata kita peroleh secara jujur, benar dan hak alias bukanlah dari hasil colongan.

Waktu liburan juga merupakan sesuatu yang hak, bukan saat waktu itu haknya untuk keperluan lain.

Jika waktu yang kita miliki adalah haknya liburan dan uangnya juga dari jalan yang benar.

Maka sebelum mulai wisata pikiran kita tata dulu untuk memaknai perjalanannya, suka duka perjalanannya.

Mungkin karena inilah banyak orang berwisata dengan memilih perjalanan naik pesawat,  kapal, perahu, menyeberang pulau kecil di tengah laut luas, atau dengan kereta  juga angkutan darat untuk memaknai  suka duka perjalanannya.

Orang yang ingin sukanya saja namun malas resiko dukanya, pasti akan menghindari wisata menyeberangi laut luas menuju  ke pulau-pulau kecil,  susah payah naik ke gunung atau jalan kaki ke pantai terpencil.

Namun bagi para penghayat makna wisata, ya mungkin akan siap dengan suka-duka perjalanannya.

Ketika sampai di lokasi wisata maka waktu itu adalah hak kita untuk menikmati wisata yang dilakukan. 

Fokuslah pada menikmati waktu wisata, bukan fokus pada memikirkan bagaimana kerjaan di rutinitas kerja di kota besar yang akan menanti kita.

Bersabarlah saat perjalanan pulang pergi dan bersabar saat berada di tempat tujuan wisata. 

Maknailah bahwa wisata itu akan memberikan kita pengalaman baik lahir maupun pengalaman batin, yang semoga akan memberikan kesenangan dan kebahagiaan ketika memaknai perjalanan wisata kita.

Ya...dimaknai sajalah perjalanan wisata dan wisatanya ..

 (*)

Rabu, 21 Februari 2018

Belajar Menggunakan Media Chat Sosial



Saya baru saja -belum setahun- belajar menggunakan media chat sosial. Saya tidak memiliki akun FB atau twitter (tidak aktif).

Saya mengikuti grup chat di Whatsapp saja. Mulai dari grup wa  smp, sma hingga grup kawan kuliah dulu.

Kesamaan primordial membuat saya nyaman mengikuti grup chat. Karena kesamaan pernah satu sekolah, satu organisasi.

Juga rata-rata orang yang satu grup chat itu, sudah saya kenal sebelumnya.

Siaran chat dalam grup yang saya amati selalu ada orang yang memulai melempar topik, dan ada yang menimpali. 

Dalam sehari di grup-grup Whatsapp berdasarkan satu ikatan primordial yang saya ikuti, biasanya di pagi hari saat mulainya aktivitas, ada saja teman yang melakukan opening salam. Ini juga saya sebut sebagai wacana yang dilempar atau disajikan di grup percakapan (chat).

Kemudian barulah ada pihak-pihak atau kawan-kawan sebagai penanggap wacana tersebut.

Wacana bisa berbentuk teks, foto, video, animasi dan lain sebagainya bentuk pesan.

Wacana-wacana ini kemudian ada yang mendapat respon atau tanggapan ada pula yang tidak, melainkan hanya dibaca saja.

Responnya juga ada yang umpan balik positif ada pula yang umpan balik negatif.

Tidak jarang sampai ada yang keluar dari grup.

Alasan keluar dari grup chat ini beragam. Rata-rata berkaitan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk rasa aman, atau rasa puas, sebagai piramida kebutuhan sosial.

Setidaknya ikatan primordial ini juga belum cukup kuat sebagai ikatan yang membentuk sebuah grup chat. 

Juga ada yang diam atau silent reader.

Paling tidak dengan mengikuti chat grup yang primordial bagi saya seperti mengikuti siaran dialog. Dialog dari kawan-kawan dan orang yang relatif sudah saya kenal.

Meski saya jarang aktif namun rasanya cukup terhibur dengan mengikuti rangkaian chat dialog.

 Cukup membuat saya nyaman sebagai makhluk sosial yang membutuhkan  interaksi dengan sesama.

Hanya saja mengubah bahasa tutur seketika menjadi bahasa tulis memang tidak seketika otomatis. 

Karena dalam bahasa tulis, teks yang kita ketik tidak diikuti oleh gesture dan intonasi ucap yang mendukung komunikasi.

Namun tetap saja menarik untuk terus diamati dan dipelajari bagaimana membuat bahasa tulis menjadi sederhana meski kurangnya rasa emosional di dalam bahasa teks itu. Emotico karena terbatas juga dirasa sulit mewakili emosi yang tersirat oleh jiwa.

Bagi anak-anak usia belajar sudah saatnya anak-anak juga dibekali dengan kemampuan menulis teks sebagai bahasa tulis yang baik untuk dipergunakan dalam percakapan di media sosial. (*)



 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons