cari kata

Jumat, 10 Mei 2013

Kekerasan terhadap Wartawan/ Jurnalis Indonesia

Prolog

Pertama-tama saya mengucapkan bela sungkawa untuk jurnalis yang telah tewas dalam bertugas, semoga segala amal perbuatan baik mendapat rahmat di sisi Tuhan Yang Maha Esa.

Sedangkan, untuk istilah sebutan profesi bagi saya sama saja dan tak menimbulkan perdebatan, apakah itu disebut : jurnalis atau wartawan, karena artinya secara etimologi kedua kata tersebut adalah sama : journalist. Baik Jurnalis atau Wartawan hanya beda kata saja, sedangkan artinya adalah : Orang Pers, orang yang bekerja sebagai reporter di media massa. Jadi saya tidak ikut-ikutan bingung dalam kelompok yang getol memperdebatkan istilah jurnalis dan wartawan, yang perdebatannya sendiri amatlah kontraproduktif dan membuang waktu.

Kekerasan pada Jurnalis

Kekerasan yang dialami oleh jurnalis sudah seringkali kita membaca di media, dan kekerasan ini masih saja terjadi.  Contohnya, pada hari ini saya membuat tulisan artikel ini, seorang jurnalis diberitakan mendapat penganiayaan dari  orang tak dikenal. Pada hari Kamis tanggal 9 Mei 2013 dinihari, Muhammad Ardiansyah jurnalis Trans TV di Makassar luka parah akibat ditikam (ditusuk) orang tak dikenal setelah meliput  keributan di jalan AP. Pettarani, Makassar. Pelaku penikaman diduga adalah anggota geng motor yang kerap melakukan balapan liar dan keributan di jalan raya (detiknews.com).

Padahal baru saja tanggal 3 Mei 2013 kita memperingati Hari Pers Internasional, yang bertema  Global : “Hari Kebebasan Pers Sedunia 2013 “Aman untuk Berbicara : Memastikan Kebebasan Berpendapat di Semua Media"

Berdasarkan data yang telah dirilis oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)  kekerasan terhadap Jurnalis/Wartawan Indonesia tergolong sadis, bahkan sampai membunuh wartawan.

Berikut data wartawan/jurnalis Indonesia yang yang tewas dibunuh terkait dengan pemberitaan, di Indonesia  sepanjang tahun 1996 -2010 :


  • Pada tahun 1996 silam, seorang wartawan bernama Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin (32), wartawan  Harian Bernas Yogyakarta meninggal pada tanggal 16 Agustus 1996. Tiga hari sebelumnya Udin diketahui diserang dan dianiaya oleh orang tak dikenal di rumahnya di Bantul. Sebelum dianiaya dan akhirnya tewas dibunuh,  Udin memberitakan pemberian uang Rp1 miliar pada Yayasan Dharmais oleh Sri Roso Sudarmo, Bupati Bantul kala itu.


  • Setahun kemudian pada tahun 1997, pembunuhan juga dialami Muhammad Sayuti Bochari, jurnalis Pos Makassar. Sayuti ditemukan tergeletak tak sadarkan diri pada 9 Juni 1997 di sebuah jalan di desa Luwu, sekira 480 kilometer di utara Makassar. Anggota keluarga dan teman-teman Sayuti mengatakan bahwa luka-luka Sayuti menunjukkan dia telah dipukuli. Sayuti tewas dua hari kemudian di rumah sakit. Pembunuhan Sayuti diduga kuat terjadi karena beritanya tentang korupsi di tingkat lokal. Dia juga melaporkan pencurian kayu yang melibatkan kepala desa. Pemimpin Redaksi Pos Makassar, Andi Tonra Mahie, mengatakan bahwa kematian Sayuti adalah hasil dari laporannya mengenai korupsi lokal, namun polisi setempat mengatakan penyebabnya karena kecelakaan lalu lintas.
  • Masih pada tahun 1997 silam, kematian tragis nan mengenaskan dialami  oleh almarhum Naimullah, jurnalis Sinar Pagi. Pada 25 Juli 1997, tubuhnya ditemukan tewas termutilasi di jok belakang mobilnya yang terparkir di Pantai Penibungan, sekira 90 kilometer di utara kota Pontianak. Kematian almarhum diduga terkait tulisan Naimullah tentang jaringan pembalakan liar di Kalimantan. Sejauh ini, kasus kematian tragis wartawan ini tak pernah terselesaikan
  • Kemudian tahun 1999 lalu,  Agus Mulayawan (26), koresponden  Indonesia untuk Asia Press (Jepang), tewas di tengah meliput konflik bersenjata di Timor Timur di dekat Los Palos.25 September. Jenazah ditemukan di dasar Sungai Verukoco, Apikuru, Kabupaten Lautem, 26 September.
  • Pada tahun 2003 Muhammad Jamaluddin juru kamera TVRI Aceh ditemukan tewas pada 17 Juni 2003 dengan berbagai dugaan. Ada yang mengatakan ia dibunuh kelompok GAM, ada pula yang menuduh pada oknum aparat di Aceh yang menculiknya karena motif tertentu.
  • Masih pada tahun 2003 Sori Ersa Siregar (52), wartawan RCTI, tewas ditengah meliput konflik bersenjata di Aceh. Almarhum tewas pada 29 Desember 2003, saat tengah terjadi baku tembak yang sengit antara  pasukan TNI dengan GAM di Kuala Maniham, Simpang Ulim
  • Kemudian pada tahun 2005, Elyudin Telambanua wartawan Berita Sore, koresponden Pulau Nias Sumatera Utara diculik dan tak pernah kembali dalam keadaan hidup. Para saksi dan keluarga mengatakan Elyudin diculik sekelompok orang tak dikenal di Teluk Dalam, 24 Agustus 2005, setelah memberitakan kecurangan pilkada di Kabupaten Nias Selatan. Semenjak diculik, Elyudin sang wartawan hilang, dan keluarga tak pernah melihatnya lagi. Berdasarkan penuturan saksi yang diceritakan kembali oleh keluarga Elyuddin, sang wartawan dibawa oleh sejumlah OTK (Orang tak Dikenal)  ke Desa Bawoganowo. Di sana Elyuddin dianiaya sekelompok orang hingga sekarat dan disaksikan oleh penduduk desa, kemudian Elyuddin diseret ke belakang sebuah rumah yang berada di pinggir laut. Setelah itu, tak seorangpun mengetahui keberadaan Elyuddin baik hidup atau meninggal.


  • Tahun 2006 Herliyarto, wartawan ‘Jember News’ dan kontributor lepas  Radar Surabaya di Probolinggo, Herliyanto ditemukan tewas pada 29 April 2006 di tengah hutan jati Probolinggo-Jawa Timur. Polisi memastikan kematian Herliyanto akibat bacokan senjata tajam. Almarhum Herliyanto dibunuh oleh sekelompok penyerang saat mengendarai sepeda motornya di jalanan berhutan yang menghubungkan desa Tulupari dan Tarokan di daerah Banyuanyar, provinsi Jawa Timur. Herliyanto mengalami luka tikam di perut, leher, dan kepala. Pembunuhan Herliyanto diduga kuat karena beritanya yang mengungkap korupsi proyek pembangunan jembatan di desa Reijing. Berita Herliyanto mengungkap bahwa dana infrastruktur lokal senilai Rp 120 juta rupiah telah dikorupsi. Polisi kemudian berhasil menangkap tersangka pembunuhnya. Namun Pengadilan Negeri Sidoarjo membebaskan dua pelaku sebab tak cukup bukti dan satu tersangka dianggap gila.


  • Yang paling tragis dan sadis adalah peristiwa pembantaian Anak Agung Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali, pada tahun 2009. Anak Agung Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali itu tewas di Pelabuhan Padang Bai, 16 Februari 2009. Aparat Polda Bali berhasil menangkap 10 tersangka terkait pemberitaan kasus korupsi dana pendidikan yang melibatkan adik Bupati Bangli. Para pelaku menghabisi nyawa korban dengan amat sadistik, dipukul menggunakan balok, para pelaku akhirnya divonis penjara seumur hidup oleh PN Denpasar dengan hukuman maksimum.


  • Pada Tahun 2010 Muhammad Syaiullah (43), kepala Biro Kompas Kalimantan Timur, meninggal di rumahnya di Balikpapan, 26 Juli. Pihak penyidik mengatakan, ia meninggal karena sakit. Namun sempat muncul adanya kecurigaan almarhum meninggal diracun oleh mereka yang tak menyukai beritanya di harian Kompas tentang rusaknya hutan di Kalimantan oleh pembalakan liar.


  • Masih pada tahun 2010, Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi  juga wartawan Merauke TV, tewas pada 29 Juli di Gudang Arang, Sungai Maro, Merauke, Papua dengan penuh luka. Pembunuhan Matrais diduga karena beritanya. Namun Polres Merauke yakin Ardi tewas tenggelam. Tak ada penyelidikan lebih lanjut soal ini.


  • Juga pada tahun 2010, wartawan bernama Alfrets Mirulewan tewas di Pelabuhan Pulau Kisar, Maluku Tenggara Barat 18 Agustus 2010.  Alfrets, Pemred Tabloid Pelangi, bersama Leksi Kikilay tengah menginvestigasi kelangkaan BBM di Kisar yang diduga melibatkan oknum aparat. Polisi menyatakan Alfrets dibunuh, tetapi semua tersangka mencabut BAP (Berita Acara Pemeriksaan).


  • Masih pula di tahun  2010, Ridwan Salamun, kontributor ‘Sun TV’ di Tual, Maluku Tenggara tewas dikeroyok  sekelompok warga saat meliput bentrokan warga kornpleks Banda Eli melawan warga Dusun Mangun, Desa Fiditan, Kota Tual, 20 Agustus. Hakim PN Tual membebaskan para tersangka karena tekanan massa. Saodah, istri almarhum, kini menunggu keputusan kasasi MA.


Begitulah data yang telah dirilis oleh lembaga AJI (Aliansi Jurnalis Independen), juga oleh CPJ (Comittee to Protect Journalist) atas kematian wartawan-wartawan Indonesia yang tewas dibunuh, dan tewas secara misterius terkait dengan profesinya dan produk jurnalistiknya, baik berita ataupun tayangan. Tentu saja dibantainya para wartawan ini adalah peristiwa sangat barbarik dan biadab (non-adab). Sangat barbar di tengah semangat kebebasan informasi yang berguna bagi masyarakat, terutama kebebasan informasi untuk melawan korupsi dan kriminalitas yang meresahkan dan merugikan kehidupan masyarakat luas. (*)


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons