cari kata

Minggu, 15 Januari 2012

Akar Eksistensi Citizen Journalism


Kerap kali orang bertanya mengapa sih ada citizen journalism? Fenomena apa ini ?, apa yang melatar belakangi munculnya citizen journalism (Jurnalisme warga). Dan ada pertanyaan yang paling telak yakni : mengapa ada orang yang susah payah mau menjadi Citizen Journalist (pewarta warga)? padahal tanpa memperoleh bayaran sedikitpun jua.
Apa alasannya?orang lalu menebak : oh mungkin hanya  ingin eksis, ingin famous, ingin terkenal.
Baiklah saudara pembaca, nafsu ingin terkenal ini memang banyak istilah gaul belakangan ini menganggap orang tersebut adalah:  sok eksis , ingin eksis,  eksis wanna be, atau malah narsis dan narcisstic. Dan  sebagian dari negasi orang yang tak paham, dikatakan :”kurang kerjaan kali...”.
Dan banyak lagi reason atau alasan yang ditujukan kepada orang-orang yang menjalankan kegiatan Citizen Journalism.
Sebenarnya begini, dalam Ilmu Komunikasi dikenal dengan adanya Teori Interaksi Simbolik atau lazimnya disebut  sebagai Symbolic Interaction Theory (SIT)  di mana penggagas teori ini adalah George Herbert Mead (1934)-gurunya Herbert Blummer, kemudian disusul oleh  Ralph La Rosa dan Donald  C Reits (1993). Dalam teori SIT ini  asumsi utamanya  dibagi dalam tiga hal  pokok y akni  :
-Pentingnya makna bagi perilaku manusia.
-Pentingnya konsep mengenai diri.
-Pentingnya hubungan antara individu dan masyarakat.
Dalam Teori Interaksi Simbolik sebagai lingkup Ilmu Komunikasi dijelaskan bahwa motif orang untuk melakukan interaksi bukan hanya didasarkan oleh keuntungan (rewards) semata, seperti halnya yang dijelaskan dalam Teori Pertukaran Sosial  atau Social Exchange Theory (SET)  oleh John Thibaut dan Harold Kelley (1959), yang menandaskan bahwa : “hubungan hanya terjadi bila terdapat adanya selisih rasional antara reward dan cost, dan level perbandingan atau  alternatif level perbandingannya.
 Namun, Mead menjelaskan bahwa interaksi dengan orang lain adalah proses bersama mencari makna (meaning) atau arti, melalui pengembangan pikiran (mind) bersama (yang terjadi saat proses komunikasi).
Dengan penjelasan Teori ini membantu kita saat mengamati secara seksama tentang fenomena Citizen Journalism, maka jelaslah secara empiris bahwa kebanyakan motif seseorang melakukan kegiatan Citizen Journalism sebagai bentuk komunikasi ini, adalah adanya suatu dorongan instingtif yang terwarisi dari sifat alamiah dasar manusia sejak manusia ada pertama kali di muka Bumi.
Dorongan ini adalah dorongan naluriah orang untuk mengabarkam sesuatu. Ini adalah primary need, bukan lagi ada di puncak piramida Maslow yakni aktualisasi diri.
Citizen Journalism kerap kali adalah dorongan manusia untuk mewartakan sesuatu (berkomunikasi) yang berguna bagi orang lain, sama halnya dorongan insting manusia untuk makan, minum dan basic need lainnya.
Basic need atau kebutuhan dasar berupa komunikasi ini, bertujuan untuk :
-Membantu komunitas (community buliding).
-Menghindarkan bencana bagi komunitas.
-Mengharapkan respon dari komunitas agar terbangun komunitas yang harmonis dengan alam.
Maka dorongan alamiah seseorang untuk mewartakan sesuatu pada orang banyak,  memang tidak perlu menunggu sesorang untuk menjadi wartawan koran/ wartawan TV yang digaji perusahaan, namun dorongan orang untuk mewartakan berita, sebuah ide,makna, atau sebuah hal, itu adalah sah, legitimate, dan naluriah belaka adanya. Kita berpengalaman bahwa sebuah rezim sekuat Orde Baru pun tak bisa mengekang orang untuk bersuara.
Kita tidak bisa menggeneralisasi bahwa orang yang melakukan kegiatan Citizen Journalism adalah orang ingin famous, ingin eksis dan ingin dikenal.
Dorongan ingin famous atau ingin dikenal ini ada pada top (puncak) piramida hierachy of need-nya Maslow.
Sedangkan dorongan ingin mewartakan sesuatu ini adalah termasuk primary need, seperti halnya bayi menangis minta makan/susu. Bayi menangis karena butuh sesuatu, ini adalah bentuk komunikasi awal manusia. Dorongan berkomunikasi dengan orang lain ini adalah pimer sifatnya.
Misalnya kita tarik  visi ke belakang sejarah, kembali pada jaman era  komunitas manusia gua, jaman Pithecantropus erectus, serta jaman Homo sapiens mula, yakni kira-kira  20.000-30.000 tahun yang lalu. -Sebenarnya saya ingin memberi iustrasi jaman manusia neanderthal, tapi spesies ini punah pada jaman es-.  Seorang caveman homo sapiens awal atau manusia gua sudah berkomunikasi dengan manusia lainnya melalui simbol,  suara dan gambar-gambar dinding yang menyebutkan akan adanya : aneka binatang liar, bahaya, dan cuaca.
Berita pertama yang disebutkan manusia gua (caveman) adalah: “ada hewan”, di mana selanjutnya direspon oleh komunitas dengan memburu hewan tersebut untuk makan satu komunitas kecil. Berita selanjutnya adalah isyarat baik gerak tubuh dan suara yang memberitakan : “ada kebakaran” atau “ada bahaya alam, salju, banjir, ancaman tanah longsor  dan lain-lain” yang segera direspon oleh kaum manusia perintis awal itu untuk menyelamatkan diri.
Jadi, semenjak  jaman manusia perintis ini selalu ada caveman yang berani keluar gua untuk memantau situasi wilayahnya dan kembali lagi ke komunitasnya, untuk mewartakan apa yang dilihatnya, yang kira-kira berguna untuk komunitas tersebut. Maka kejujuran menjadi jaminan mutlak bahwa sang pewarta ini menjadi kepercayaan masyarakatnya. Kita tentu pernah mendengar kisah : “Seorang Anak dan Serigala”, dimana dikisahkan ada anak yang berkata pada penduduk, “Ada serigala!”, namun tidak terbukti, keesokan harinya berkata lagi anak itu “Ada Serigala!” dan tidak terbukti lagi. Karena kehilangan kepecayaan dari penduduk , maka saat ketiga kalinya anak itu mewartakan “Ada Serigala !,” penduduk sudah tidak percaya, dan anak itu mati dimakan Serigala. Ini kisah dengan pesan moral yang bagus, meskipun oleh  Josef Goebbels sahabat Hitler, kemudian dikatakan bahwa : “kebohongan yang ditanamkan berulang kali adalah kebenaran”.
Tapi, biar bagaimanapun juga, namanya kebohongan apapun pasti tersingkap. Ada kisah menarik dari hikayat  Eropa tentang “Raja Telanjang dan Anak Kecil”, yang mengungkap bahwa pakaian mahal yang dipakai raja ternyata djahit oleh dua orang penipu, dikatakan oleh penipu itu bahwa benang yang dipakai menenun pakaian adalah ‘benang kebijaksanan’, jadi kalau tidak bijak, maka orang  tersebut tidak bisa melihat indahnya  pakaian itu. Raja yang takut dibilang tidak bijak, termakan olehnya. Memang ternyata adalah tidak ada pakaian sama sekali. Jadi, pada waktu Raja memamerkan pakaiannya pada rakyat (padahal tidak berpakaian), setiap orang terdiam tercekam, karena takut dihukum oleh Raja, namun seorang anak kecil dengan lugu berteriak keras di tengah keheningan rakyat yang takut,  “Heii...Raja itu telanjang!”, dan tertawalah rakyat semua.
Jadi dorongan manusia untuk melakukan kegiatan Citizen Journalism (jurnalisme warga) adalah lebih dasar dan lebih primer dari sekadar aktualisasi diri. Niat Prita Mulyasari umpamanya, dia menceritakan apa yang dialaminya, apa deritanya, adalah agar orang lain tahu dan memberikan respon terhadap apa yang dialaminya itu. Ini  sama alamiah dengan kita yang memberitakan bahwa ‘aku sakit karena sesuatu’. Maka respon orang-orang pada kita akan beragam, tapi umumnya mengarah pada satu hal yang positif yakni : ‘bertahan hidup’ .
Akar insting Citizen Journalism di manapun jua pada dasarnya adalah kembali pada untuk keinginan ‘berguna bagi masyarakat’, berguna bagi society. Rasa ingin berguna ini pada dasarnya adalah rasa keinginan untuk survive atau bertahan hidup secara sosial (bersama),- dan bukanlah prinsip indvidual : ‘gua hidup, loe mati’-, dalam sebuah community masyarakat, baik untuk keluarga, kampung, wilayah,  dan negara bangsa. (*)




0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons