Artikel
Ditulis pertama pada Wednesday, November 14, 2007 9:23 PM
Saat ini kita sering melihat, mendengar dan merasakan cara masyarakat berkomunikasi yang bisa dibilang didominasi oleh gaya “komunikasi jalanan" atau street gang communications style. Gaya komunikasi jalanan ini makin tumbuh subur seiring tayangan hiburan di televisi dan media massa tertentu terutama acara-acara humor di televisi yang sering menggunakan makian dan istilah olok-olok. Mengapa disebut gaya komunikasi jalanan ?, karena gaya komunikasi ini cenderung kasar, sering mengetengahkan bahasa-bahasa yang mengandung unsur kekerasan, makian, penghinaan pada harkat manusia, sarkastik dan bahkan sadistik yang kerap muncul dari para penggunanya. Bila komunikasi jalanan ini awalnya hanya digunakan oleh kelompok dalam masyarakat tertentu sepreti : preman, anak jalanan, dan komunitas terminal yang memang sering bergelut dan berinteraksi dengan gaya komunikasi jalanan ini. Maka kini gaya komunikasi ini kini mulai merambah pada gaya pergaulan semua kalangan terutama kalangan menengah yang secara sosiologis cukup cendekia dan educated di dalam srtuktur masyarakat kita.
Ungkapan-ungkapan bernada kekerasan, sarkasatik, bahkan sadis pun menjadi “wajib” dalam percakapan- percakapan sehari hari kita, baik itu di kantor, di mall, maupun di tempat-tempat masyarakat kelas menengah -yakni pelajar, mahasiwa dan profesional -biasa berkumpul. Akrab di telinga kita tiba- tiba mereka yang berpenampilan necis, dandy dan modis tiba- tiba terceletuk dari mulutnya ucapan semacam :“Santai aje bos, ntar juga kelaar kerjaannya, kalau nggak dia akan saya habisin deh”, atau, tiba- tiba sosok wanita berbusana sopan dan berpenampilan bak peragawati tiba tiba berucap dengan gaya ‘premanwati’ : “(kata Makian...), siapa die? gile juga, dasar perek, ngakunya sekretaris tapi boss juga diembat.” atau sekelompok mahasiswa yang setiap hari bergulat dengan ilmu-ilmu luhur tiba-tiba bak preman baru menjelma saling mengumpat,“Bangs…t, anj.... kita hajar aja, kalau berani macam- macam, sudah stress nih..”.
Ditulis pertama pada Wednesday, November 14, 2007 9:23 PM
Saat ini kita sering melihat, mendengar dan merasakan cara masyarakat berkomunikasi yang bisa dibilang didominasi oleh gaya “komunikasi jalanan" atau street gang communications style. Gaya komunikasi jalanan ini makin tumbuh subur seiring tayangan hiburan di televisi dan media massa tertentu terutama acara-acara humor di televisi yang sering menggunakan makian dan istilah olok-olok. Mengapa disebut gaya komunikasi jalanan ?, karena gaya komunikasi ini cenderung kasar, sering mengetengahkan bahasa-bahasa yang mengandung unsur kekerasan, makian, penghinaan pada harkat manusia, sarkastik dan bahkan sadistik yang kerap muncul dari para penggunanya. Bila komunikasi jalanan ini awalnya hanya digunakan oleh kelompok dalam masyarakat tertentu sepreti : preman, anak jalanan, dan komunitas terminal yang memang sering bergelut dan berinteraksi dengan gaya komunikasi jalanan ini. Maka kini gaya komunikasi ini kini mulai merambah pada gaya pergaulan semua kalangan terutama kalangan menengah yang secara sosiologis cukup cendekia dan educated di dalam srtuktur masyarakat kita.
Ungkapan-ungkapan bernada kekerasan, sarkasatik, bahkan sadis pun menjadi “wajib” dalam percakapan- percakapan sehari hari kita, baik itu di kantor, di mall, maupun di tempat-tempat masyarakat kelas menengah -yakni pelajar, mahasiwa dan profesional -biasa berkumpul. Akrab di telinga kita tiba- tiba mereka yang berpenampilan necis, dandy dan modis tiba- tiba terceletuk dari mulutnya ucapan semacam :“Santai aje bos, ntar juga kelaar kerjaannya, kalau nggak dia akan saya habisin deh”, atau, tiba- tiba sosok wanita berbusana sopan dan berpenampilan bak peragawati tiba tiba berucap dengan gaya ‘premanwati’ : “(kata Makian...), siapa die? gile juga, dasar perek, ngakunya sekretaris tapi boss juga diembat.” atau sekelompok mahasiswa yang setiap hari bergulat dengan ilmu-ilmu luhur tiba-tiba bak preman baru menjelma saling mengumpat,“Bangs…t, anj.... kita hajar aja, kalau berani macam- macam, sudah stress nih..”.
Masya
Allah ungkapan-ungkapan bernuansa kasar, slang, dan sakastik yang
biasanya hanya memenuhi ruang publik marjinal seperti terminal, pasar,
sudut- sudut lampu merah, kini mulai mendapat ‘tempat yang layak” di
kampus, kantor baik negri dan swasta, bahkan rumah sakit.
Seolah
nilai yang berlaku di era reformasi ini adalah nilai semi premanisme
bahkan pure premanisme yang menggejala di segala bidang. Boleh jadi
berlaku dalam benak masyarakat, sebuah adagium dengan berbahasa semakin
kasar, keras, dan bergaya sadis maka akan semakin dihormati dan disegani
orang tesebut dalam lingkup sosialitasnya.
Bila
dibiarkan gejala semacam ini merebak di kalangan masyarakat kelas
menengah kita yang nota bene agent of change, maka dikhawatirkan change
of cultural behaviour yang kurang santunlah yang akan diwariskan pada
generasi berikut. Budaya komunikasi ini mencerminkan kepribadian kita
sebagai sebuah bangsa yang mulai kehilangan jati dirinya, terutama
akibat budaya barat impor. Generasi baru bangsa mengalami degradasi
kemampuan berkomunikasi antar masyarakat secara patut.
Relasi
antara manusia dibangun melalui komunikasi, melalui komunikasi pula
kita dapat mengenal pribadi orang, dan sebaliknya kita juga dikenal oleh
orang lain. Cara memilih kata -kata yang digunakan merupakan cerminan
perumusan pemikiran orang tersebut, (Mulder, Niels : Individual dan
Society, Interpretation of Social Change, Illinois 1982). Dari sinilah
arti penting komunikasi yang sehat dapat dibangun. Komunikasi yang sehat
berarti menggunakan gaya bahasa yang jernih dan didasari dari pesan
yang berasal dari hati nurani. Dengan demikian masing-masing individu
dapat memberikan rasa respek dan penghargaannya pada individu lainnya
-dalam proses komunikasi itu- secara wajar, tanpa di dasari oleh status
sosial.
Di sini penulis ingin
mengulas bagaimana awalnya masyarakat kita, terutama yang nota bene kaum
intelektual dan kelas menengah mulai mengadaptasi budaya komunikasi
jalanan atau gaya premanisme tersebut. Awalnya, dalam sejarah
perkembangan kebudayaan Indonesia , kelas masyarakat yang terpelajar
mendapat sebutan khusus diantaranya, kalangan pegawai, priyayi dan
gedongan, (Koentjaraningrat, 1980). Pada jaman Belanda orang tepelajar
jaman dahulu masih memperhatikan etikanya sebagai sebuah etika
kepatutatn dalam berkomunikasi karena menunjukkan’kelas kepriyayian’.
Namun seiring dengan pergeseran nilai moral dan etika pergaulan dari
jaman ke- jaman, etika dalam berkomunikasi pun makin kabur dan tak
memiliki standar kepatutannya lagi. Dewasa ini dalam pergaulan, cara
berkomunikasi yang sesuai dengan etika kepriyayian jaman dulu cepat
dianggap sebagai sebuah bentuk kelemahan. Karena jaman kapitalis yang
serba keras dan kompetitif ini menilai alur berkomunikasi secara halus
dianggap sebagai bentuk komunikasi yang feminin. Dan dianggap tidak
mewakili bahasa maskulin yang sarat dengan saling mengirim pesan yang
bertujuan saling mengukur kekuatan baik itu kekuatan financial serta
kekuatan kekuasaan. Sebenarnya bentuk komunikasi ini secara tidak
langsung didapatkan oleh berbagai kalangan dari gaya dialog film yang
sering dilihat dan didengar oleh masyarakat. Umpatan, makian, dan sumpah
serapah dalam film tersebut tertanam dalam benak anak muda dan dianggap
cool.
Di wilayah negara Barat sendiri menyumpah disebut dengan swear atau curse
, yang berarti kutukan dalam bahasa Indonesia. Soal sumpah serapah ada
sedikit perbedaan antara Indonesia dan Barat. Kalau di Barat yang
dikatakan menyumpah serapah itu adalah jenis kata- kata makian semisal
“son of a….”. namun menyumpahi dalam budaya timur berarti mendoakan
buruk atau mengutuk pada lawan bicara. Derasnya gaya bahasa ala barat
yang diserap oleh publik kita ini sejatinya merupakan cross culture
communication atau komunikasi lintas budaya, karena ada perbedaan
cultural yang mendasar. Kebudayaan komunikasi ala Hollywood didasari
pada gaya bahasa awal mula terbentuknya koloni-koloninya, yakni
masyarakat miskin imigran dari Eropa sebagai penduduk awal, berkembang
menjadi gaya bahasa cowboy, yang menekankan sumpah serapah agar terkesan
macho.
Sementara itu sebagai
bangsa yang berbudaya timur, gaya komunikasi masyarakat kita dari
berbagai suku bangsa diadaptasi dari kelas menengah yang terpelajar yang
dekat dengan sumber kebudayaan baik itu istana raja, keraton,
kesultanan, kemudian nilai etika itu mengalir pada kelas di bawahnya.
Seperti gaya bahasa yang dipakai oleh para bangasawan, pujangga, semacam
syair-syair bernuansa religius, yang mementingkan unsur estetika dalam
berkomunikasi. Namun sayangnya pada kenyataan yang sedang berlangsung,
kemampuan menyusun unsur estetika dalam berkomunikasi ini mulai meluntur
dalam masyarakat kita di semua kelas pergaulan, seiring dengan
menguatnya nilai-nilai premanisme di segala bidang. (*)
0 komentar:
Posting Komentar