cari kata

Kamis, 08 Desember 2016

Wisata untuk menyimpan Waktu

Menulis tentang pengalaman trip atau perjalanan wisata kita, tentu tidak semua orang mampu menuliskannya.

Kebanyakan orang akan menjawab : 

"Untuk apa sih saya repot amat menulis perjalanan wisata saya? Toh upload ke medsos saja seperti instagram atau bbm atau whatsapp dll sudah beres? Ngapain lagi kok susah kita menuliskan, yang penting pamer kan ?"

Itulah yang agak keliru ketika kita hanya mengupload foto wisata kita hanya sekedar untuk menunjukkan pada lingkaran seputar teman-teman kita.

Pula pada saudara kita dan handai tolan kita, mungkin para fans penggemar anda, yang nama-namanya sudah ada dalam daftar kontak whatsapp group, sudah ada nama-nama kontaknya dalam lingkaran pertemanan medsos kita.

Bahwa kemudian kita mengupload foto wisata sambil menuliskan sebaris (sebaris saja) teks yang mengumumkan kita sudah wisata ke mana saja.

Karena dalam media sosial seperti : whatsapp, line, bbm, instagram dll yang melihat aktivitas kita kan hanya relatif terbatas pada group, dan nama kontak handai tolan sahaja.

Namun kalau di web log seperti ini, maka yang mengakses adalah bukan hanya sekadar relasi kita saja, bahkan mungkin relasi handai tolan, teman-teman kita tidak akan melihatnya, karena mereka tidak tahu kalau kita menulis pengalaman kita saat wisata.

Sebaliknya, yang melihat tulisan kita adalah orang yang mencari lewat kata kunci mungkin, atau, hanya kesasar mampir di blog karena faktor LSI atau Latent Symantex Index semata. 

Tadinya tidak ingin menuju mencari informasi berdasar kata kunci, namun mesin pencari tetap mengindeks tulisan kita karena ada hubungan index saja.

Namun justru itulah maknanya.




Saya, misalkan menulis perjalanan saya bukan hanya sekadar bahwa nanti teman-teman saya atau saudara akan melihatnya, tidak sama sekali. Karena mereka semua tidak tahu kalau saya memiliki blog untuk menulis. 







Lagipula saya juga bukan peserta medsos yang aktif. Saya bukan aktivis medsos. Kalau aktivis  web log seperti ini mungkin iya, sebulan nulis satu-dua tulisan saja.

Kalau di medsos kesan pamer kepada para handai-tolan semesta, teman setaman semasa smu, teman setaman semasa sd atau semasa smp, semua itu adalah audiens-captive kita yang kita ciptakan lingkaran audiens itu ketika kita bergabung dalam sebuah grup pertemanan, keluarga atau handai tolan.

Massa yang captive exclusive seperti hanya terbatas pada teman, handai tolan dan hanya saudara-saudara sahaja sepert kawan sepermedsosan atau seperti saudara seperinstragraman saja.

Orang yang mengejar snsasi hanya bisa berharap jika pesan atau foto itu viral, dan nantinya dibahas di media massa.

Maka kesan pamer akan kuat berlangsung.
Karena pula sejak kecil kebanyakan orang sudah diasuh dengan pola asuh yang mendorong kompetitif dalam segala hal.

 Dari semenjak masa kecil sudah dibanding-bandingkan dengan anak teman, anak saudara, anak family, anak-anak handai tolan seumuran yang lain, maka hal ini akan kebawa sampai usia dewasa secara psikologis.

Ketika sudah dewasa maka dengan laten orang akan terus dalam suasana kompetitif yang kental.
Teman sekantor dianggap kompetitor, teman semasa sd semasa smp dan semasa smu juga masih dianggap sebagai kompetitor sejati pesaing saja, bukan sekadar teman belaka. Jiwa ini ingin terus melakukan pembuktian, karena mungkin merasa inferior pada jaman SD, SMP atau SMUnya, dulu belum punya apa-apa, kurang mampu bergaul, introvert, juga mungkins tipis  memendam envy perlahan pada para teman yang dianggap lebih populer, maka setelah dewasa, dengan ajang alasan teman sepermedsossan atau kawan seperinstagraman, maka kesempatan balas dendam pamer akan mudah dilampiaskan.

Diantaranya adalah dengan mengupload secara serial foto-foto wisata, mungkin untuk eksistensi, mungkin untuk pembuktian diri kepada orang lain, untuk menutup lubang kekosongan jiwa yang memang harus menuntut untuk ditambal setiap hari dengan aktualisasi diri.

Hal ini didasari atau tidak masih melekat dalam jiwa. 

Jadi ketika kita mengupload foto-foto wisata kita, di sebuah group medsos yang massa audiens-nya sudah diciptakan secara captive, tercipta secara circle limited, sebatas pada group teman, handai tolan dan saudara ini, kebaynakan juga masih ada terbalut suasana kompetitif.

Maka yang muncul dalam benak kawan, handai tolan, saudara anda adalah : “Oh dia sudah ke wisata itu, oh dia sudah ke sana, wah sukses mapan nih anak, aduh aku ga mau kalah ah kapan nanti akan aku balas, aku juga bisa wisata seperti dia, di tempat itu, nanti pasti akan aku balas upload di medsos, tunggu saja.”

Jiwa kompetitif-jiwa persaingan yang sudah dikondisikan mendarah-daging semenjak masa kanak-kanak, yang dipacu harus bersaing dengan teman sekelas, bahkan sejak teman sekelas TK, bahkan banyak ibu-ibu rela nyogok agar anaknya jadi juara kelas TK / PAUD...bayangkan, agar dapat rengking di sekolahnya, nyogok lagi agar keterima sekolah favorit, padahal ya sama saja kuliahnya pun harus bersaing lagi, dan hal ini masih berlanjut di kantornya harus bersaing dengan rekan-rekan sekerja. 

Kondisi persaingan hidup ini secara alam bawah sadar akan terbawa pula saat berwisata.
Terjadilah persaingan halus saling upload foto wisata karena nuansa persaingan, ajang saling unggul-unggulan.

Hal ini tentu akan disambut hangat para travel biro yang memang jualan sensasi wisata, bahwa jika anda suka upload foto di medsos akan segera ditangkap sebagai kesempatan bagi travel biro untuk jualan.

Kini paket wisata yang laku adalah yang menawarkan spot foto yang indah yang akan bergengsi ditampilkan di medsos.

Jadinya, karena hanya sibuk ber selfie dan unggah foto saja jadi justru tidak nulis perjalanan apa-apa malah yang penting hanya foto di tempat wisata karena dengan satu tujuan: Ingin terlihat sudah wisata di tempat yang eksotis, apalagi jika komentarnya para teman yang dulunya mungkin tidak melirik anda, adalah : “Wuihh kerenn, aduh jengg... pingin juga aku ke sana...” atau “ Aduh jengg... bikin iri saja, aduh mantap loh....” disertai icon jempol like dari handai tolan.

 Woow hati ini serasa melayang... serasa mendapat charge energi penuh, padahal dulu jangankan menyapa, melirik anda pun kawan anda itu enggan.

Dan foto anda itu secara telak menunjukkan pada lingkaran perkawanan anda kalau anda sudah ke sana tempat wisata itu, dan yuppp.... anda jadi perbincangan hangat pada medsos pada lingkaran handai tolan-teman dan sanak saudara saja.

Esensi wisata jadi melenceng.

Menurut saya pribadi (Mung Pujanarko) saya tidak perlu mengutip siapapun juga, dan anda juga tidak perlu mengutip saya. 

Esensi wisata adalah :

Wisata dalam bahasa sansekerta adalah sebuah makna peziarahan diri untuk memaknai kehidupan di tempat visata atau wisata yang sedang dikunjungi, esensi kehidupan di tengah waktu anda saat itu. Keheningan diri, adalah esensi wisata.

Tapi aduh jengg... jaman kekinian ini siapa mau hening diri sihh... sedangkan ibadah religius ke luar negeri saja sudah marak berubah jadi ajang pembuktian kesuksesan materialis duniawi diri, jadi ajang mencari like dan sensasi kekaguman sanak saudara, teman dan handai tolan.

Lah terus dimensi ‘afterlife’ setelah kehidupan dunia ini, apa berpengaruh dan terpikirkan ?

Maka itu ketika saya ketik pengalaman perjalanan ini dengan niat bahwa saya ingin tetap menyimpan (keeping) memory ini karena semuanya karena keterbatasan saya yang tidak mampu lagi mengingat secara rinci apa saja yang sudah saya lalukan di masa lampau. 

Karena faktor usia diri ini jadi mudah lupa.
Saya tulis ini ya untuk saya baca sendiri, tentang pengalaman saya, karena saya jika saya tidak mengetikkan pengalaman saya maka saya mudah lupa akan pengalaman saya.

Mungkin jika ada pembaca yang daya ingatnya tajam, ya saya sarankan tidak perlu repot menulis dan memotret wisata anda karena dengan ingatan fotografis anda yang luar biasa, saya yakin anda akan ingat segala-galanya tanpa repot-repot menulis dan memoret lagi. Untuk apa ? Kalau ingatan saya memang harus ditopang dengan tulisan yang kelak bisa saya baca sendiri.

Kalau saya ya, ini tulisan perjalanan memang saya perlukan, untuk memback-up memory saya yang terbatas sebagai manusia biasa.
-       
Esensi wisata adalah saving time dan time keeping.

Kebalikan dari wasting time, yang berarti membuang waktu, wisata bagi saya adalah saving time dan keeping time.  

Menyimpan waktu.

Kebisaan dan kebiasaan menulis, merekam dan mengunggah dalam website online pengalaman wisata kita akan berguna bagi diri sendiri, keluarga dan orang lain. 
Dengan review kita pada tempat wisata, kemudian kita bisa menerangkan rute, jalan, akomodasi dan hal-hal penting lainnya, maka informasi tentang wisata ini akan tersimpan oleh mesin pencari, tersimpan di web log kita masing-masing.


(Mung Pujanarko)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons