This is featured post 2 title
Sangat berkesan pelatihan bagi anggota PPWI di Markas Grup 3 Kopassus Cijantung
This is featured post 3 title
Pelatihan bagi angota PPWI ini dilakukan di Markas Grup 3 Kopassus guna membentuk karakter, disiplin, dan integritas kepribadan
This is featured post 4 title
Peserta diklat bela negara PPWI selalu kompak dalam setiap kesempatan, baik di barak, di lapangan dan arena pelatihan lainnya di dalam markas Grup 3 Sandi Yudha Kopassus
Rabu, 22 Februari 2012
Puluhan Pelajar di Bogor Mengikuti Pelatihan Jurnalistik
10:39 PM
mung pujanarko
No comments
Bogor-
Puluhan pelajar tingkat SLTA se-Bogor dan sukabumi mengikuti kegiatan
pelatihan jurnalistik yang diselenggarankan keluarga besar mahasiswa
fakultas ilmu sosial, politik, dan komunikasi Universitas Djuanda Bogor,
di aula gedung B beberapa minggu yang lalu (21/9).
Instruktur kegiatan, Mung Pujanarko, memberikan materi penulisan quick News. Dalam quick news teknik yang dipergunakan adalah menulis berita secara tepat, dan cepat hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit.
Pelatihan
diselingi dengan kegiatan praktek menulis cepat sehingga peserta dapat
segera menguasai teknik penulisan. Para Siswa yang hadir terlihat
antusias dan menyimak dengan tekun materi pelatihan jurnalisik tersebut.
Dekan Fakultas
Ilmu Sosial, Politik, dan komunikasi (FISIKOM) Beddy Iriwan Maksudi,
menekankan pentingnya ilmu komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat. “
Ilmu Komunikasi memiliki peranan yang penting baik di dunia jurnalistik
sendiri maupun politik”, ujar Beddy. Beliau juga mengharapkan agar
peserta nantinya mampu menulis, atau membuat berita dengan menggunakan
teknik penulisan yang benar. #anton surahmat
Senin, 16 Januari 2012
Srikaya (Sarikaya) di Halaman (3)
6:24 PM
mung pujanarko
No comments
kanan srikaya new varietas, kiri srikaya merah san pablo |
buah srikaya new varietas cukup besar |
anak saya suka dengan kemanisan rasa buahnya |
Hanya saja Srikaya Merah tidak beraroma harum. Pohon Srikaya Merah juga termasuk pohon yang tidak rewel dan tidak menuntut banyak syarat tumbuh. Srikaya pada umumnya dapat tumbuh di mana saja, dataran tinggi, rendah, ikim basah dan jarang hujan pun juga masih dapat tumbuh.
Srikaya berkhasiat untuk melawan parasit cacing dalam usus manusia. Karenanya sangat baik bagi anak kecil dan orang tua.
Cara makan srikaya new varietas adalah dengan mengiris buah terlebih dahulu, kemudian mengupas kulit luar, hampir sama saat kita mengupas sirsak matang. Sementara srikaya merah, memilki tekstur warna merah dalam lapisan daging yang melekat pada dinding dalam kulit yang juga bisa di makan. Caranya belah pakai tangan srikaya itu, dan makan paling efektif dengan di-sendok.
Hama Srikaya yang saya perhatikan adalah ulat cokelat kecil yang mengebor buah Srikaya semenjak pentil. Biar pun begitu, Srikaya tanaman saya tidak pernah saya semprot pestisida apapun, jadi kalau ada ulat yang ngebor ya saya biarin saja. Ada Srikaya yang sampai matang pohon dibor oleh ulat itu tapi anehnya ulat itu tak bisa makan dagingnya, ini sudah sering saya perhatikan. Ulat tersebut hanya makan di lapisan luar kulit Srkikaya yang tebal. Sepertinya ada zat dalam daging buah Srikaya yang diemohi ulat.
Selian ulat cokelat kecil ini ada lagi hama cabuk putih atau kutu putih yang lazim ada di sela-sela lipatan kulit luar Srikaya. Inipun tak sampai merangsek ke dalam buah, hanya menempel di luarnya saja.
Selama berkebun, saya tidak pernah menyemprot pestisida dengan pestisida. Karena saya perhatikan jika cuaca Bogor sedang panas, cabuk putih berkurang sendiri. Untungnya masih banyak musuh alami hama-hama ini, saya perhatikan kepik lady bug, capung (dragon fly), semut, dan burung-burung berparuh runcing panjang berkeliaran di sekitar tanaman Srikaya. Ya biarlah satwa itu saling makan-memakan. (*)
Minggu, 15 Januari 2012
Akar Eksistensi Citizen Journalism
11:18 PM
mung pujanarko
No comments
Kerap kali orang bertanya mengapa sih ada citizen journalism? Fenomena apa ini ?, apa yang melatar belakangi munculnya citizen journalism (Jurnalisme warga). Dan ada pertanyaan yang paling telak yakni : mengapa ada orang yang susah payah mau menjadi Citizen Journalist (pewarta warga)? padahal tanpa memperoleh bayaran sedikitpun jua.
Apa alasannya?orang lalu menebak : oh mungkin hanya ingin eksis, ingin famous, ingin terkenal.
Baiklah saudara pembaca, nafsu ingin terkenal ini memang banyak istilah gaul belakangan ini menganggap orang tersebut adalah: sok eksis , ingin eksis, eksis wanna be, atau malah narsis dan narcisstic. Dan sebagian dari negasi orang yang tak paham, dikatakan :”kurang kerjaan kali...”.
Dan banyak lagi reason atau alasan yang ditujukan kepada orang-orang yang menjalankan kegiatan Citizen Journalism.
Sebenarnya begini, dalam Ilmu Komunikasi dikenal dengan adanya Teori Interaksi Simbolik atau lazimnya disebut sebagai Symbolic Interaction Theory (SIT) di mana penggagas teori ini adalah George Herbert Mead (1934)-gurunya Herbert Blummer, kemudian disusul oleh Ralph La Rosa dan Donald C Reits (1993). Dalam teori SIT ini asumsi utamanya dibagi dalam tiga hal pokok y akni :
-Pentingnya makna bagi perilaku manusia.
-Pentingnya konsep mengenai diri.
-Pentingnya hubungan antara individu dan masyarakat.
Dalam Teori Interaksi Simbolik sebagai lingkup Ilmu Komunikasi dijelaskan bahwa motif orang untuk melakukan interaksi bukan hanya didasarkan oleh keuntungan (rewards) semata, seperti halnya yang dijelaskan dalam Teori Pertukaran Sosial atau Social Exchange Theory (SET) oleh John Thibaut dan Harold Kelley (1959), yang menandaskan bahwa : “hubungan hanya terjadi bila terdapat adanya selisih rasional antara reward dan cost, dan level perbandingan atau alternatif level perbandingannya”.
Namun, Mead menjelaskan bahwa interaksi dengan orang lain adalah proses bersama mencari makna (meaning) atau arti, melalui pengembangan pikiran (mind) bersama (yang terjadi saat proses komunikasi).
Dengan penjelasan Teori ini membantu kita saat mengamati secara seksama tentang fenomena Citizen Journalism, maka jelaslah secara empiris bahwa kebanyakan motif seseorang melakukan kegiatan Citizen Journalism sebagai bentuk komunikasi ini, adalah adanya suatu dorongan instingtif yang terwarisi dari sifat alamiah dasar manusia sejak manusia ada pertama kali di muka Bumi.
Dorongan ini adalah dorongan naluriah orang untuk mengabarkam sesuatu. Ini adalah primary need, bukan lagi ada di puncak piramida Maslow yakni aktualisasi diri.
Citizen Journalism kerap kali adalah dorongan manusia untuk mewartakan sesuatu (berkomunikasi) yang berguna bagi orang lain, sama halnya dorongan insting manusia untuk makan, minum dan basic need lainnya.
Basic need atau kebutuhan dasar berupa komunikasi ini, bertujuan untuk :
-Membantu komunitas (community buliding).
-Menghindarkan bencana bagi komunitas.
-Mengharapkan respon dari komunitas agar terbangun komunitas yang harmonis dengan alam.
Maka dorongan alamiah seseorang untuk mewartakan sesuatu pada orang banyak, memang tidak perlu menunggu sesorang untuk menjadi wartawan koran/ wartawan TV yang digaji perusahaan, namun dorongan orang untuk mewartakan berita, sebuah ide,makna, atau sebuah hal, itu adalah sah, legitimate, dan naluriah belaka adanya. Kita berpengalaman bahwa sebuah rezim sekuat Orde Baru pun tak bisa mengekang orang untuk bersuara.
Kita tidak bisa menggeneralisasi bahwa orang yang melakukan kegiatan Citizen Journalism adalah orang ingin famous, ingin eksis dan ingin dikenal.
Dorongan ingin famous atau ingin dikenal ini ada pada top (puncak) piramida hierachy of need-nya Maslow.
Sedangkan dorongan ingin mewartakan sesuatu ini adalah termasuk primary need, seperti halnya bayi menangis minta makan/susu. Bayi menangis karena butuh sesuatu, ini adalah bentuk komunikasi awal manusia. Dorongan berkomunikasi dengan orang lain ini adalah pimer sifatnya.
Misalnya kita tarik visi ke belakang sejarah, kembali pada jaman era komunitas manusia gua, jaman Pithecantropus erectus, serta jaman Homo sapiens mula, yakni kira-kira 20.000-30.000 tahun yang lalu. -Sebenarnya saya ingin memberi iustrasi jaman manusia neanderthal, tapi spesies ini punah pada jaman es-. Seorang caveman homo sapiens awal atau manusia gua sudah berkomunikasi dengan manusia lainnya melalui simbol, suara dan gambar-gambar dinding yang menyebutkan akan adanya : aneka binatang liar, bahaya, dan cuaca.
Berita pertama yang disebutkan manusia gua (caveman) adalah: “ada hewan”, di mana selanjutnya direspon oleh komunitas dengan memburu hewan tersebut untuk makan satu komunitas kecil. Berita selanjutnya adalah isyarat baik gerak tubuh dan suara yang memberitakan : “ada kebakaran” atau “ada bahaya alam, salju, banjir, ancaman tanah longsor dan lain-lain” yang segera direspon oleh kaum manusia perintis awal itu untuk menyelamatkan diri.
Jadi, semenjak jaman manusia perintis ini selalu ada caveman yang berani keluar gua untuk memantau situasi wilayahnya dan kembali lagi ke komunitasnya, untuk mewartakan apa yang dilihatnya, yang kira-kira berguna untuk komunitas tersebut. Maka kejujuran menjadi jaminan mutlak bahwa sang pewarta ini menjadi kepercayaan masyarakatnya. Kita tentu pernah mendengar kisah : “Seorang Anak dan Serigala”, dimana dikisahkan ada anak yang berkata pada penduduk, “Ada serigala!”, namun tidak terbukti, keesokan harinya berkata lagi anak itu “Ada Serigala!” dan tidak terbukti lagi. Karena kehilangan kepecayaan dari penduduk , maka saat ketiga kalinya anak itu mewartakan “Ada Serigala !,” penduduk sudah tidak percaya, dan anak itu mati dimakan Serigala. Ini kisah dengan pesan moral yang bagus, meskipun oleh Josef Goebbels sahabat Hitler, kemudian dikatakan bahwa : “kebohongan yang ditanamkan berulang kali adalah kebenaran”.
Tapi, biar bagaimanapun juga, namanya kebohongan apapun pasti tersingkap. Ada kisah menarik dari hikayat Eropa tentang “Raja Telanjang dan Anak Kecil”, yang mengungkap bahwa pakaian mahal yang dipakai raja ternyata djahit oleh dua orang penipu, dikatakan oleh penipu itu bahwa benang yang dipakai menenun pakaian adalah ‘benang kebijaksanan’, jadi kalau tidak bijak, maka orang tersebut tidak bisa melihat indahnya pakaian itu. Raja yang takut dibilang tidak bijak, termakan olehnya. Memang ternyata adalah tidak ada pakaian sama sekali. Jadi, pada waktu Raja memamerkan pakaiannya pada rakyat (padahal tidak berpakaian), setiap orang terdiam tercekam, karena takut dihukum oleh Raja, namun seorang anak kecil dengan lugu berteriak keras di tengah keheningan rakyat yang takut, “Heii...Raja itu telanjang!”, dan tertawalah rakyat semua.
Jadi dorongan manusia untuk melakukan kegiatan Citizen Journalism (jurnalisme warga) adalah lebih dasar dan lebih primer dari sekadar aktualisasi diri. Niat Prita Mulyasari umpamanya, dia menceritakan apa yang dialaminya, apa deritanya, adalah agar orang lain tahu dan memberikan respon terhadap apa yang dialaminya itu. Ini sama alamiah dengan kita yang memberitakan bahwa ‘aku sakit karena sesuatu’. Maka respon orang-orang pada kita akan beragam, tapi umumnya mengarah pada satu hal yang positif yakni : ‘bertahan hidup’ .
Akar insting Citizen Journalism di manapun jua pada dasarnya adalah kembali pada untuk keinginan ‘berguna bagi masyarakat’, berguna bagi society. Rasa ingin berguna ini pada dasarnya adalah rasa keinginan untuk survive atau bertahan hidup secara sosial (bersama),- dan bukanlah prinsip indvidual : ‘gua hidup, loe mati’-, dalam sebuah community masyarakat, baik untuk keluarga, kampung, wilayah, dan negara bangsa. (*)
Jumat, 13 Januari 2012
Komunikasi dengan Pecandu Narkoba
9:39 PM
mung pujanarko
No comments
Berkomunikasi dengan pecandu narkoba acap menghasilkan result yang tidak logis, karena daya nalar pecandu terkadang selip menjadi nalar yang tidak logis dan pernyataan-pernyataan pecandu ini sering kontradiktif. Dalam arti setiap respon pecandu Narkoba terhadap konselor sering ngelantur. Oleh karena itu beberapa teori dalam Ilmu Komunikasi kemudian kerap digunakan konselor, dan orang yang berkomunikasi dengan pengguna narkoba. Antara lain, harus mengggunakan ‘teori daun bawang’ atau nama lainnya adalah Social Penetration Theory (SPT) oleh Irwin Daltman dan Dalmas Taylor (2008). Bila tidak mempan, maka saat kita berkomunikasi dengan pemakai narkoba kita juga menggunakan Teori Dialogis, dimana dijelaskan oleh Michael Bakhtin (2006) empunya teori ini, bahwa harus ditimbulkan “reason and alibi for being” dari diri si penderita. Jika dialog mandeg maka yang tertinggal dalam diri pengguna narkoa adalah “there is no alibi for being” dan menjurus ke self destructions dan putus asa.
Sejak putus asa adalah favorit Iblis, maka kita harus memerangi rasa putus asa ini. Seorang kemudian susah payah harus pula mengembangkan seni komunikasinya dengan menggunakan teori Relational Dialectic Theory atau RDT, oleh Leslie Baxter dan Barbara Montgomery (2008), yang bila dijalankan secara baik maka bisa menimbulkan percakapan yang menyenangkan, namun efeknya jika konselor yang memakai teori ini pergi maka akan timbul lagi krisis ‘out of sight, out of mind' alias jauh di mata jauh di hati dan muncul lagi keputus-asaan dari penderita. Pokoknya repotlah kalau komunikasi dengan pecandu narkoba ini.
Pecandu Narkoba bila masih dalam tahap coba-coba atau tahapan awal, ditemukan tidak sedikit merupakan anak yang cerdas, aktif dan berani. Dalam arti dia sudah memiliki keberanian di atas rata-rata anak sebayanya. Bahkan sebelum terjerumus, tak jarang anak tersebut termasuk aktif, suka akan tantangan, dan petualangan.
Namun yang saya lihat, efektivitas komunikasi untuk pecandu Narkoba, dengan menjalani sesi komunikasi grup, atau face to face dengan konselor sulit mendapatkan hasil efektif.
Prinsip komunikasi tadi digunakan untuk membantu agar pecandu Narkoba sadar akan akibatnya. Tapi dalam most case pecandu Narkoba akan sia-sia mendengarkan ceramah. Karena itu prinsip komunikasi dengan pemakai Narkoba haruslah memakai tayangan visual atau melalui buku-buku komik yang dibuat khusus sebagai cerita yang menyentuh sanubari, dan membuat miris penderita penyalah guna narkoba.
Mendengarkan orang bicara (ceramah) bagi pecandu Narkoba bisa menjadi efek yang menyiksa dirinya, karena ada kegagalan membayangkan ucapan menjadi imagi (gambar) di benaknya, karena itu dia seolah-olah malah ingin mencoba lagi barang haram tersebut untuk memperkuat imagi benaknya.
Namun alangkah efektifnya komunikasi dengan pecandu narkoba jika kita memakai tayangan visual, yakni film-film (auvi) yang dibuat khusus yang mengisahkan kisah tragis yang amat dramatis tentang nasib pilu pecandu narkoba.
Misalnya tayangan itu dimulai dengan tayangan tentang seorang profil anak remaja yang mapan/kaya dan profil anak remaja yang miskin, keduanya memakai narkoba. Tayangan ini haruslah dibuat seperti layaknya film India, yang sarat air mata. Alurnya dibuat dua alur. Yang pertama mengisahkan seorang anak kaya yang memakai narkoba untuk eksis dan anak miskin yang memakai narkoba juga untuk gaya dan eksis. Melihat gambar lebih mudah daripada membayangkan gambar.
Alasan memakai narkoba di kalangan anak muda dalam taraf early drug abuser atau pemakai mula adalah untuk eksis dalam lingkup pergaulan. Jadi piramida kebutuhan Maslow dibalik. Aktualisasi diri menjadi kebutuhan mendasar bagi teenager (lihat piramida hierachy of need-nya Maslow). Biasanya demi kemauan eksis ini, anak-anak baik pemuda dan pemudi yang awal memakai narkoba pada awalnya adalah diajak teman, dikenalkan oleh teman sebaya yang telah menggunakan terlebih dahulu dan kelihatan keren serta cool. Untuk alasan agar eksis, cool dan mendapat respek inilah maka anak-anak remaja mencoba merokok, menikmati miras dan akhirnya menyalah gunakan narkoba. Eskalasi dari rokok-miras-narkoba ini adalah trilogi umum dan dipahami oleh banyak orang tua.
Setelah eksis, maka tahap yang kedua anak ini akan merasakan fly atau teler. Getting high atau fly atau teler ini adalah sensasi baru yang menyenangkan bagi anak-anak remaja pemakai mula narkoba. Nakoba yang pertama kali digunakan biasanya adalah narkoba jenis pil telan.
Jenis pil oral/telan ini umumnya adalah berefek penenang syaraf, atau obat resep untuk penderita gangguan jiwa yang disalah-gunakan. Asalkan obat tersebut menimbulkan efek sedatif (bius) dan opiat (penenang) membuat sensasi ‘cool’ maka akan rawan disalah-gunakan.
Biasanya dengan dorongan peer group/ kawan-kawan sebaya kelompok ini, setelah menikmati pil telan yang bersifat sedatif, maka dia akan mencoba memakai yang jauh lebih beresiko dengan misalnya saja daun cannabis/ganja.
Pemakaian cannabis ini menimbulkan efek delirium yang luar biasa yang menimbulkan efek euphoria berlebihan. Pengguna mula biasanya belum tahu kalau hukuman pemakai ganja adalah hukuman seumur hidup penjara. Maka dengan santainya pengguna mula ini mencobanya. Kalau dalam taraf ini, maka otak pemakai sudah diracuni dengan keinginan mencoba yang lebih merusak lagi seperi methampetamine (meth), crystal derivatif (shabu), synthetic derivatif (putauw), dan lain-lain jenis yang amat merusak organ tubuh, dan hukumannya puluhan tahun penjara sampai seumur hidup.
Sampai di sini jelas kita prihatin. Sampai tahap ini harusnya pihak orang tua dan guru sudah bisa mendeteksi kecenderungan anak pemakai narkoba. Maka satu sekolah sejak dini harus diberi komunikasi tentang bahaya narkoba, namun komunikasi haruslah yang efektif. Mohon maaf jika sudah tahap ini Bimbingan dan Penyuluhan dengan cara "dipanggil Guru BP" tidaklah efektif.
Komunikasi efektif untuk pemakai narkoba adalah dengan visual. Ini saya ketahui setelah beberapa kenalan menyerah setelah berkomunikasi dengan anaknya, namun setelah saya tunjukkan tayangan sederhana berjudul serial “1000 ways to die” yang ada di sebuah channel TV kabel, anak kenalan itu shock melihat bahwa efek narkoba ini sungguh jahat dan merusak jasmani rohani sampai mati, karena ada visualisasi bahan kimia narkoba itu masuk mulut, tenggorokan, lambung, tercerna, terbawa darah ke jantung otak dll. Di Indonesia sayangnya pembuatan film tentang kenyataan pahit pengguna narkoba dengan subyek film orang Indonesia sendiri, selaku pelaku yang menjadi korban, belum banyak dibuat produk film penyuluhan ini.
Sementara di Amerika, pembuatan film yang menggambarkan nasib seorang pengguna narkoba mulai dari remaja hingga orang dewasa sudah kerap dibuat dengan amat banyak judul sehingga dapat ditayangkan, kita bisa melihatnya di tayangan TV kabel, BBC, Fox TV dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan AIDS, saya pernah melihat tayangan film tentang Pasutri yang mengidap AIDS, di mana seorang ayah yang pecandu narkoba suntik menderita AIDS, kemudian menularkan kepada istrinya, kemudian istri menularkan kepada bayinya, akhirnya komplit sekeluarga terkena AIDS. Kemudian ayah meninggal setelah obat ARV (anti retroviral) gagal menyelamatkan nayawanya. Kisah ini sungguh gripping sangat mencekam dengan pengambilan gambar yang bergeser-geser (tematik).
Efek teori komunikasi Hypodermis Needle Theory sangat terasa karena tayangan dikemas secara apik dan diharapkan dapat membuat pemirsa tidak dapat atau sulit melupakan tayangan ini. Saya yang melihat tayangan ini 3 tahun yang lalu juga tidak dapat melupakannya, terutama di saat sang ayah yang tadinya ganteng gagah menjadi pecandu yang kena AIDS kurus, kering dan mati. Kemudian dimana pasangan keluarga ini akhirnya harus berjuang antara hidup dan mati melawan penyakit AIDS yang disebabkan oleh drug abuse. Obat anti retroviral memang menjadi penyokong hidup, tapi bila ginjal tidak kuat ya, pasti mati pula.
Saya juga pernah melihat di TV kabel, tentang remaja-remaja perempuan Amerika yang hamil dan melahirkan anak hasil hubungan seks bebas pada usia 16 tahun, judulnya “The Young Mother”. Amerika telah sadar bahwa satu atau dua generasi bisa rusak parah akibat kemaksiatan. Seharusnya kita, apalagi bangsa kita memiliki nasihat-nasihat leluhur (Jawa) tentang bahaya Molimo (madat, madon, minum, main, maling) yang harusnya bisa difilmkan. Atau saya pernah melihat serial di BBC menayangkan film seven sins (7 deadly sin), antara lain yang saya ingat dalam bahasa latin 7 sins ini adalah SALIGIA : superbia/ Pride, avaritia/Greed, luxuria/Lust, invidia/ Envy, gula/Gluttony, ira/Wrath, acedia/ Sloth .
Sebagai pembelajar ilmu komunikasi, tentu saja saya inginkan agar pemerintah melalui lembaganya yang bermacam-macam bisa segera membuat banyak judul-judul film (audio visual) atau tayangan yang menceritakan beragam kisah tragis, memilukan dan mencekam (gripping) bak horror pocong -(tapi jangan dibuat film dengan judul :”pocong pemabuk atau the stoned pocong, pocong high dll”)-, tetang penderita pecandu Narkoba. Kemudian bisa kisah tentang tragisme seks bebas yang berujung AIDS. Bila judulnya cukup beragam dengan metode film dokumenter atau kisah nyata dengan pelaku yang nyata yang akhirnya mati atau tobat (tobat or die), maka bisa diputar di sekolah-sekolah. Kisah ini memang sebaiknya dokumenter atau semi dokumenter agar ada efek kenayataannya.
Saya hanya pernah membaca kisah- kisah PSK yang akhirnya mati mengenaskan karena AIDS atau over dosis, tapi film dokumenternya tidak ada, upaya ini haruslah dibuat oleh sineas muda Indonesia, baik secara independen atau institusional.
Karenanya pemerintah atau NGO yang bekerja sama dengan pemerintah harus memiliki beragam tema film /tayangan yang bersifat nyata secara film dokumenter atau film-film lepas yang mengisahkan kisah-kisah tragis para pelaku penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dan kenakalan remaja, bukan hanya film sinetron sahaja. Film dokumenter tentang siswa-siswa korban tawuran yang mati dengan usus terburai,cacat seumur hidup, menjadi tak berguna di dunia kerja, atau korban tawuran berseragam SMU yang tewas mengenaskan,/atau siswa kriminal yang dipenjara di LP anak, pelaku kebut-kebutan motor yang kepalanya pecah, pecandu narkoba yang tobat atau mati/dipenjara khusus, atau pecandu yang jadi korban traficking dan lain sebagainya, ini semua haruslah difilmkan meskipun bila dokumenter sulit, maka semi dokumenter, bila masih sulit ya buatlah yang ilustrasi, tapi ada efek darah (blood), and death, dan bila perlu ada efek membuat mual-muntah seperti aliran sineas Hongkong. Maka bentuk komunikasi dengan pecandu narkoba atau kita sebut dengan narkobawan dan narkobawati ini secara efektif dalam Ilmu Komunikasi sejalan dengan The Hypodermis Needle Theory dan sejalan dengan paradigma sosiopsikologi, paradigma sosiokultural, dan paradigma kritis. (*)
Membangun Masyarakat dan Bangsa Terbebas dari Candu Narkoba
Manusia adalah asset kehidupan. Apalagi jika manusia itu masih muda dan produktif, tentu dirinya dapat menjadi asset kehidupan bangsa dan negara, serta pastinya berguna dalam kehidupan keluarga masing-masing.
Namun jika yang namanya narkoba (zat narkotika, psikotropika yang amat-sangat berbahaya jika disalah gunakan) telah merasuki dalam kehidupan manusia, maka yang ada adalah perasaan kecanduan (addicted).
Di atas, ada artikel yang saya tulis tentang pentingnya komunikasi bagi pecandu narkoba. Kecanduan adalah sebuah perasaan yang mungkin tidak akan pernah dipahami bagi mereka yang tak tahu bagaimana menggambarkan kecanduan itu dengan kata-kata. Apalagi menggambarkan bagaimana penderitaan, sakit, dan gelisah, nervous, akibat kecanduan, itu dengan kata-kata. Orang bijak mengatakan bahwa :
“Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan sebuah penderitaan akibat kecanduan”.
Kalau ada orang mengatakan bahwa kecanduan adalah hal yang menyenangkan, dan tak masalah, no big deal. Well, maka tahap pemahamannya memang baru segitu.
Kecanduan yang pasti adalah masalah psikis yang amat serius dan perlu segera penanganan yang holistik, apalagi perilaku kecanduan terhadap narkoba, ini perlu terapi medis dan non medis.
Semua pihak juga perlu sedikit pengetahuan bagaimana menanggulangi kecanduan yang menimpa keluarga dekat atau sahabat.
Kecanduan adalah akibat dari kebiasan otak yang telah biasa merasakan sebuah efek yang memberi rasa gembira, tenang, luar biasa, semangat, dan aneka rasa yang menyenangkan lainnya, yang didapat dari zat addiktif. Perasaan tenang, semangat, gembira, luar biasa dari zat addiktif, adalah perasaan yang menyenangkan bagi para penyalah-guna zat addiktif tersebut.
Inilah (akibatnya) ketika seorang telah membiasakan diri untuk mengasupi atau memberi makan otaknya dengan zat addiktif yang memberi rasa nikmat, tenang dan senang, bahkan semangat luar biasa melalui zat adiktif dan, maka otak akan senantiasa menagih hal itu.
Komunikasi yang terjalin dalam diri seseorang pecandu adalah komunikasi neuron otak yang minta atau nagih ingin terus diasupi oleh zat adiktif yang memberi aneka efek luar biasa tersebut.
Otak pecandu akan terus nagih / minta zat yang memberikan sensasi yang luar biasa, secara kontinyu.
Apalagi jika korban kecanduan telah membiasakan otak dan tubuhnya untuk mengasup zat addiktif secara kontinyu, maka semakin sulit untuk lepas dari rasa kecanduan.
Ciri-ciri kecanduan, antara lain : Bila putus dari addiktif maka nervous yang amat sangat, gelisah, keringat dingin, jantung berdebar, perasaan yang tak menentu, yang tentunya kata-kata amat terbatas untuk menggambarkannya.
Bila otak telah menagih, maka bila putus dengan zat addiktif badan lemas lesu, emosional, limbung, terasa kaku, dll yang berkaitan dengan gangguan sistem syaraf tubuh.
Kecanduan benar-benar tidak mudah untuk dihilangkan, penderita kecanduan zat addiktif atau psikotropika, narkotika atau zat adiktif lainnya jelas butuh pertolongan baik medis maupun non medis.
Dari segi komunikasi intra personal maka ini lebih sulit, bagi penderita utuk mengatasinya dengan komunikasi intra personalnya.
Dalam komunikasi intra personal yang dibangun dalam diri penderita maka penderita haruslah mampu melawan perasaan sakit, perasaan gelisah dan juga seribu perasaan panic - paranoid lainnya ketika tubuh dan otak mulai menagih zat yang telah biasa membuat otak merasakan efek yang luar biasa, semangat dll, melalui zat addiktif.
Penderita harus diajari cara melihat dirinya sedniri adalah sebagai korban miskomunikasi dalam otaknya sendiri yang menuntutnya untuk senantiasa mengasupi dirinya dengan drugs atau narkoba.
Perasaan takut, gelisah, mual, sakit sampai teriak-teriak kerap terlihat saat pecandu putus dengan zat yang menjadi asupannya.
Dari segi non medis maka penanganan juga bisa ditempuh. Biasanya terapi spiritual, tapi sekali lagi ini tak mudah langsung ces pleng, semudah membalik telapak tangan, acapkali pecandu akan butuh lebih banyak terapi medik.
Dalam komunikasi, yang pertama-tama dibangun adalah komunikasi intra personal yang kuat pada diri penderita yang menyadarkan diri pecandu bahwa dirinya adakah telah menjadi korban dari miskomunikasi otak ((neuron brain)) yang menagih terus akan sensasi zat addiktif itu.
Penderita kecanduan harus dibuat sadar bahwa dirinya adalah korban dari ketagihan yang disbebabkan otaknya telah terbiasa diasupi zat addiktif, maka diharapkan diri pecandu sadar bahwa dia telah membuat miskomunikasi dengan otaknya sendiri.
Pada waktu–waktu dimana penderita kecanduan biasa menggunakan zat addiktif, maka, bila pada waktu tersebut tidak ada asupan, tak ayal menjadi waktu yang sangat menyiksa bagi diri pecandu.
Untuk itu pecandu harus diajak melihat bahwa dirinya lebih besar dari kecanduan itu. Meskipun hal ini tidak mudah, karena perasaan gelisah, sakit yang akut, mendadak dan bertahan dalam beberapa waktu lamanya akan menjajah diri sang pecandu karena otaknya telah menagih zat addiktif tersebut.
Sungguh memang kecanduan itu pada akhirnya akan membuat manusia terbelenggu dan tergantung pada zat addiktif yang tadinya telah memberinya efek sensasi yang tadinya terasa luar biasa, namun jika mendadak putus asupannya maka sensasi ini akan berbalik menjadi sebuah penderitaan yang mengerikan, sakit dan gelisah yang tak terperikan.
Maka wajib bagi manusia untuk melawan setiap kecanduan yang dideritanya. Wajib bagi manusia untuk menolong kerabatnya dari kecanduan narkoba. Maka itu sebaiknya memang pencandu narkoba apabila telah parah tingkat kecanduannya, maka pecandu tidak dipenjara di LP biasa. melainkan di penjara yang lebih merupakan sebuah assylum, sebuah rumah sakit, sebuah panti rehabilitasi dengan maksimum sekuriti, syukur BNN sudah punya, tapi jumlah panti rehab narkoba tetap kurang banyak.
Perlu diingat mereka para pecandu ini memang telah sakit secara psikis, juga sakit secara sosial. Sakit secara sosial, karena pecandu akan bersedia melakukan apa saja, sekali lagi -a p a s a j a-, termasuk berbuat jahat kriminal, melacur, mencuri, merampok, bahkan membunuh, untuk dapat membeli narkoba. Ini jelas mengerikan bagi kehidupan bangsa. Pengedarnya harus dihukum berat. (*)
Note : adiktif, addiktif, dari kata addict, akar kata add (tambah), yakni ingin senantiasa menambah dosis narkoba (illegal drugs), hingga dosis (dose) itu terlalu tinggi bagi tubuhnya hingga tubuhnya mati dan nyawanya meninggalkan raganya menuju dimensi lain, menuju alam lain, katakanlah begitu.
Oleh : Mung Pujanarko, aktivitas belajar-mengajar Ilmu Komunikasi.
Kamis, 12 Januari 2012
Prinsip Citizen Journalism
12:39 PM
mung pujanarko
No comments
Citizen Journalist atau Pewarta Warga adalah :" Warga Negara yang melakukan kegiatan berkomunikasi secara verbal dan non verbal, secara tulisan, secara audio maupun secara visual guna menyalurkan aspirasinya, baik berupa berita (news). feature (artikel minat insani), foto, dan video yang berdasarkan fakta yang ada dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, serta bentuk opini warga yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang ditampung dan disalurkan melalui media massa baik cetak dan elektronik."
Karena kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat dijamin oleh UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka semua warga negara tanpa ada diskriminasi SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) dapat bebas tanpa rasa takut untuk mengeluarkan pendapatnya..
Karena Citizen Journalism adalah sebuah konsep pemikiran ilmu, dengan etimologis kata berakhiran ‘isme’ atau ‘ism’ yang berarti merupakan sebuah cabang pemikiran atau aliran intelektual. Tentu saja warga yang berkiprah dalam Citizen Journalism (Jurnalisme Warga) haruslah terlebih dahulu memahami dengan baik dan benar konsep Citizen Journalism. Citizen Journalism merupakan bentuk ‘way’ bahkan ‘ high way’ atau jalan besar -yang seharusnya bebas hambatan- agar rakyat dapat menyalurkan semua bentuk komunikasi, baik lisan dan tulisan pada media massa baik, cetak dan elektronik agar tercapai Indonesia yang Demokratis. Intinya Citizen Journalism juga perlu ilmu jurnalistik, baik teori dan praktek.
Sedangkan landasan Demokrasi mutlak bagi syarat tumbuh dan berkembangnya Citizen Journalism (Jurnalisme Warga). Demokrasi sendiri dipahami sebagai konsep hidup bangsa yang sadar bahwa aspirasi warga haruslah mendapat perhatian karena ada pepatah Vox Populi, Vox Dei artinya suara publik adalah suara Tuhan (pengertian Demokrasi: Wikipedia:2010). Contohnya; apabila publik menuntut keadilan, maka Tuhan Yang Maha Esa telah terlebih dahulu berkehendak keadilan Universal di Alam Semesta ini. Jika publik mengecam korupsi, maka Tuhan telah terlebih dahulu melarang manusia untuk korupsi dan mencuri. Jadi suara rakyat banyak akan sebuah nilai-nilai yang mulia (divine virtue) yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Jadi tetap prinsip citizen jurnalisme ini mengandung prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai Sila 1 Pancasila.
Adalah perlu dipahami, bahwa pengertian suara publik di sini benar- benar murni merupakan suara hati nurani publik, bukanlah rekayasa dan diatur oleh kehendak ambisi pribadi-pribadi yang mampu menggerakkan massa. Kalau sudah terjadi rekayasa, maka istilah Vox Populi Vox Dei menjadi buram dan mudah diplesetkan. Contohnya jika penguasa yang memiliki ambisi pribadi menggerakkan massa rakyatnya agar bersuara, maka hal itu bukanlah kehendak masyarakat secara natural. Namun jika masyarakat menginginkan sesuatu yang bersifat natural serupa keadilan dan kemakmuran, maka jelas hal tersebut datang secara natural dari hati nurani masyarakat.
Bila dijabarkan lebih lanjut Kemanusiaan yang Adil dan Beradab pun bisa terwujud apabila masyarakat bebas bersuara. Apalagi Persatuan Indonesia, bisa utuh dan langgeng apabila aspirasi rakyat dapat tersalur dengan baik. Begitu pula Kerakyatan yang Dipimpn oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyarawaratan Perwakilan inipun menyiratkan adanya kebebasan rakyat yang bersuara lewat parlemen. Terakhir Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia ini berarti semua warga negara berhak untuk menyuarakan aspirasinya tanpa ada diskriminasi apapun juga.
Maka konsekuansi logis dari demokrasi adalah :
1. Munculnya fenomena citizen journalism
2. Munculnya kesadaran masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya melalui berbagai media, baik lisan maupun tulisan apakah itu bersifat opini, berita dan feature (artikel). Juga audio visual
3. Munculnya banyak situs berita dot com di internet yang kini siap menampung semua aspirasi warga dari kegiatan citizen journalism.
4. Munculnya kebiasaan menulis berita oleh warga dalam blog, dan situs jejaring social.
Eksistensi situs berita di internet juga diharapkan mengakomodasi tulisan pewarta warga. Terjadi hubungan antara aktivitas pewarta warga (kegiatan citizen journalism) dengan eksistensi situs berita dot com di internet, karena dalam dinamika sosial di masyarakat terjadi minat untuk membuat tulisan yang bersifat informatif dan berguna bagi orang lain untuk diunggah melalui aneka situs berita internet. Kecenderungan untuk mewartakan sesuatu yang dirasakannya secara batiniah (curhat), dirasakan oleh panca inderanya kepada manusia lain ini sudah ada sejak manusia pertama ada di muka Bumi
Sebenarnya kebebasan mengeluarkan pendapat ini tidak perlu dikhawatirkan akan terpasung dengan adanya UU ITE. Karena jika yang kita suarakan benar, apalagi dialami sendiri, maka masyarakat luas juga akan terbantu oleh informasi yang diberikan oleh pewarta warga (citizen journalist). (*)
Karena kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat dijamin oleh UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka semua warga negara tanpa ada diskriminasi SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) dapat bebas tanpa rasa takut untuk mengeluarkan pendapatnya..
Karena Citizen Journalism adalah sebuah konsep pemikiran ilmu, dengan etimologis kata berakhiran ‘isme’ atau ‘ism’ yang berarti merupakan sebuah cabang pemikiran atau aliran intelektual. Tentu saja warga yang berkiprah dalam Citizen Journalism (Jurnalisme Warga) haruslah terlebih dahulu memahami dengan baik dan benar konsep Citizen Journalism. Citizen Journalism merupakan bentuk ‘way’ bahkan ‘ high way’ atau jalan besar -yang seharusnya bebas hambatan- agar rakyat dapat menyalurkan semua bentuk komunikasi, baik lisan dan tulisan pada media massa baik, cetak dan elektronik agar tercapai Indonesia yang Demokratis. Intinya Citizen Journalism juga perlu ilmu jurnalistik, baik teori dan praktek.
Sedangkan landasan Demokrasi mutlak bagi syarat tumbuh dan berkembangnya Citizen Journalism (Jurnalisme Warga). Demokrasi sendiri dipahami sebagai konsep hidup bangsa yang sadar bahwa aspirasi warga haruslah mendapat perhatian karena ada pepatah Vox Populi, Vox Dei artinya suara publik adalah suara Tuhan (pengertian Demokrasi: Wikipedia:2010). Contohnya; apabila publik menuntut keadilan, maka Tuhan Yang Maha Esa telah terlebih dahulu berkehendak keadilan Universal di Alam Semesta ini. Jika publik mengecam korupsi, maka Tuhan telah terlebih dahulu melarang manusia untuk korupsi dan mencuri. Jadi suara rakyat banyak akan sebuah nilai-nilai yang mulia (divine virtue) yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Jadi tetap prinsip citizen jurnalisme ini mengandung prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai Sila 1 Pancasila.
Adalah perlu dipahami, bahwa pengertian suara publik di sini benar- benar murni merupakan suara hati nurani publik, bukanlah rekayasa dan diatur oleh kehendak ambisi pribadi-pribadi yang mampu menggerakkan massa. Kalau sudah terjadi rekayasa, maka istilah Vox Populi Vox Dei menjadi buram dan mudah diplesetkan. Contohnya jika penguasa yang memiliki ambisi pribadi menggerakkan massa rakyatnya agar bersuara, maka hal itu bukanlah kehendak masyarakat secara natural. Namun jika masyarakat menginginkan sesuatu yang bersifat natural serupa keadilan dan kemakmuran, maka jelas hal tersebut datang secara natural dari hati nurani masyarakat.
Bila dijabarkan lebih lanjut Kemanusiaan yang Adil dan Beradab pun bisa terwujud apabila masyarakat bebas bersuara. Apalagi Persatuan Indonesia, bisa utuh dan langgeng apabila aspirasi rakyat dapat tersalur dengan baik. Begitu pula Kerakyatan yang Dipimpn oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyarawaratan Perwakilan inipun menyiratkan adanya kebebasan rakyat yang bersuara lewat parlemen. Terakhir Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia ini berarti semua warga negara berhak untuk menyuarakan aspirasinya tanpa ada diskriminasi apapun juga.
Maka konsekuansi logis dari demokrasi adalah :
1. Munculnya fenomena citizen journalism
2. Munculnya kesadaran masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya melalui berbagai media, baik lisan maupun tulisan apakah itu bersifat opini, berita dan feature (artikel). Juga audio visual
3. Munculnya banyak situs berita dot com di internet yang kini siap menampung semua aspirasi warga dari kegiatan citizen journalism.
4. Munculnya kebiasaan menulis berita oleh warga dalam blog, dan situs jejaring social.
Eksistensi situs berita di internet juga diharapkan mengakomodasi tulisan pewarta warga. Terjadi hubungan antara aktivitas pewarta warga (kegiatan citizen journalism) dengan eksistensi situs berita dot com di internet, karena dalam dinamika sosial di masyarakat terjadi minat untuk membuat tulisan yang bersifat informatif dan berguna bagi orang lain untuk diunggah melalui aneka situs berita internet. Kecenderungan untuk mewartakan sesuatu yang dirasakannya secara batiniah (curhat), dirasakan oleh panca inderanya kepada manusia lain ini sudah ada sejak manusia pertama ada di muka Bumi
Sebenarnya kebebasan mengeluarkan pendapat ini tidak perlu dikhawatirkan akan terpasung dengan adanya UU ITE. Karena jika yang kita suarakan benar, apalagi dialami sendiri, maka masyarakat luas juga akan terbantu oleh informasi yang diberikan oleh pewarta warga (citizen journalist). (*)
Prinsip-prinsip Reportase Investigasi
12:00 PM
mung pujanarko
No comments
Apa persamaan antara wartawan/ jurnalis /reporter dengan penambang?. Ternyata dalam urusan gali-menggali (digging), wartawan dan penambang idealnya tidak puas dengan hasil yang ada dipermukaan.
Melvin Mencher dalam bukunya (Principles of Reporting, 2007) mengatakan :”Reporter atau wartawan itu adalah seperti penambang atau pencari bahan tambang (prospectors)”. Dalam arti, reporter yang baik selalu kurang senang dengan bahan-bahan permukaan, untuk itu reporter/jurnalis yang baik kadang menggali ke dalam, meski kadang-kadang tak tertembus atau kurangnya waktu mengganggu pencarian, dan mungkin perlu untuk berhenti menggali dan untuk membuat hubungan (connections) dengan apa yang telah muncul.
Jika memungkinkan, wartawan/reporter terus menggali sampai dia mencapai ke bagian bawah hal, sampai -secara jurnalistik- pada lapisan kebenaran dari peristiwa ini digali selengkap-lengkapnya. Karena itu seorang jurnalis idealnya seperti prospektor. Melvin Mencher mengatakan bahwa : “Sensitivitas hidung wartawan untuk berita-sangat membantu,”. Dalam arti, insting wartawan untuk selalu ingin menggali fakta memungkinkan kebenaran sejati terungkap. Selain itu, wartawan juga dikenal memiliki akses ke beberapa sumber panduan nyata. Pertama, wartawan itu tahu bahwa pengamatan (observasi) dirinya secara umum lebih dapat diandalkan daripada pengamatan banyak sumber, yang belum pernah dilatih untuk melihat dan mendengar secara akurat.
Ketika dipaksa untuk bergantung pada beberapa satu pengamatan yang lain, para wartawan menggunakan berbagai tes untuk menentukan kehandalan sumber. Ketika wartawan harus menggunakan sumber dari tangan kedua atau ketiga atau bila ia meragukan pengamatan sendiri ia tahu di mana harus mencari bahan verifikasi. Sebagai seorang jurnalis tugas reporter memang menggali informasi yang dipandu oleh pemahaman tentang sifat pelaporan.
Sedangkan Pelaporan (reporting ) sendiri menurut Mencher adalah proses pengumpulan fakta-melalui observasi, penalaran dan verifikasi agar dapat disajikan sebagai berita pada pembaca, pemirsa atau pendengar ide yang baik dari apa yang terjadi.
Pekerjaan wartawan itu adalah dengan melihat di bawah permukaan untuk realitas yang mendasarinya. Lincoln Steffens, wartawan terkenal mengatakan : “Tugas wartawan adalah meringankan dalam cahaya dan udara " artinya wartawan melihat bahwa dasar pekerjaan mereka pada keyakinan dan tugas mereka adalah untuk melihat kebenaran yang relevan untuk orang-orang yang tidak dapat menyaksikan atau memahami hal yang mempengaruhi mereka. Steffens sebagai anggota staf dari The Washington Post mendefinisikan reportase :”Ini adalah tugas mengungkapkan lapisan kebenaran yang ada di sekitar kita, lapisan pemahaman yang menantang kita.''
Untuk itu Melvin Mencher dalam , mengatakan bahwa dalam reporting dikenal ada 3 layer atau lapisan, yakni :
1. Lapisan yang pertama (layer 1) adalah informasi yang bersumber dari berbagai nara sumber yang resmi atau asli.
2. Sementara layer 2 atau lapisan 2 adalah berita atau informasi yang diperoleh dari kejadian yang spontan. Termasuk lapisaan yang kedua adalah kegiatan memverifikasi bahan- bahan latar belakang untuk tulisan, dan semua hasil pengamatan reporter (wartawan).
3. Sementara lapisan ketiga (layer 3) adalah lapisan yang membutuhkan penggalian fakta secara mendalam. Karena dalam lapisan ini dibutuhkan penjelasan – penjelasan yang lebih mendalam dan pemahaman yang didasari fakta dari seorang reporter, akan sebuah masalah yang muncul. Jadi dalam layer (lapisan) ketiga ini lebih dari sekedar melaporkan namun telah menginvestigasi berbagai macam fakta serta dapat meng-interpretasikan fakta- fakta itu.
Layer 1 atau lapisan pertama pelaporan adalah tujuan pelaporan secara transkripsi. Artinya, reporter secara hati-hati dan akurat mengutip dari catatan, pidato, atau konferensi pers. Inilah yang disebut pula dalam Mencher (2007) yakni kekuatan dan keterbatasan dari jurnalisme obyektif.
Mencher (2007;Ch9) mengatakan, Layer 1 (lapisan 1) adalah sumber informasi yang paling faktual karena data yang digunakan adalah gabungan dari berita dari konferensi pers, handout, pernyataan, pidato, pernyataan, perintah, keputusan, keputusan dan pendapat. Bahan ini berasal dari dan dikendalikan oleh sumbernya.
Mengumpulkan Fakta pada lapisan 1 adalah seperti wartawan yang menggali pada lahan penambangan terbuka. Banyak tugas wartawan dalam lapisan 1 adalah mengkonfirmasi, kemudian menyortir dan mengatur kembali fakta-fakta yang disampaikan, juga memferifikasi alamat dan tanggal serta memeriksa ejaan nama. Pada beberapa media , tugas penanganan rilis ini dilakukan oleh petugas re-writer karena pekerjaan verifikasi data pada layer 1 pada dasarnya adalah menulis ulang semua bahan, tidak melaporkan.
Namun menurut Melvin Mencher (2007;Ch9) justru kini kebanyakan cerita yang muncul di koran dan di radio dan televisi didasarkan pada sumber bahan layer 1 yang berasal dari konferesi pers dan pernyataan-pernyataan resmi pemerintah.
Layer 2 (lapisan 2)
Dalam lapisan ini banyak kejdian yang sifatnya spontan, meskipun kebanyakan reporter atau wartawan yang baik menurut Melvin jarang yang menginginkan kejadian yang spontan. Dalam layer ini reporter membutuhkan pemikiran tajam untuk lebih dari sekadar melaporkan kejadian yang spontan semata. Karena ternyata banyak hal yang terlihat spontan namun ternyata mengandung unsur pseudo event (kejadian palsu). Yakni kejadian yang terlhat spontan namun ternyata telah dibuat atau di-setting oleh pihak tertentu agar terlihat spontan.
Melvin mencontohkan banyak pseudo event yang diatur oleh pihak politisi. Misalkan seorang politisi partai Republik Amerika yang sengaja mengatur demonstrasi mendukung Presiden Nixon di tahun 1972. Dikisahkan para pendemo yang diliput luas oleh media massa terus berteriak agar Nixon dipilih 4 tahun lagi. Hal ini terlihat spontan, karena itu aksi ini mendapat sorotan media massa, namun sebenarnya telah diatur sedemikian rupa sehingga tercipta apa yang dinamakan pseudo events atau kejadian palsu.
Layer 3 (lapisan 3)
Dalam lapisan ketiga ini telah sampai dalam tahapan investigative reporting atau melaporkan secara investigasi mendalam. Menurut Melvin dalam lapisan ketiga ini reporter telah berhasil menemukan fakta- fakta yang signifikan dari hasil penggalian fakta dan data nara sumber, kemudian repoter telah menemukan interpretasinya atau pemahaman yang menyeluruh terhadap sebuah persoalan.
Dalam hal ini sebuah investigative reporting yang baik akan menghasilkan impact atau akibat yang luas di mata publik, seprti pengungkapan ‘skandal water –gate’ yang melibatkan Presiden Nixon yang diungkapkan oleh wartawan The Washington Post. Serta adanya laporan mendalam diberbagai belahan Amerika Serikat dimana reporter telah berbulan- bulan mengumpulkan fakta sehingga terjadi laporan mendalam yang berakibat luas pada masyarakat Amerika Serikat.
Investigative Reporting (Pelaporan Investigasi)
Melvin Mencher memberi ilustrasi bahwa ada sebuah kisah tentang seorang reporter bernama Judy Johnson dari Koran The Anniston Star yang memiliki daya reportase investigative yang tinggi. Satu saat Judy mendengar bahwa sebagian masyakarat Alabama kesulitan dalam memperoleh kredit resmi di bank lokal. Karena tertarik dengan peristiwa Itu Judy lalu menghabiskan hampir sebulan waktunya di Alabama untuk memverifikasi segala informasi tentang peristiwa itu.
Jadi dalam waktu sebulan itu Judy belum melakukan penulisan pelaporan namun hanya menginvestigasi dan memverifikasi semua fakta dan data. Kemudian dari berbagai wawancara yang didukung oleh fakta dari berbagai nara-sumber itu. Judy menemukan fakta yang menarik bahwa ternyata ada kegiatan lintah darat besar yang mengakibatkan warga kesulitan memperoleh kredit di bank resmi. Ada sebuah kegiatan rentenir yang teroganisir rapi sehingga menjerat beberapa penduduk Alabama.
Seperti kisah pasangan tua di Alabama yang tadinya hanya meminjam 4000 US Dollar pada lembaga rentenir di luar bank ini, lalu pinjamannya membengkak menjadi 50.000 US Dollar dalam jangka waktu setahun, karena tingginya bunga oleh kegiatan rentenir illegal ini. Judy juga menemukan fakta bahwa ternyata pihak oknum pejabat pemerintah county lokal juga terlibat dengan mendukung kegiatan rentenir ilegal yang dijalankan oleh oknum tertentu yang kuat di Alabama, sehingga menjerat penduduk lokal.
Atas laporan investigasinya ini Judy Johnson kemudian mendapatan penghargaan jurnalistik. Judy Johnson mengatakan: “Jangan menjadi hand out reporter atau wartawan hand out yang hanya pasrah menerima sumber dari hand out press conference saja, tapi sedialah untuk menggali lebih dalam,”.
Sementara itu ada tips yang berguna dari seorang wartawan investigasi yakni Bob Greene dari Associated Press (AP), Bob Greene menunjukkan tips bahwa reporter yang baik haruslah tetap melakukan 4 hal diantaranya :
a. Mintalah sumber yang lebih lengkap dari sekedar hand out yang diberikan secara resmi oleh nara sumber jadi jangan ragu untuk mencari sumber lainnya yang lebih lengkap.
b. Selalu melakukan check dari komentar nara sumber sebelum kita menyiarkan atau mencetaknya.
c. Secara hati-hati mengumpulkan berbagai fakta, dan harus yakin bahwa fakta tersebut sesuai dengan konteks.
d. Selalu mengantisipasi perkembangan peristiwa di lapangan.
Melvin Mencher menambahkan setidaknya ada guidelines to follow atau beberapa langkah panduan untuk diikuti olehs eorang reporter diantaranya adalah :
1. Pasti ada story (kisah) di balik hampir semua kejadian. Melvin mengingatkan kita tentang skandal ‘watergate’ Presiden Amerika Nixon yang kemudian berujung pada pengunduran diri Presiden Nixon.
2. Selalu memeriksa nama dalam buku telepon, search engine internet, panduan dalam sebuah kota dan kamar mayat untuk memastikan penulisan nama adalah benar.
3. Ikuti uangnya (follow the money). Dalam investigasi berita, reporter harus selalu mengikuti dan memahami lalu lintas mengalirnya uang, dari mana dan ke mana serta siapa yang menanganganinya. Misalnya dalam sebuah sumbangan kampanye politik atau kemana perginya uang pajak, serta kasus yang melibatkan sejumlah besar uang lainnya.
4. Jadilah pemberani. Kerjakanlah apa yang tidak mau dikerjakan karena takut untuk berbuat penyelidikan. Kalau kita tidak berani maka kita tidak bisa menggali fakta secara mendalam. Dan kita akan terjebak dalam situasi yang tidak kita inginkan di masa depan.
5. Pertanyakan semau asumsi. Melvin Mencher mengatakan agar kita berani menanyakan semua asumsi yang umum dalam sebuah kisah.
6. Pertanyakan kebijakan otoritas. Jadi seorang wartawan harus selalu bersikap dan berpikir kritis menanggapi semua kebijakan pihak yang berwenang, kritis dalam arti selalu menanyakan kepada pejabat pembuat kebijakan tentang kebijakan yang dikeluarkannya. (*)
Oleh Mung Pujanarko (mahasiswa magister jurnalistik IISIP Jakarta)
Minggu, 08 Januari 2012
Tanaman Srikaya di Pekarangan (2)
9:45 AM
mung pujanarko
No comments
Buah Srikaya varietas lokal menemani pisang Raja Sereh |
Tanaman Srikaya lokal tetap rajin berbuah biarpun di musim hujan |
Saya memang penghoby tanaman Srikaya, jadi biarpun pekarangan saya luasnya tidak seberapa, tapi ya tetap saja saya tanami aneka Pohon Buah terutama Srikaya.
Sesuai keterangan yang saya baca, Srikaya Australia dikenal juga dengan nama Srikaya Jumbo atau Srikaya New Varietas. Di halaman saya, biarpun musim hujan seperti sekarang ini Srikaya Australia yang saya tanam tetap rajin berbuah. Apalagi Srikaya Lokal yang bibitnya saya bawa dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, tetap saja rajin berbuah, dan tidak rontok meski curah hujan Bulan Januari ini amat tinggi di Bogor.
Srikaya Australia (new varietas) di halaman |
Srikaya New Varietas berbuah susul menyusul, dengan bunga (tidak musiman) |
Perbedaan antara Srikaya lokal dan New Varietas, daging buah New Varietas lebih tebal., lebih harum , kemudian biji buah lokal lebih banyak yakni sekitar 40 biji dalam satu buah lokal, jika dalam buah new varietas cuma 15 biji saja.
Pohon Srikaya Lokal, buah lebat di musim hujan lebat |
Selain Srikaya sebenarnya saya juga menanam beberapa tanaman buah lain, seperti Delima Merah dan Delima Putih, kemudian ada beberapa varietas Pisang. Juga saya tanam Jambu Bol atau Jambu Dersono, tapi Jambu Bol-nya masih pentil bunga, mungkin nanti kalau sudah berbuah juga saya masukkan ke blog saya ini.
Srikaya Australia/ New Varietas biar kecil tapi mau berbuah |
Perawatan Srikaya selain pemangkasan cabang, terutama adalah pemupukan dengan pupuk kandang, kemudian NPK dan SP36 secara berimbang. Prinsip pemupukan yang saya anut adalah sedikit tapi gradual dan kontinyu. (*)