Ternyata benar, saya pikir-pikir memang pada dasarnya manusia itu kurang suka membaca dan lebih suka menonton. Menonton hiburan adalah sarana pengisi ruang bathin no 1 bagi manusia, terutama pada masyarakat Indonesia. Kemudian pada lapisan-lapisan masyarakat tertentu ada yang suka mengisi ruang batinnya dengan menulis atau membaca, tapi jumlahnya tidak sebanyak khalayak aktif penikmat tontonan segala macam hiburan. Televisi menjadi barang wajib yang harus dipunyai oleh semua rumah tangga, atau mereka yang belum berumah tangga sekalipun. Televisi adalah barang yang keramat, tempatnya pun terhormat di dalam sebuah rumah, yakni : di dalam ruang keluarga, di mana quality time atau waktu yang berkualitas bagi keluarga dihabiskan sambil menonton televisi bersama.
Tapi, inilah kadang yang menjadi sebuah problem klasik bagi sebuah keluarga, karena setiap anggota keluarga memiliki acara favoritnya sendiri-sendiri. Sang anak lebih suka nonton film kartun atau nonton FTV, ibunya nonton infotaintmen dan sang ayah lebih memilih menonton berita dan olah raga. Ini sudah sangat umum sepertinya. Akhrnya quality time yang diharapkan ada di ruang keluarga ditemani sang televisi menjadi ajang perebutan channel televisi. Apalagi kalau keluarga itu berlangganan TV kabel, kemungkinan besar tak ada acara nonton bersama, yang ada adalah sama-sama nonton TV kabel, tapi dengan decoder tambahan untuk masing-masing anggota keluarga yang menonton channel favoritnya di kamar dan ruang waktunya masing-masing. Ahirnya, tidaklah sinkron jika dikatakan bahwa quality time keluarga adalah nonton TV bareng.
Sementara seorang kawan saya mengatakan quality time bagi diri dan keluarganya diperoleh saat makan malam atau waktu sarapan. Di kedua waktu itulah sebuah keluarga membicarakan hal-hal untuk mempererat hubungan keluarga. Namun karena desakan pekerjaan dan studi dari setiap anggota keluarga, maka makan malam pun kadang tidak sama waktunya. Dan makan pagi juga tidak sama waktunya. Akhirnya quality time didapat keluarga hanya saat hari minggu, itupun jika punya uang pergi wisata bareng, dan jika sedang tidak punya uang, ya di rumah lagi nonton televisi bareng lagi- secara sendiri-sendiri.
Kalau sudah begini maka membaca dan menulis menjadi sebuah sarana tersendiri bagi sebagian orang guna mengisi ruang bathin.
Waktu saya wawancarai, Pak Bagyo banyak bercerita bahwa saat mudanya dulu dia suka sekali membaca buku tentang apa saja. Dia menceritakan saat berburu buku dan memperoleh buku pengetahuan yang menarik, maka dia baca dengan senang hati sampai tamat. Jadi saat masa remajanya sekitar umur 11-16 tahun Pak Bagyo punya jadwal tetap, pagi hari bekerja membantu ibunya, kemudian berangkat sekolah, pulang istirahat (ishoma) membaca dan malam belajar. Tak heran setelah lulus SMAN 2 di Surabaya tahun 1956, Subagyo muda kemudian diterima di Fakultas Kedokteran Hewan UGM, kemudian saat tahun 1959 ada kesempatan test untuk memperoleh bea siswa di Russia, Subagyo muda dinyatakan lulus dan berangkatlah dia belajar pertanian di Russia.
Nyaris tak ada waktu santai apalagi dugem bagi Subagyo muda, di Russia belajar secara spartan. Dan banyak mahasiswa asal Indonesia yang dipulangkan karena gagal studi terutama gagal mempelajari bahasa Russia selama 3 bulan saja.
Setelah lulus, kemudian pulang ke Indonesia pada tahun 1966, ternyata bukannya tenaganya dipakai oleh pemerintah, malah semua mahasiswa lulusan Russia atau lulusan negara Blok Timur, dikejar-kejar aparat untuk mengisi ruang penjara dan mengisi kuota Pulau Buru sebagai kamp konsentrasi. Subagyo muda tabah, dan memilih menyingkir dari dunia ramai untuk bekerja di kebun kopi terpencil di ujung timur Pulau Jawa. “Yang mencari lulusan Russia untuk ditangkapi itu banyak pihak, dulu itu seperti bounty hunter party bagi setiap pihak untuk mencari kami lulusan Russia, kami dikejar-kejar bukan untuk disanjung bak lulusan Amerika, tapi ya untuk dimasukkan kamp konsentrasi di Pulau Buru,”ujar Subagyo seraya tersenyum penuh ketabahan.
Padahal menurut Pak Bagyo, ide pemuda jaman dulu yang sepaham dengan Bung Karno itu ya sederhana saja : berdikari-berdiri di atas kaki sendiri, sedapat mungkin mengurangi/menghindari hutang luar negeri yang ujungnya agar bangsa Indonesia bisa menikmati kekayaan alam Indonesia, bukan dimonopoli asing. Tapi hal itu rupanya mustahil, karena hampir tidak mungkin menghindar dari polarisasi dua kutub besar saat itu. Ide Negara Non Blok yang ingin mandiri gagal total di Dunia ini.
Pada akhirnya, kegiatan menulis memang mengasyikkan bagi sebagian orang, dan jika tulisannya enak dibaca dan penting bagi pengisi bathin khalayak pembaca maka ada saja respon yang masuk, baik ingin menanggapi, mengkritik atau menyukai (like). Itu semua karena ada orang-orang yang tidak terlampau menyukai menonton hiburan, namun lebih suka menghadap layar komputernya yang sedang blank (putih semua) dan memulai mengetikkan huruf demi huruf memulai menuliskan idenya.