cari kata

Minggu, 15 Januari 2012

Akar Eksistensi Citizen Journalism


Kerap kali orang bertanya mengapa sih ada citizen journalism? Fenomena apa ini ?, apa yang melatar belakangi munculnya citizen journalism (Jurnalisme warga). Dan ada pertanyaan yang paling telak yakni : mengapa ada orang yang susah payah mau menjadi Citizen Journalist (pewarta warga)? padahal tanpa memperoleh bayaran sedikitpun jua.
Apa alasannya?orang lalu menebak : oh mungkin hanya  ingin eksis, ingin famous, ingin terkenal.
Baiklah saudara pembaca, nafsu ingin terkenal ini memang banyak istilah gaul belakangan ini menganggap orang tersebut adalah:  sok eksis , ingin eksis,  eksis wanna be, atau malah narsis dan narcisstic. Dan  sebagian dari negasi orang yang tak paham, dikatakan :”kurang kerjaan kali...”.
Dan banyak lagi reason atau alasan yang ditujukan kepada orang-orang yang menjalankan kegiatan Citizen Journalism.
Sebenarnya begini, dalam Ilmu Komunikasi dikenal dengan adanya Teori Interaksi Simbolik atau lazimnya disebut  sebagai Symbolic Interaction Theory (SIT)  di mana penggagas teori ini adalah George Herbert Mead (1934)-gurunya Herbert Blummer, kemudian disusul oleh  Ralph La Rosa dan Donald  C Reits (1993). Dalam teori SIT ini  asumsi utamanya  dibagi dalam tiga hal  pokok y akni  :
-Pentingnya makna bagi perilaku manusia.
-Pentingnya konsep mengenai diri.
-Pentingnya hubungan antara individu dan masyarakat.
Dalam Teori Interaksi Simbolik sebagai lingkup Ilmu Komunikasi dijelaskan bahwa motif orang untuk melakukan interaksi bukan hanya didasarkan oleh keuntungan (rewards) semata, seperti halnya yang dijelaskan dalam Teori Pertukaran Sosial  atau Social Exchange Theory (SET)  oleh John Thibaut dan Harold Kelley (1959), yang menandaskan bahwa : “hubungan hanya terjadi bila terdapat adanya selisih rasional antara reward dan cost, dan level perbandingan atau  alternatif level perbandingannya.
 Namun, Mead menjelaskan bahwa interaksi dengan orang lain adalah proses bersama mencari makna (meaning) atau arti, melalui pengembangan pikiran (mind) bersama (yang terjadi saat proses komunikasi).
Dengan penjelasan Teori ini membantu kita saat mengamati secara seksama tentang fenomena Citizen Journalism, maka jelaslah secara empiris bahwa kebanyakan motif seseorang melakukan kegiatan Citizen Journalism sebagai bentuk komunikasi ini, adalah adanya suatu dorongan instingtif yang terwarisi dari sifat alamiah dasar manusia sejak manusia ada pertama kali di muka Bumi.
Dorongan ini adalah dorongan naluriah orang untuk mengabarkam sesuatu. Ini adalah primary need, bukan lagi ada di puncak piramida Maslow yakni aktualisasi diri.
Citizen Journalism kerap kali adalah dorongan manusia untuk mewartakan sesuatu (berkomunikasi) yang berguna bagi orang lain, sama halnya dorongan insting manusia untuk makan, minum dan basic need lainnya.
Basic need atau kebutuhan dasar berupa komunikasi ini, bertujuan untuk :
-Membantu komunitas (community buliding).
-Menghindarkan bencana bagi komunitas.
-Mengharapkan respon dari komunitas agar terbangun komunitas yang harmonis dengan alam.
Maka dorongan alamiah seseorang untuk mewartakan sesuatu pada orang banyak,  memang tidak perlu menunggu sesorang untuk menjadi wartawan koran/ wartawan TV yang digaji perusahaan, namun dorongan orang untuk mewartakan berita, sebuah ide,makna, atau sebuah hal, itu adalah sah, legitimate, dan naluriah belaka adanya. Kita berpengalaman bahwa sebuah rezim sekuat Orde Baru pun tak bisa mengekang orang untuk bersuara.
Kita tidak bisa menggeneralisasi bahwa orang yang melakukan kegiatan Citizen Journalism adalah orang ingin famous, ingin eksis dan ingin dikenal.
Dorongan ingin famous atau ingin dikenal ini ada pada top (puncak) piramida hierachy of need-nya Maslow.
Sedangkan dorongan ingin mewartakan sesuatu ini adalah termasuk primary need, seperti halnya bayi menangis minta makan/susu. Bayi menangis karena butuh sesuatu, ini adalah bentuk komunikasi awal manusia. Dorongan berkomunikasi dengan orang lain ini adalah pimer sifatnya.
Misalnya kita tarik  visi ke belakang sejarah, kembali pada jaman era  komunitas manusia gua, jaman Pithecantropus erectus, serta jaman Homo sapiens mula, yakni kira-kira  20.000-30.000 tahun yang lalu. -Sebenarnya saya ingin memberi iustrasi jaman manusia neanderthal, tapi spesies ini punah pada jaman es-.  Seorang caveman homo sapiens awal atau manusia gua sudah berkomunikasi dengan manusia lainnya melalui simbol,  suara dan gambar-gambar dinding yang menyebutkan akan adanya : aneka binatang liar, bahaya, dan cuaca.
Berita pertama yang disebutkan manusia gua (caveman) adalah: “ada hewan”, di mana selanjutnya direspon oleh komunitas dengan memburu hewan tersebut untuk makan satu komunitas kecil. Berita selanjutnya adalah isyarat baik gerak tubuh dan suara yang memberitakan : “ada kebakaran” atau “ada bahaya alam, salju, banjir, ancaman tanah longsor  dan lain-lain” yang segera direspon oleh kaum manusia perintis awal itu untuk menyelamatkan diri.
Jadi, semenjak  jaman manusia perintis ini selalu ada caveman yang berani keluar gua untuk memantau situasi wilayahnya dan kembali lagi ke komunitasnya, untuk mewartakan apa yang dilihatnya, yang kira-kira berguna untuk komunitas tersebut. Maka kejujuran menjadi jaminan mutlak bahwa sang pewarta ini menjadi kepercayaan masyarakatnya. Kita tentu pernah mendengar kisah : “Seorang Anak dan Serigala”, dimana dikisahkan ada anak yang berkata pada penduduk, “Ada serigala!”, namun tidak terbukti, keesokan harinya berkata lagi anak itu “Ada Serigala!” dan tidak terbukti lagi. Karena kehilangan kepecayaan dari penduduk , maka saat ketiga kalinya anak itu mewartakan “Ada Serigala !,” penduduk sudah tidak percaya, dan anak itu mati dimakan Serigala. Ini kisah dengan pesan moral yang bagus, meskipun oleh  Josef Goebbels sahabat Hitler, kemudian dikatakan bahwa : “kebohongan yang ditanamkan berulang kali adalah kebenaran”.
Tapi, biar bagaimanapun juga, namanya kebohongan apapun pasti tersingkap. Ada kisah menarik dari hikayat  Eropa tentang “Raja Telanjang dan Anak Kecil”, yang mengungkap bahwa pakaian mahal yang dipakai raja ternyata djahit oleh dua orang penipu, dikatakan oleh penipu itu bahwa benang yang dipakai menenun pakaian adalah ‘benang kebijaksanan’, jadi kalau tidak bijak, maka orang  tersebut tidak bisa melihat indahnya  pakaian itu. Raja yang takut dibilang tidak bijak, termakan olehnya. Memang ternyata adalah tidak ada pakaian sama sekali. Jadi, pada waktu Raja memamerkan pakaiannya pada rakyat (padahal tidak berpakaian), setiap orang terdiam tercekam, karena takut dihukum oleh Raja, namun seorang anak kecil dengan lugu berteriak keras di tengah keheningan rakyat yang takut,  “Heii...Raja itu telanjang!”, dan tertawalah rakyat semua.
Jadi dorongan manusia untuk melakukan kegiatan Citizen Journalism (jurnalisme warga) adalah lebih dasar dan lebih primer dari sekadar aktualisasi diri. Niat Prita Mulyasari umpamanya, dia menceritakan apa yang dialaminya, apa deritanya, adalah agar orang lain tahu dan memberikan respon terhadap apa yang dialaminya itu. Ini  sama alamiah dengan kita yang memberitakan bahwa ‘aku sakit karena sesuatu’. Maka respon orang-orang pada kita akan beragam, tapi umumnya mengarah pada satu hal yang positif yakni : ‘bertahan hidup’ .
Akar insting Citizen Journalism di manapun jua pada dasarnya adalah kembali pada untuk keinginan ‘berguna bagi masyarakat’, berguna bagi society. Rasa ingin berguna ini pada dasarnya adalah rasa keinginan untuk survive atau bertahan hidup secara sosial (bersama),- dan bukanlah prinsip indvidual : ‘gua hidup, loe mati’-, dalam sebuah community masyarakat, baik untuk keluarga, kampung, wilayah,  dan negara bangsa. (*)




Jumat, 13 Januari 2012

Komunikasi dengan Pecandu Narkoba


Berkomunikasi dengan pecandu narkoba acap menghasilkan result yang tidak logis, karena daya nalar pecandu terkadang selip menjadi nalar yang tidak logis dan pernyataan-pernyataan pecandu ini sering kontradiktif. Dalam arti setiap respon pecandu Narkoba terhadap  konselor sering ngelantur. Oleh karena itu  beberapa teori dalam Ilmu Komunikasi kemudian kerap digunakan konselor, dan orang yang berkomunikasi dengan pengguna narkoba. Antara lain, harus mengggunakan ‘teori daun bawang’ atau nama lainnya adalah Social Penetration Theory (SPT) oleh Irwin Daltman dan Dalmas Taylor (2008). Bila tidak mempan, maka saat kita berkomunikasi dengan pemakai narkoba kita juga menggunakan Teori Dialogis, dimana dijelaskan oleh Michael Bakhtin (2006) empunya teori ini, bahwa harus ditimbulkan “reason and alibi for being” dari diri si penderita. Jika dialog mandeg maka yang tertinggal dalam diri pengguna narkoa adalah “there is no alibi for being” dan menjurus ke self destructions dan putus asa.
  Sejak putus asa adalah favorit Iblis, maka kita harus memerangi rasa putus asa ini.  Seorang kemudian susah payah harus pula mengembangkan seni komunikasinya dengan menggunakan teori Relational Dialectic Theory atau RDT, oleh Leslie Baxter dan Barbara Montgomery (2008), yang bila dijalankan secara baik maka bisa menimbulkan percakapan yang menyenangkan, namun efeknya jika konselor yang memakai teori ini pergi maka  akan timbul lagi krisis ‘out of sight, out of mind' alias jauh di mata jauh di hati dan muncul lagi keputus-asaan dari penderita. Pokoknya repotlah kalau komunikasi dengan pecandu narkoba ini.

   Pecandu Narkoba bila masih dalam tahap coba-coba atau tahapan awal, ditemukan tidak sedikit merupakan  anak yang cerdas, aktif dan berani. Dalam arti dia sudah memiliki keberanian di atas rata-rata anak sebayanya. Bahkan sebelum terjerumus, tak jarang anak tersebut termasuk aktif, suka akan tantangan, dan petualangan.
   Namun yang saya lihat, efektivitas komunikasi untuk pecandu Narkoba, dengan menjalani sesi komunikasi grup, atau face to face dengan konselor sulit mendapatkan hasil efektif.
Prinsip komunikasi tadi digunakan untuk membantu agar pecandu Narkoba sadar akan akibatnya. Tapi dalam most case pecandu Narkoba akan sia-sia mendengarkan ceramah. Karena itu prinsip komunikasi dengan pemakai Narkoba haruslah memakai tayangan visual atau melalui buku-buku komik yang dibuat khusus sebagai cerita yang menyentuh sanubari, dan membuat miris penderita penyalah guna narkoba.
Mendengarkan orang bicara (ceramah) bagi pecandu Narkoba bisa menjadi efek yang menyiksa dirinya, karena ada kegagalan membayangkan ucapan menjadi imagi (gambar) di benaknya, karena itu dia seolah-olah malah ingin mencoba lagi barang haram tersebut untuk memperkuat imagi benaknya. 
Namun alangkah efektifnya komunikasi dengan pecandu narkoba jika kita memakai tayangan visual, yakni film-film (auvi) yang dibuat khusus yang mengisahkan kisah tragis yang amat dramatis  tentang nasib pilu pecandu narkoba.
  Misalnya tayangan itu dimulai dengan tayangan tentang seorang profil anak remaja yang mapan/kaya dan profil anak remaja yang miskin, keduanya memakai narkoba. Tayangan ini haruslah dibuat seperti layaknya film India, yang sarat air mata. Alurnya dibuat dua alur. Yang pertama mengisahkan seorang anak kaya yang memakai narkoba untuk eksis dan anak miskin yang memakai narkoba juga untuk gaya dan eksis. Melihat gambar lebih mudah daripada membayangkan gambar.

Alasan memakai narkoba di kalangan anak muda dalam taraf early drug abuser  atau pemakai mula adalah untuk eksis dalam lingkup pergaulan. Jadi piramida kebutuhan Maslow dibalik. Aktualisasi diri menjadi kebutuhan mendasar bagi teenager (lihat piramida hierachy of need-nya Maslow). Biasanya demi kemauan eksis ini, anak-anak baik pemuda dan pemudi yang awal memakai narkoba  pada awalnya adalah diajak teman, dikenalkan oleh teman sebaya yang telah menggunakan terlebih dahulu dan kelihatan keren serta cool. Untuk alasan agar eksis, cool dan mendapat respek inilah maka anak-anak remaja mencoba merokok, menikmati miras dan akhirnya menyalah gunakan narkoba. Eskalasi dari rokok-miras-narkoba ini adalah trilogi umum dan dipahami oleh banyak orang tua.
  Setelah eksis, maka tahap yang kedua anak ini akan merasakan fly atau teler. Getting high atau fly atau teler ini adalah sensasi baru yang menyenangkan bagi anak-anak remaja pemakai mula narkoba. Nakoba yang pertama kali digunakan biasanya adalah narkoba jenis pil telan. 
  Jenis pil oral/telan ini umumnya adalah berefek penenang syaraf, atau obat resep untuk penderita gangguan jiwa yang disalah-gunakan. Asalkan obat tersebut menimbulkan efek sedatif (bius) dan opiat (penenang) membuat sensasi ‘cool’ maka akan rawan disalah-gunakan.

   Biasanya dengan dorongan peer group/ kawan-kawan sebaya kelompok ini, setelah menikmati pil telan yang bersifat sedatif, maka dia akan mencoba memakai yang jauh lebih beresiko dengan misalnya saja daun cannabis/ganja. 
  Pemakaian cannabis ini menimbulkan efek delirium yang luar biasa yang menimbulkan efek euphoria berlebihan. Pengguna mula biasanya belum tahu kalau hukuman pemakai ganja adalah  hukuman seumur hidup penjara. Maka dengan santainya pengguna mula ini mencobanya. Kalau dalam taraf ini, maka otak pemakai sudah diracuni dengan keinginan mencoba yang lebih merusak lagi seperi methampetamine (meth), crystal derivatif (shabu), synthetic derivatif (putauw), dan lain-lain jenis yang amat merusak organ tubuh, dan hukumannya puluhan tahun penjara sampai seumur hidup.
   Sampai di sini jelas kita prihatin. Sampai tahap ini harusnya pihak orang tua dan guru sudah bisa mendeteksi kecenderungan anak pemakai narkoba. Maka satu sekolah sejak dini harus diberi komunikasi tentang bahaya narkoba, namun komunikasi haruslah yang efektif. Mohon maaf jika sudah tahap ini Bimbingan dan Penyuluhan dengan cara "dipanggil Guru BP" tidaklah efektif.

   Komunikasi efektif untuk pemakai narkoba adalah dengan visual. Ini saya ketahui setelah beberapa kenalan menyerah setelah berkomunikasi dengan anaknya, namun setelah saya tunjukkan tayangan sederhana berjudul serial “1000 ways to die” yang ada di sebuah channel TV kabel, anak  kenalan itu shock melihat bahwa efek narkoba ini sungguh jahat dan merusak jasmani rohani sampai mati, karena ada  visualisasi bahan kimia narkoba itu masuk mulut, tenggorokan, lambung, tercerna, terbawa darah ke jantung otak dll. Di Indonesia sayangnya  pembuatan film tentang  kenyataan pahit pengguna narkoba dengan subyek film orang Indonesia sendiri, selaku pelaku yang menjadi korban, belum banyak dibuat produk film penyuluhan ini.
Sementara di Amerika, pembuatan film yang menggambarkan nasib seorang pengguna narkoba mulai dari remaja  hingga orang dewasa sudah kerap dibuat dengan amat  banyak judul sehingga dapat ditayangkan, kita bisa melihatnya di tayangan TV kabel, BBC,  Fox TV dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan AIDS, saya pernah melihat tayangan film tentang Pasutri yang mengidap AIDS, di mana seorang ayah yang pecandu narkoba suntik menderita AIDS, kemudian menularkan kepada istrinya, kemudian istri menularkan kepada bayinya, akhirnya komplit sekeluarga terkena AIDS. Kemudian ayah meninggal setelah obat ARV (anti retroviral) gagal menyelamatkan nayawanya. Kisah ini sungguh gripping sangat mencekam dengan pengambilan gambar yang bergeser-geser (tematik).
   Efek teori komunikasi Hypodermis Needle Theory  sangat terasa karena tayangan dikemas secara apik dan diharapkan dapat membuat pemirsa tidak dapat atau sulit melupakan tayangan ini. Saya yang melihat tayangan ini 3 tahun yang lalu juga tidak dapat melupakannya, terutama di saat sang ayah yang tadinya ganteng gagah menjadi pecandu yang kena AIDS kurus, kering dan mati. Kemudian dimana pasangan keluarga ini akhirnya harus berjuang antara hidup dan mati melawan penyakit AIDS yang disebabkan oleh drug abuse. Obat anti retroviral memang menjadi penyokong hidup, tapi bila ginjal tidak kuat ya, pasti mati pula.

Saya juga pernah melihat di TV kabel, tentang remaja-remaja perempuan Amerika yang hamil dan melahirkan anak hasil hubungan seks bebas pada usia 16 tahun, judulnya “The Young Mother”. Amerika telah sadar bahwa satu atau dua generasi bisa rusak parah akibat kemaksiatan. Seharusnya kita, apalagi  bangsa kita memiliki nasihat-nasihat leluhur (Jawa) tentang bahaya Molimo (madat, madon, minum, main, maling) yang harusnya bisa difilmkan. Atau saya pernah melihat serial di BBC menayangkan film seven sins (7 deadly sin), antara lain yang saya ingat dalam bahasa latin 7 sins ini adalah SALIGIA : superbia/ Pride, avaritia/Greed, luxuria/Lust, invidia/ Envy, gula/Gluttony, ira/Wrath, acedia/ Sloth .

Sebagai pembelajar ilmu komunikasi, tentu saja saya inginkan agar pemerintah melalui lembaganya yang bermacam-macam bisa segera membuat banyak judul-judul film (audio visual) atau tayangan yang menceritakan beragam kisah tragis, memilukan dan mencekam (gripping) bak horror pocong -(tapi jangan dibuat  film dengan judul :”pocong pemabuk atau the stoned pocong, pocong high dll”)-, tetang penderita pecandu Narkoba. Kemudian bisa kisah tentang tragisme seks bebas yang berujung AIDS. Bila judulnya cukup beragam dengan metode film dokumenter atau kisah nyata dengan pelaku yang nyata yang akhirnya mati atau tobat (tobat or die), maka bisa diputar di sekolah-sekolah. Kisah ini memang sebaiknya dokumenter  atau semi dokumenter agar ada efek kenayataannya. 
   Saya hanya pernah membaca kisah- kisah PSK yang akhirnya mati mengenaskan karena AIDS atau over dosis, tapi film dokumenternya tidak ada, upaya ini haruslah dibuat oleh sineas muda Indonesia, baik secara independen atau institusional.
Karenanya pemerintah atau NGO yang bekerja sama dengan pemerintah harus memiliki beragam tema film /tayangan yang bersifat nyata secara film dokumenter atau film-film lepas yang mengisahkan kisah-kisah tragis para pelaku penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dan kenakalan remaja, bukan hanya film sinetron sahaja.  Film dokumenter tentang  siswa-siswa korban tawuran yang mati dengan usus terburai,cacat seumur hidup, menjadi tak berguna di dunia kerja, atau korban tawuran berseragam SMU yang tewas mengenaskan,/atau siswa kriminal yang dipenjara di LP anak,  pelaku kebut-kebutan motor yang kepalanya pecah, pecandu narkoba yang tobat atau mati/dipenjara khusus, atau pecandu yang jadi korban traficking dan lain sebagainya, ini semua haruslah difilmkan meskipun bila dokumenter sulit, maka semi dokumenter, bila masih sulit ya buatlah yang ilustrasi, tapi ada efek darah (blood), and death, dan bila perlu ada efek membuat mual-muntah seperti aliran  sineas Hongkong. Maka bentuk komunikasi dengan pecandu narkoba atau kita sebut dengan narkobawan dan narkobawati ini secara efektif dalam Ilmu Komunikasi sejalan dengan The Hypodermis Needle Theory dan sejalan dengan paradigma sosiopsikologi, paradigma sosiokultural, dan paradigma kritis. (*)



Membangun Masyarakat  dan Bangsa Terbebas dari Candu Narkoba





Manusia adalah asset kehidupan. Apalagi jika manusia itu masih muda dan produktif, tentu dirinya dapat menjadi asset kehidupan bangsa dan negara, serta pastinya berguna dalam kehidupan keluarga masing-masing.

Namun jika yang namanya narkoba (zat narkotika, psikotropika yang amat-sangat berbahaya jika disalah gunakan) telah merasuki dalam kehidupan manusia, maka yang ada adalah perasaan kecanduan (addicted).
Di atas, ada artikel yang saya tulis tentang pentingnya komunikasi bagi pecandu narkoba. Kecanduan adalah sebuah perasaan yang mungkin tidak akan pernah dipahami bagi mereka yang tak tahu bagaimana menggambarkan kecanduan itu dengan kata-kata. Apalagi menggambarkan bagaimana penderitaan, sakit, dan gelisah, nervous, akibat kecanduan, itu dengan kata-kata. Orang bijak mengatakan bahwa : 

“Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan sebuah penderitaan akibat kecanduan”.

Kalau ada orang mengatakan bahwa kecanduan adalah hal yang menyenangkan, dan tak masalah, no big deal.  Well, maka tahap pemahamannya memang baru segitu.

Kecanduan yang pasti adalah masalah psikis yang amat serius dan perlu segera penanganan yang holistik, apalagi perilaku kecanduan terhadap narkoba, ini perlu terapi medis dan non medis.

Semua pihak juga perlu sedikit pengetahuan bagaimana menanggulangi kecanduan yang menimpa keluarga dekat atau sahabat.
Kecanduan adalah akibat dari kebiasan otak yang telah biasa merasakan sebuah efek yang memberi  rasa  gembira, tenang, luar biasa, semangat, dan aneka rasa yang menyenangkan lainnya, yang didapat dari zat addiktif. Perasaan tenang, semangat, gembira, luar biasa dari zat addiktif, adalah perasaan yang menyenangkan bagi para penyalah-guna zat addiktif tersebut.

Inilah (akibatnya) ketika seorang telah membiasakan diri untuk mengasupi atau memberi makan otaknya dengan  zat addiktif yang memberi rasa nikmat, tenang dan senang, bahkan semangat luar biasa melalui zat adiktif dan, maka otak akan senantiasa menagih hal itu.

Komunikasi  yang terjalin dalam diri seseorang pecandu adalah komunikasi neuron otak yang minta atau nagih ingin  terus diasupi oleh zat adiktif yang memberi aneka efek luar biasa tersebut.

Otak pecandu akan terus nagih / minta zat yang memberikan sensasi yang  luar biasa, secara kontinyu.

Apalagi jika korban kecanduan telah membiasakan otak dan tubuhnya untuk mengasup zat addiktif secara kontinyu, maka semakin sulit untuk lepas dari rasa kecanduan.
Ciri-ciri kecanduan, antara lain : Bila putus dari addiktif maka nervous yang amat sangat, gelisah, keringat dingin, jantung berdebar, perasaan yang tak menentu, yang tentunya kata-kata amat terbatas untuk menggambarkannya.

Bila otak telah menagih, maka bila putus dengan zat addiktif badan lemas lesu, emosional, limbung, terasa kaku,  dll yang berkaitan dengan gangguan sistem syaraf tubuh.

Kecanduan benar-benar tidak mudah untuk dihilangkan, penderita kecanduan zat addiktif  atau psikotropika, narkotika atau zat adiktif lainnya jelas butuh pertolongan baik medis maupun non medis.

Dari segi komunikasi intra personal maka ini lebih sulit, bagi penderita utuk mengatasinya dengan komunikasi intra personalnya.

Dalam komunikasi intra personal yang dibangun dalam diri penderita maka penderita haruslah mampu melawan perasaan sakit, perasaan gelisah dan juga seribu perasaan  panic - paranoid lainnya ketika tubuh dan otak mulai menagih zat yang telah biasa membuat otak merasakan efek yang luar biasa, semangat dll, melalui zat addiktif.

Penderita harus diajari cara melihat dirinya sedniri adalah sebagai korban miskomunikasi dalam otaknya sendiri yang menuntutnya untuk senantiasa mengasupi dirinya dengan drugs atau narkoba.

Perasaan takut, gelisah, mual, sakit sampai teriak-teriak kerap terlihat saat pecandu putus dengan zat yang menjadi asupannya.
Dari segi non medis  maka penanganan juga bisa ditempuh. Biasanya terapi spiritual, tapi sekali lagi ini tak mudah langsung ces pleng, semudah membalik  telapak tangan,  acapkali pecandu akan butuh lebih banyak terapi medik.

Dalam komunikasi, yang pertama-tama dibangun adalah komunikasi intra personal yang kuat pada diri penderita yang menyadarkan diri pecandu bahwa dirinya adakah telah menjadi korban dari miskomunikasi otak ((neuron brain)) yang menagih terus akan sensasi zat addiktif itu.

Penderita kecanduan harus dibuat sadar bahwa dirinya adalah korban dari ketagihan yang disbebabkan otaknya telah terbiasa diasupi zat addiktif, maka diharapkan diri pecandu sadar bahwa dia telah membuat miskomunikasi dengan otaknya sendiri.

Pada waktu–waktu dimana penderita kecanduan biasa menggunakan zat addiktif, maka, bila pada waktu tersebut tidak ada asupan, tak ayal menjadi waktu yang sangat menyiksa bagi diri pecandu.

Untuk itu  pecandu harus diajak melihat bahwa dirinya lebih besar dari kecanduan itu. Meskipun hal ini tidak mudah, karena perasaan gelisah, sakit yang akut, mendadak dan bertahan dalam beberapa waktu lamanya akan menjajah diri sang pecandu karena otaknya telah menagih zat addiktif tersebut.

Sungguh memang kecanduan itu pada akhirnya akan membuat manusia terbelenggu dan tergantung pada zat addiktif yang tadinya telah memberinya efek sensasi yang tadinya terasa luar biasa, namun jika mendadak putus asupannya maka sensasi ini akan berbalik menjadi sebuah penderitaan yang mengerikan, sakit dan gelisah yang tak terperikan.

Maka wajib bagi manusia untuk melawan setiap kecanduan yang dideritanya. Wajib bagi manusia untuk menolong kerabatnya dari kecanduan narkoba.  Maka itu sebaiknya memang pencandu narkoba apabila telah parah tingkat kecanduannya, maka pecandu tidak dipenjara di LP  biasa. melainkan di penjara yang lebih merupakan sebuah assylum, sebuah rumah sakit, sebuah panti rehabilitasi dengan maksimum sekuriti, syukur BNN sudah punya, tapi jumlah panti rehab narkoba tetap  kurang banyak.

Perlu diingat mereka para pecandu ini memang telah sakit secara psikis, juga sakit secara sosial. Sakit secara sosial, karena pecandu akan bersedia melakukan apa saja, sekali lagi -a p a  s a j a-, termasuk berbuat jahat kriminal, melacur, mencuri, merampok, bahkan membunuh, untuk dapat membeli narkoba. Ini jelas mengerikan bagi kehidupan bangsa. Pengedarnya harus dihukum berat. (*)

Note : adiktif, addiktif, dari kata addict,  akar kata add (tambah), yakni ingin senantiasa menambah dosis narkoba (illegal drugs), hingga dosis (dose) itu terlalu tinggi bagi tubuhnya hingga tubuhnya mati dan nyawanya meninggalkan raganya menuju dimensi lain, menuju alam lain, katakanlah begitu.  

Oleh : Mung Pujanarko, aktivitas belajar-mengajar Ilmu Komunikasi.





                                                                                                             

Kamis, 12 Januari 2012

Prinsip Citizen Journalism

   
 
Citizen Journalist atau Pewarta Warga adalah :" Warga Negara yang  melakukan kegiatan berkomunikasi secara verbal dan non verbal, secara tulisan, secara audio maupun secara visual guna menyalurkan aspirasinya, baik berupa berita (news). feature (artikel minat insani), foto, dan video yang berdasarkan fakta yang ada dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, serta bentuk opini  warga  yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang ditampung  dan disalurkan  melalui media massa baik cetak dan elektronik."

  Karena kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat dijamin oleh UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka semua warga negara tanpa ada diskriminasi SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) dapat  bebas tanpa rasa takut untuk mengeluarkan pendapatnya..
  Karena Citizen Journalism adalah sebuah konsep pemikiran ilmu, dengan etimologis kata berakhiran ‘isme’ atau ‘ism’ yang berarti merupakan sebuah cabang pemikiran atau aliran intelektual. Tentu saja warga yang berkiprah dalam Citizen Journalism (Jurnalisme Warga) haruslah terlebih dahulu memahami dengan baik dan benar konsep Citizen Journalism. Citizen Journalism merupakan bentuk ‘way’ bahkan ‘ high way’ atau jalan besar -yang seharusnya bebas hambatan- agar rakyat dapat menyalurkan semua bentuk komunikasi, baik lisan dan tulisan pada media massa baik, cetak dan elektronik agar tercapai Indonesia yang Demokratis. Intinya Citizen Journalism juga perlu ilmu jurnalistik, baik teori dan praktek.

   Sedangkan landasan Demokrasi mutlak  bagi syarat tumbuh dan berkembangnya Citizen Journalism (Jurnalisme Warga). Demokrasi sendiri dipahami sebagai  konsep hidup bangsa yang sadar bahwa aspirasi warga haruslah mendapat perhatian karena ada pepatah Vox Populi, Vox Dei  artinya suara publik adalah suara Tuhan (pengertian Demokrasi: Wikipedia:2010). Contohnya; apabila publik menuntut keadilan, maka Tuhan Yang Maha Esa telah terlebih dahulu berkehendak keadilan Universal di Alam Semesta ini. Jika publik mengecam korupsi, maka Tuhan telah terlebih dahulu melarang manusia untuk korupsi dan mencuri. Jadi suara rakyat banyak akan sebuah nilai-nilai yang mulia (divine virtue) yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Jadi tetap prinsip citizen jurnalisme ini mengandung prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai Sila 1 Pancasila.

Adalah perlu dipahami, bahwa pengertian suara publik di sini benar- benar murni merupakan suara hati nurani publik, bukanlah rekayasa dan diatur oleh kehendak ambisi pribadi-pribadi yang mampu menggerakkan massa. Kalau sudah terjadi rekayasa, maka istilah Vox Populi Vox Dei menjadi buram dan  mudah diplesetkan. Contohnya jika penguasa yang memiliki ambisi pribadi menggerakkan massa rakyatnya agar bersuara, maka hal itu bukanlah kehendak masyarakat secara natural. Namun jika masyarakat menginginkan sesuatu yang bersifat natural serupa keadilan dan kemakmuran, maka jelas hal tersebut datang secara natural dari hati nurani masyarakat.

Bila dijabarkan lebih lanjut Kemanusiaan yang Adil dan Beradab pun bisa terwujud apabila masyarakat bebas bersuara. Apalagi Persatuan Indonesia, bisa utuh dan langgeng apabila aspirasi rakyat dapat tersalur dengan baik. Begitu pula Kerakyatan yang Dipimpn oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyarawaratan Perwakilan inipun menyiratkan adanya kebebasan rakyat yang bersuara lewat parlemen. Terakhir Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia ini berarti semua warga negara berhak untuk menyuarakan aspirasinya tanpa ada diskriminasi apapun juga.

Maka konsekuansi logis dari demokrasi adalah :
1.    Munculnya fenomena citizen journalism
2.    Munculnya kesadaran masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya melalui berbagai media, baik lisan maupun tulisan apakah itu bersifat opini, berita dan feature (artikel). Juga audio visual
3.    Munculnya banyak situs berita dot com di internet yang kini siap menampung semua aspirasi warga dari  kegiatan citizen journalism.
4.    Munculnya kebiasaan menulis berita oleh warga dalam blog, dan situs jejaring social.

Eksistensi situs berita di internet juga diharapkan mengakomodasi  tulisan pewarta warga.  Terjadi  hubungan antara  aktivitas pewarta warga   (kegiatan citizen journalism) dengan eksistensi  situs berita dot com di internet, karena  dalam dinamika sosial di masyarakat  terjadi  minat untuk membuat tulisan yang bersifat informatif dan berguna bagi orang lain untuk diunggah melalui aneka situs  berita internet. Kecenderungan untuk mewartakan sesuatu yang dirasakannya secara batiniah (curhat), dirasakan oleh panca inderanya  kepada manusia lain ini sudah ada sejak manusia pertama ada di muka Bumi

  Sebenarnya kebebasan mengeluarkan pendapat ini tidak perlu dikhawatirkan akan terpasung dengan adanya UU ITE. Karena jika yang kita suarakan benar, apalagi dialami sendiri, maka masyarakat luas juga akan terbantu oleh informasi yang diberikan oleh pewarta warga (citizen journalist). (*)


Prinsip-prinsip Reportase Investigasi


Apa persamaan antara wartawan/ jurnalis /reporter dengan penambang?. Ternyata dalam urusan  gali-menggali (digging), wartawan dan penambang idealnya tidak puas dengan hasil yang ada dipermukaan. 


    Melvin Mencher dalam bukunya (Principles of Reporting, 2007) mengatakan :”Reporter atau wartawan itu adalah seperti penambang atau pencari  bahan tambang  (prospectors)”. Dalam arti, reporter yang baik selalu kurang  senang dengan bahan-bahan permukaan, untuk itu reporter/jurnalis yang baik kadang  menggali ke dalam, meski  kadang-kadang tak tertembus atau kurangnya waktu mengganggu pencarian, dan mungkin perlu untuk berhenti menggali dan untuk membuat hubungan (connections) dengan apa yang telah muncul.

   Jika memungkinkan, wartawan/reporter terus menggali sampai dia  mencapai ke bagian bawah hal, sampai -secara  jurnalistik- pada  lapisan kebenaran dari peristiwa ini digali selengkap-lengkapnya. Karena itu seorang jurnalis idealnya seperti  prospektor. Melvin Mencher mengatakan bahwa : “Sensitivitas hidung wartawan untuk berita-sangat membantu,”. Dalam arti, insting wartawan untuk selalu ingin menggali fakta memungkinkan kebenaran sejati  terungkap. Selain itu, wartawan juga dikenal memiliki akses ke beberapa sumber panduan  nyata. Pertama, wartawan itu tahu bahwa pengamatan (observasi) dirinya secara  umum lebih dapat diandalkan daripada pengamatan banyak sumber, yang belum pernah dilatih untuk melihat dan mendengar secara akurat.
Ketika dipaksa untuk bergantung pada beberapa satu pengamatan yang lain, para wartawan menggunakan berbagai tes untuk menentukan kehandalan sumber. Ketika wartawan harus menggunakan sumber dari tangan kedua atau ketiga atau bila ia meragukan pengamatan sendiri ia tahu di mana harus mencari bahan verifikasi. Sebagai seorang jurnalis  tugas reporter memang menggali informasi yang dipandu oleh pemahaman tentang sifat pelaporan.
        Sedangkan Pelaporan (reporting ) sendiri menurut Mencher adalah proses pengumpulan fakta-melalui observasi, penalaran dan verifikasi  agar dapat disajikan sebagai  berita pada  pembaca, pemirsa atau pendengar ide yang baik dari apa yang terjadi.
        Pekerjaan wartawan itu adalah dengan melihat di bawah permukaan untuk realitas yang mendasarinya. Lincoln Steffens, wartawan terkenal mengatakan : “Tugas wartawan adalah meringankan  dalam cahaya dan udara " artinya  wartawan melihat bahwa  dasar pekerjaan mereka pada keyakinan dan  tugas mereka adalah untuk melihat kebenaran yang relevan untuk orang-orang yang tidak dapat menyaksikan atau memahami hal yang mempengaruhi mereka.   Steffens sebagai anggota staf dari The Washington Post mendefinisikan reportase :”Ini adalah tugas mengungkapkan lapisan kebenaran yang ada di sekitar kita, lapisan pemahaman yang menantang kita.''
  Untuk itu Melvin Mencher dalam , mengatakan  bahwa dalam reporting  dikenal ada 3 layer atau lapisan, yakni :
1.    Lapisan yang pertama (layer 1) adalah informasi yang bersumber dari berbagai nara sumber yang resmi atau asli.
2.    Sementara layer 2 atau lapisan 2 adalah berita atau informasi yang diperoleh dari kejadian yang spontan. Termasuk lapisaan yang kedua adalah  kegiatan memverifikasi bahan- bahan latar belakang untuk tulisan, dan semua hasil pengamatan reporter (wartawan).
3.    Sementara lapisan ketiga (layer 3) adalah lapisan yang membutuhkan penggalian fakta secara mendalam. Karena dalam lapisan ini dibutuhkan penjelasan – penjelasan yang lebih mendalam dan pemahaman yang didasari fakta  dari seorang reporter, akan sebuah masalah yang  muncul. Jadi dalam layer (lapisan) ketiga ini  lebih dari sekedar melaporkan namun telah menginvestigasi berbagai macam fakta serta dapat meng-interpretasikan fakta- fakta itu.
         Layer 1 atau lapisan pertama  pelaporan adalah tujuan pelaporan secara transkripsi. Artinya, reporter secara hati-hati dan akurat mengutip  dari catatan, pidato,  atau konferensi pers. Inilah yang disebut pula  dalam Mencher (2007) yakni kekuatan dan keterbatasan dari  jurnalisme obyektif.
        Mencher (2007;Ch9) mengatakan, Layer 1 (lapisan 1) adalah sumber informasi yang paling faktual karena  data  yang digunakan adalah gabungan dari  berita dari konferensi pers, handout, pernyataan, pidato, pernyataan, perintah, keputusan, keputusan dan pendapat. Bahan ini berasal  dari dan dikendalikan oleh sumbernya.
          Mengumpulkan Fakta pada lapisan 1 adalah seperti wartawan yang menggali pada lahan penambangan terbuka. Banyak tugas wartawan dalam lapisan 1  adalah mengkonfirmasi,  kemudian  menyortir dan mengatur kembali fakta-fakta yang disampaikan, juga memferifikasi alamat dan tanggal serta  memeriksa ejaan nama. Pada beberapa media , tugas penanganan rilis ini dilakukan  oleh petugas re-writer karena pekerjaan verifikasi data pada layer 1 pada dasarnya adalah menulis ulang semua bahan, tidak melaporkan.
Namun  menurut Melvin Mencher (2007;Ch9) justru kini kebanyakan cerita yang muncul di koran dan di radio dan televisi didasarkan pada sumber bahan layer 1 yang berasal  dari konferesi pers dan pernyataan-pernyataan resmi pemerintah.

Layer 2 (lapisan 2)
Dalam lapisan ini banyak kejdian yang sifatnya spontan, meskipun kebanyakan reporter atau wartawan yang baik menurut Melvin jarang yang menginginkan kejadian yang spontan. Dalam layer ini reporter membutuhkan pemikiran tajam untuk lebih dari sekadar melaporkan kejadian yang spontan semata. Karena ternyata banyak hal yang terlihat spontan namun ternyata mengandung unsur pseudo event  (kejadian palsu).  Yakni kejadian yang terlhat spontan namun ternyata telah dibuat atau di-setting oleh pihak  tertentu agar terlihat spontan.
Melvin mencontohkan banyak pseudo event yang diatur oleh pihak politisi. Misalkan seorang politisi partai Republik  Amerika yang sengaja mengatur demonstrasi mendukung Presiden Nixon di  tahun 1972. Dikisahkan  para pendemo yang diliput luas oleh media massa terus berteriak agar Nixon dipilih 4 tahun lagi. Hal ini terlihat spontan, karena itu aksi ini mendapat sorotan media massa, namun sebenarnya telah diatur sedemikian rupa sehingga tercipta apa yang dinamakan pseudo events atau kejadian palsu.

Layer 3 (lapisan 3)
Dalam lapisan ketiga ini telah sampai dalam tahapan investigative reporting atau melaporkan secara investigasi mendalam. Menurut Melvin dalam lapisan ketiga ini reporter telah berhasil menemukan fakta- fakta yang signifikan dari hasil penggalian fakta dan data nara sumber,  kemudian repoter telah menemukan interpretasinya  atau pemahaman yang menyeluruh terhadap sebuah persoalan.
Dalam hal ini sebuah investigative reporting yang baik akan menghasilkan impact atau akibat yang luas  di mata publik, seprti pengungkapan ‘skandal water –gate’  yang melibatkan Presiden Nixon yang diungkapkan oleh wartawan The Washington Post. Serta adanya laporan mendalam diberbagai belahan Amerika Serikat dimana reporter telah berbulan- bulan mengumpulkan fakta sehingga terjadi laporan mendalam yang berakibat luas pada masyarakat Amerika Serikat.

Investigative Reporting (Pelaporan Investigasi)
Melvin Mencher  memberi ilustrasi bahwa   ada sebuah kisah tentang  seorang reporter bernama Judy Johnson dari Koran The Anniston Star yang memiliki daya reportase investigative yang tinggi. Satu saat Judy  mendengar bahwa sebagian masyakarat Alabama kesulitan dalam memperoleh kredit resmi di bank lokal. Karena tertarik dengan peristiwa Itu Judy lalu menghabiskan hampir sebulan waktunya di  Alabama untuk memverifikasi segala informasi tentang peristiwa itu.
Jadi dalam waktu sebulan itu Judy belum melakukan penulisan pelaporan namun hanya menginvestigasi dan memverifikasi semua fakta dan data. Kemudian dari berbagai wawancara yang didukung oleh  fakta dari berbagai nara-sumber itu. Judy menemukan fakta yang menarik bahwa ternyata ada kegiatan lintah darat besar yang mengakibatkan warga kesulitan memperoleh kredit di bank resmi.  Ada sebuah kegiatan rentenir yang teroganisir rapi sehingga menjerat beberapa penduduk Alabama.
Seperti kisah pasangan tua di Alabama yang tadinya hanya meminjam 4000 US Dollar pada lembaga rentenir di luar bank ini, lalu pinjamannya membengkak  menjadi 50.000 US Dollar dalam jangka waktu setahun, karena tingginya bunga oleh  kegiatan  rentenir illegal ini.  Judy juga menemukan fakta bahwa ternyata  pihak oknum pejabat pemerintah county  lokal juga terlibat dengan mendukung kegiatan rentenir ilegal yang dijalankan oleh oknum tertentu yang kuat di Alabama, sehingga menjerat penduduk lokal.
Atas laporan investigasinya ini Judy Johnson kemudian mendapatan  penghargaan jurnalistik. Judy Johnson mengatakan:   “Jangan menjadi hand out reporter atau wartawan hand out yang hanya pasrah menerima sumber dari hand out press conference saja, tapi sedialah untuk menggali lebih dalam,”.
     Sementara itu ada  tips yang berguna dari seorang wartawan investigasi   yakni Bob Greene dari Associated Press (AP),  Bob Greene menunjukkan tips bahwa reporter yang baik haruslah tetap melakukan 4 hal diantaranya :
a.    Mintalah sumber yang lebih lengkap dari sekedar hand out  yang diberikan secara resmi oleh nara sumber jadi jangan ragu untuk mencari sumber lainnya yang lebih lengkap.
b.    Selalu melakukan check dari komentar nara sumber sebelum kita menyiarkan atau mencetaknya.
c.    Secara hati-hati mengumpulkan berbagai fakta, dan harus yakin bahwa  fakta tersebut sesuai dengan konteks.
d.    Selalu mengantisipasi perkembangan peristiwa di lapangan.

Melvin Mencher menambahkan setidaknya ada guidelines to follow atau beberapa langkah panduan untuk diikuti olehs eorang reporter diantaranya adalah :
1.    Pasti ada story (kisah)  di balik  hampir semua kejadian. Melvin mengingatkan kita tentang skandal ‘watergate’ Presiden Amerika Nixon yang kemudian berujung pada pengunduran diri Presiden  Nixon.
2.    Selalu memeriksa nama dalam buku telepon, search engine internet, panduan dalam sebuah kota dan kamar mayat untuk memastikan penulisan nama adalah benar.
3.    Ikuti uangnya (follow the money). Dalam investigasi berita, reporter harus selalu mengikuti dan memahami lalu lintas mengalirnya uang, dari mana dan ke mana serta siapa yang menanganganinya. Misalnya dalam sebuah sumbangan kampanye politik atau kemana  perginya uang pajak, serta kasus yang melibatkan sejumlah besar uang lainnya.
4.    Jadilah pemberani. Kerjakanlah apa yang  tidak mau dikerjakan karena takut untuk berbuat penyelidikan. Kalau kita tidak berani maka kita tidak bisa menggali fakta secara mendalam. Dan kita akan terjebak dalam situasi yang tidak kita inginkan di masa depan.
5.    Pertanyakan semau asumsi.  Melvin Mencher mengatakan agar kita berani menanyakan semua asumsi yang umum dalam sebuah kisah.
6.    Pertanyakan kebijakan otoritas. Jadi seorang wartawan harus selalu bersikap dan berpikir kritis menanggapi semua kebijakan pihak yang berwenang, kritis dalam arti selalu menanyakan kepada pejabat pembuat kebijakan tentang kebijakan yang dikeluarkannya. (*)

Oleh Mung Pujanarko (mahasiswa magister jurnalistik IISIP Jakarta)

Minggu, 08 Januari 2012

Tanaman Srikaya di Pekarangan (2)

Buah Srikaya varietas lokal menemani pisang Raja Sereh

Tanaman Srikaya lokal tetap rajin berbuah biarpun di musim hujan


   Saya memang penghoby tanaman Srikaya, jadi biarpun pekarangan saya luasnya tidak seberapa, tapi ya tetap saja saya tanami aneka Pohon Buah terutama Srikaya. 

  Sesuai keterangan yang saya baca, Srikaya Australia dikenal juga dengan nama Srikaya Jumbo atau Srikaya New Varietas. Di halaman saya, biarpun musim hujan seperti sekarang ini Srikaya Australia yang saya tanam tetap rajin berbuah. Apalagi Srikaya Lokal yang bibitnya saya bawa dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, tetap saja rajin berbuah, dan tidak rontok meski curah hujan Bulan Januari ini amat tinggi di Bogor.
Srikaya Australia (new varietas) di halaman

Srikaya New Varietas berbuah susul menyusul, dengan bunga (tidak musiman)

  Perbedaan antara Srikaya lokal dan New Varietas, daging buah New Varietas lebih tebal., lebih harum , kemudian biji buah lokal lebih banyak yakni sekitar 40 biji dalam satu buah lokal, jika dalam buah new varietas cuma 15 biji saja.
Pohon Srikaya Lokal, buah lebat di musim hujan lebat
    Kalau makan buah ini perut jadi lumayan adem,  dan membuat pencernaan menjadi lancar. Alhamdulillah tanaman di halaman ini rajin berbuah jadi biarpun di Bogor jarang yang jual buah Srikaya, saya masih tetap bisa menikmati  buah ini.
   Selain Srikaya sebenarnya saya juga menanam beberapa tanaman buah lain, seperti Delima Merah dan Delima Putih, kemudian ada beberapa varietas Pisang. Juga saya tanam Jambu Bol atau Jambu Dersono, tapi Jambu Bol-nya masih pentil bunga, mungkin nanti kalau sudah berbuah juga saya masukkan ke blog saya ini.
Srikaya  Australia/ New Varietas  biar kecil tapi mau berbuah

   Perawatan Srikaya selain pemangkasan cabang, terutama adalah pemupukan dengan pupuk kandang, kemudian NPK dan SP36 secara berimbang. Prinsip pemupukan yang saya anut adalah sedikit tapi gradual dan kontinyu. (*)
 


Minggu, 01 Januari 2012

Srikaya (Sarikaya) di Halaman

kiri- cultivar Australia, kanan- cultivar Red San Pablo
Perbandingan Srikaya Australia dengan Blimbing 'Dewi' Depok yang juga tumbuh di halaman

Srikaya Australia buahnya besar, cara makan dikupas mirip Sirsak bukan dibelah tangan

Rasa Srikaya Australia (tengah) lebih manis dari lokal (kiri)
Srikaya (Annnona Squamosa) yang saya tanam di halaman ada 3 jenis kultivar, yang pertama Srikaya lokal yang bibitnya saya  ambil dari biji dari tanaman Srikaya milik orang tua saya di Surabaya, kemudian saya juga menanam Srikaya yang bibitnya saya tanam sejak biji, saya peroleh dari Karanganyar- Jawa Tengah. Srikaya yang saya peroleh dari Surabaya dan Solo ini sudah berbuah baik di Bogor. Jenis yang kedua adalah Srikaya Merah-San Pablo yang bibitnya saya peroleh dari okulasi. Ketiga adalah Srikaya Australia yang bibitnya sudah saya dapat sejak tahun 2009 lalu.
Ketiga jenis kultivar Srikaya ini saya tanam di  rumah saya di Desa Pabuaran kec Kemang Bogor. Sempat saya mengira kalau Srikaya hanya dapat ditanam di daerah yang banyak kapur seperti di Gresik, Surabaya dan  pesisir Utara saja.
Ukuran buah dari cultivar Karanganyar buahnya bisa besar hampir sama dengan cultivar Australia

Srikaya yang asalnya induknya dari Karanganyar ditanam di Bogor, rasa buahnya manis

Coba-coba saya menanam Srikaya di  bekas tanah tegalan di Bogor yang kini jadi halaman rumah saya..ehh.. ternyata bisa tumbuh baik dan berbuah. Curah hujan di Bogor  sangat tinggi sekitar 3000 s/d 4000 mm per tahun. Sedangkan di daerah penghasil Srikaya di Gresik- Jatim atau Solo- Jateng, curah hujannya tidak sebanyak Bogor.  Namun ternyata tidak mempengaruhi tumbuhnya Srikaya 3 jenis kultivar ini.
Berbuahnya juga cukup rajin. Rasanya manis, tidak terlalu masir. Kesimpulan saya tanaman ini bandel, dan tahan cuaca. Musim hujan seperti sekarang ini tetap berbuah seperti yang tampak di foto. Apalagi musim kemarau, terlihat tanamannnya lebih 'senang' berbuah.
Tapi memang, warga, terutama di sekitar tempat tinggal saya agaknya kurang suka menanam Srikaya, bahkan tetangga-tetangga saya juga kurang suka memakan buah srikaya. Ya maklum karena di  sekitar tempat tinggal saya di kawasan Kemang kab Bogor telah terkenal banyak tanaman buah lokal yang unggul seperti rambutan berbagai jenis, durian, jambu biji, pisang, cempedak dan nangka serta tanaman buah lain seperti duku, langsat yang merupakan primadona warga Desa di kabupaten Bogor umumnya. Kata tetangga, "Cara makannya sulit, banyak bijinya" tutur tetangga warga desa.
srikaya autralia (besar) dan lokal (kanan) dari Surabaya yang ditanam di Bogor

Tapi karena saya penggemar Srikaya, saya tetap berusaha merawatnya dengan pupuk berimbang, meskipun warga Desa hanya melihat dengan senyam-senyum saja, karena dibanding buah rambutan dan durian milik warga Desa, memang Srikaya belum banyak pasarannya di Bogor, juga tidak 'laku' di lidah warga. Lain halnya jika saya pulang ke Jawa Timur tempat kampung halaman saya. Jika kita telusuri jalan antara Malang- Surabaya, di pinggir jalan banyak dijual Srikaya. Apalagi kalau kita ke Gresik,dan Srikaya banyak dijajakan di pinggir jalan. Bedanya di Bogor di pinggir jalan kurang dijumpai Srikaya dijajakan.
srikaya australia (kanan) dan red san pablo (kiri)
Sebenarnya Srikaya tidak mengenal musim,  tiap musim berbuah. Cara menanam Srikaya juga cukup mudah jika mau menanam dari biji tinggal ditaruh di poly bag disemai, sudah bisa tumbuh. Kalau ditanam dari biji setahun setengah sudah dapat berbunga dan berbuah. Kini saya tanam Srikaya (annona squamosa) ini di sekeliling dalam halaman, dari hasil semaian biji, yang berasal dari tanaman induknya. (*)

Rabu, 07 Desember 2011

Gaya Hidup


   Di era kita hidup di tengah kondisi bangsa dan negara saat ini sungguhlah aneh di mata saya, karena ; yang pertama tidak seorangpun mengakui kalau Indonesia adalah negara sosialis. Dan tidak pula ada pejabat yang mengatakan bahwa sesungguhnya Indonesia adalah negara kapitalis sejati.  

Jadi kalau ditanya ; apakah Indonesia negara sosialis ? Pasti orang-orang termasuk kaum terpelajar akan menjawab “oh bukan, Indonesia adalah negara Pancasila.” Juga kalau ditanya; Apakah Indonesia adalah negara kapitalis?, maka orang akan terdiam sejenak dan memilih jawaban aman apalagi kalau yang ditanya adalah pejabat publik yang berwenang dan ditanya oleh wartawan maka secara otomatis dia akan menjawab 'Indonesia merupakan negara agraris menganut prinsip gotong royong, musyawarah dst... yang berasaskan Pancasila dan UUD 45', aman. Pokoknya memilih jawaban yang aman-aman saja.
   
Tapi sesungguhnya kalau kita melihat Indonesia secara lebih jelas lagi,  gaya hidup masyarakat kita terutama yang  tinggal di kota besar, kita melihat gaya hidup yang tidak ada bau sosialisnya, nyaris kemanusiaan yang adil dan beradab ini hilang, yang ada hanya kemanusiaan yang adil untuk kaum berada.

Karena yang terlihat secara kasat mata memang kalau ada uang di tangan maka anda hidup, jika tak ada uang di tangan, maka anda bisa mati. Dan mati pula harga diri anda bila anda tak pegang uang. Kalau hidup berlandaskan uang maka ini adalah negara kapitalis.

 Kapitalis murni adalah ketika warga negara hanya bisa hidup dan survive kalau pegang uang saja. Kalau tak ada uang, maka tak ada akses ke kesehatan dan pendidikan yang memadai  Jadi kita ini sama saja  seperti kehidupan  Romawi jaman sebelum masehi.      

 Kapitalis  di Romawi jaman dulu  memicu adab barbaric, adab barbaric adalah ketika warga suku-suku yang ada di luar City of Rome, seperti gothic dan gaelic terpapar kehidupan kapitalisme, dan karena didesak terus oleh kapitalisme, maka suku-suku ini menjadi barbaric dan malah meluluh-lantakkan Romawi.

 Karena itu orang sekarang makin nekat, lebih baik terjun menjadi kriminal dari pada mati miskin. Kata 50 Cent, rapper di Amerika  “get rich or die tryin’ “.  Gaya hidup semacam ini memacu pikiran semua orang setiap hari hanya berpikiran mencari uang saja. Apalagi didukung oleh komersialisasi di segala bidang. Dan terpaan iklan konsumerisme yang semakin deras menyuntik otak seperti teori komunikasi jarum hypodermis. Maka korupsi yang merupakan pencurian tingkat atas, dan pencopetan sebagai pencurian tingkat bawah menjadi makin intens.
   
Gaya hidup masyarakat sepert ini tak lagi menjadi dominasi warga metropolitan namun menjadi gaya hidup warga desa pula. Desa dan kota sekarang ini sudah tak dapat lagi dibedakan. Kalau  30 tahun yang lalu masih ada perbedaan gaya hidup, sekarang ini sudah tak ada lagi.

Gaya Hidup bagi kaum hedonis adalah Hidup yang Gaya. Ketimpangan Sosial Makin Tajam.

 Karena itu dekadensi moral juga melanda pedesaan, pencurian, perkosaan dan penganiayaan menjadi bagian dari kehidupan warga desa sehari-hari. Ini mirip sekali ketika suku-suku di luar Romawi yang tadinya hidup damai dalam harmonisasi alam seperti gothic dan gaelic kemudian menjadi barbaric karena ditekan oleh kapitalisme dan imperialisasi Roma. Saking beratnya kehidupan ketika kapitalisme menjadi pemicu ketimpangan, maka kaum pinggiran ini kemudian ngamuk dan menyerbu Romawi dengan membawa segala rasa penasaran, chaos, kerusuhan, di benak barbaric ini mengapa mereka terpinggirkan hanya karena mereka tak punya akses ke kesejahteraan yang berbasis kapital.

Jadi adab barbaric bukan hanya milik ancient people atau masa kuno saja, namun juga menjadi warisan di masa kini.
  
 Sebenarnya pemerintah harus imbang antara mendidik masyarakat menjadi berwatak kasih sosial, juga mendidik masyarakat untuk berusaha dan berniaga secara jujur. Bukannya justru lingkaran dalam kekuasaan memberi contoh korupsi dan  memberi  contoh  dekadensi moral. (*)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons