cari kata

Selasa, 06 Maret 2012

CJ dan SoJo

    CJ (Citizen Journalist) dan SoJo (Solo Journalist) keduanya adalah saudara kandung dalam ranah new media. Yang dinamakan 'New Media' adalah media saluran informasi yang tergolong baru karena menggunakan teknologi informasi (TI) yang berkembang seiring kemajuan jaman. Pakar komunikasi Douglas Kellner dan James Bohman menyatakan bahwa media baru, terutama internet, memberikan potensi untuk ruang publik demokratis postmodern, di mana warga negara dapat berpartisipasi dalam perdebatan baik informasi, non-hirarkis berkaitan dengan struktur sosial mereka.
Media massa lama (Old Media) dikenal sebagai media massa yang menggunakan mesin cetak atau mesin press yang telah ditemukan pada bentuk pencetakan yang sangat sederhana telah dibuat di Cina pada pencetakan Kitab Sutra Intan yang saat ini tersimpan di British Library, karya block printing ini dicetak pada tahun ke-9 Dinasti Tang Xiantong (868 SM), dan berkembang lagi sekitar tahun 175 Masehi di Cina dan Korea. Tampilan yang terbalik di atas kayu, dan kemudian perunggu telah dibuat di tahun ini. Alat ini kemudian dibubuhi tinta kemudian ditempatkan di atas secarik kertas dan digosok dengan lembut menggunakan sebuah tongkat bambu. Kemudian sekitar tahun 1440 Johannes Gutenberg dari kota Mainz, Jerman membuat mesin cetak di Eropa.
Sementara New Media meliputi media yang menggunakan ranah internet.
Tapi semua media kini tidak mau dinamakan media lama, dan ada televisi, radio, majalah, koran dan tabloid yang mengusung pula jargon sebagai ‘new media’. Kalau maksudnya mengusung informasi yang selalu up date, ini sebenarnya adalah sifat news itu sendiri yang memang selalu baru dan diperbarui. Tapi kalau menyangkut definisi, televisi, radio, majalah, dan koran konvensional termasuk old media.
Citizen Journalist dan Solo Journalist adalah dua predikat yang sedang hangat dibicarakan di dalam dunia Ilmu Jurnalistik. Karena dua predikat ini menawarkan kemandirian, independensi, dan kebebasan untuk menyuarakan news seperti apa adanya, tanpa adanya embel-embel policy grup media. Misalnya : seorang CJ atau SoJo dapat menyuarakan kepentingan publik sebuah komunitas yang sumber air di desanya disedot habis oleh perusahaan air minum komersial, tanpa takut perusahaan air minum komersial itu tidak beriklan di medianya.
Karena itu media bagi CJ dan SoJo boleh menggunakan blog-blog pribadi dan dotcom milik personal. Ada beberapa pendapat orang yang mengatakan bahwa blog bukanlah media jurnalistik. Dalam ilmu sosial jurnalistik, yang dinamakan channel atau saluran itu sifatnya adalah luas. Media tempat berbagi news bisa berupa apa saja, karena sejarah jurnalistik sendiri berasal dari bahasa latin Diurnarii yang berarti:  "orang-orang yang mencatat Acta Diurna" atau pengumuman warta Senat Romawi yang dipahat dalam 'acta' yang bisa berbentuk lempengan marmer. Kemunculan Diurnarii pertama ada pada jaman Romawi kuno, 800 (delapan ratus) tahun sebelum Masehi. Sejarawan Hendrik van Loon dalam bukunya yang terkenal ‘The History of Mankind’ -saya punya terbitan tahun pertama aslinya tahun 1926-, mengungkapkan bahwa media tulisan sudah ditemukan jauh sebelum para Diurnarii bekerja untuk masyarakat Romawi. Catatan warta kuno sudah dibuat manusia  4000 (empat ribu) tahun sebelum Masehi, ketika Bangsa  Mesir kuno menemukan tulisan hieroglyph (hieroglyphic) yang ditorehkan di batu dan di papyrus. Kemudian tradisi mencatat ini diteruskan oleh kebudayaan Mesopotamia 2000 (dua ribu) tahun sebelum Masehi.
Jadi blog yang kini ada adalah perkembangan dari hyeroglyph, perkembangan dari acta diurna di Romawi, perkembangan dari prasasti di India dan Nusantara, juga perkembangan dari keropak-keropak kuno dan perkamen-perkamen serta naskah-naskah dalam kulit kambing, kulit unta, naskah dalam papyrus, naskah digores pada tulang, kulit pohon daun lontar dan sebagainya. Pada intinya blog di ranah internet adalah termasuk  : media.
Untuk disebut sebagai jurnalis tentu saja blogger tidak seketika disebut jurnalis, artinya tidak semua blogger bisa mendapat predikat jurnalis, namun ada blogger yang bisa disebut sebagai jurnalis. Blogger yang tidak dapat disebut sebagai jurnalis adalah blogger yang tidak memenuhi kaidah ilmu jurnalistik itu sendiri, karena pada pengertian dasarnya, jurnal yakni : catatan kronologis berisi informasi yang diterbitkan secara berkala. Jurnal bisa terbit berkala dalam hitungan detik (second), menit (minute), jam (hour), hari (daily) minggu (weekly), bulanan (monthly) dan tahunan (annualy).
Jadi bila seorang blogger tidak memenuhi standar penerbitan jurnal itu sendiri, maka blogger itu adalah disebut sebagai pengisi ruang blog atau disebut blogger saja.
Jika blogger tadi telah dapat merapikan kronologi penerbitan catatan jurnalnya (jurnal bisa berbentuk : news, feature, artikel, informasi auvi) secara teratur dan berkala, plus memahami teknik dasar jurnalistik dan memahami semua kaidah jurnalisme, termasuk elemen jurnalisme, maka blogger tadi dapat mendapat predikat sebagai seorang jurnalis.
Kita jangan rancu dengan sebutan atau predikat, jika disebut jurnalis lalu harus tergabung dalam media besar. Tidak seperti itu, analoginya seorang pedagang tidak perlu tergabung dalam perusahaan besar, seorang pedagang kecil disebut pula pedagang. Pengemudi tidak perlu punya mobil, semua orang yang megemudikan kendaraan disebut pengemudi (driver)
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia jurnalis adalah : “orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat dalam surat kabar, majalah, radio, dan televisi; juru warta; jurnalis; (nomina).”
Dalam kamus besar ini, blog dan media dotcom belum termasuk, karena kamus besar tadi dicetak sebelum marak kemunculan media dotcom sebagai media news dan media blog, apalagi jejaring sosial seperti twitter dan facebook, dan ada (banyak) orang yang menganggap bahwa ilmu sosial seperti ilmu eksakta, ngotot mempertahankan pengertian ini tanpa mau adanya change sebagai semangat perubahan.
Karena itu itulah istilah pewarta amatlah tepat bagi CJ, karena untuk citizen journalist atau CJ menjadi terjemahan pewarta warga, karena pewarta adalah orang yang mewartakan melalui media apa saja.
Banyak orang yang waktunya habis untuk berdebat, tentang kategori-kategori predikat dan subyek, misalnya : “lalu pewarta itu jurnalis atau bukan?”.  Jawabnya jelas hakekatnya sama saja, karena jurnalis dan pewarta sama-sama  mewartakan. Kalau ditulis, tidak diwartakan, nah itu namanya baru penulis diary pribadi.
Antara SoJo dan CJ sama-sama bergerak bukan dari ranah mainstream media atau media besar yang dimiliki oleh Media Mogul, atau saya sebut sebagai Media Shogun dan Media Daimyo, ini istilah untuk Tuan Besar Media.
CJ dan SoJo mewakili alternatif orang untuk menjadi jurnalis. Di Indonesa CJ dan SoJo tentu saja masih dipandang unik, dan oleh kawan-kawan wartawan reguler yang digaji oleh para Tuan Besar Media (Media Mogul) CJ dan SoJo, bahkan tidak dianggap sebagai rekan sesama jurnalis dalam pergaulan antar wartawan.
Hal ini dapat dimaklumi karena perkumpulan wartawan di Indonesia bersifat parsial, ada perkumpulan wartawan, di mana wartawannya adalah digaji oleh media mainstream, ada pula perkumpulan pewarta warga. Ini semua adalah dinamika dalam dunia jurnalistik.
Sebuah dinamika yang berlaku wajar akibat dari perkembangan dunia jurnalistik dan dunia komunikasi itu sendiri. Jadi kalau orang itu ingin bergaul, maka jangankan dengan rekan sesama peliputan berita di lapangan, dengan nara sumber siapa saja dan dengan orang macam apa saja orang itu mau bergaul, tapi kalau seorang sudah membatasi diri bergaul hanya dengan kelompoknya dan meminta kelompoknya hanya bergaul dengan orang macam dia, maka orang tadi bersifat ‘ekslusive non egalitarian’.
Banyak dinamika terjadi di lapangan peliputan berita, misalnya saja, ada seorang pewarta warga yang ikut jumpa pers, boleh tidak? Jawabnya : pada hakekatnya undangan jumpa pers terserah pada pihak yang mengundang mau mengundang siapa, bukan terserah pada yang tamu yang diundang. Artinya, pengundang boleh mengundang siapa saja yang hendak diundang.
Tapi jika sebuah lembaga publik mengeluarkan pengumuman untuk publik, maka pewarta warga, (CJ), SoJo,  dan wartawan reguler di lapangan, semuanya berhak untuk meliput seperti yang diatur oleh UU KIP (Undang-undang Keterbukaan Publik), terutama :
Pasal 2
(1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.
(2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
(3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
(4) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan UndangUndang,kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindung kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan
pengelolaan Badan Publik yang baik;
d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien,
akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk
menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Jadi tidak perlu seorang wartawan reguler yang digaji oleh Tuan Besar Media (Media Mogul) kemudian mengusir seorang pewarta warga  (CJ) dan SoJo yang tidak digaji oleh Media Mogul dalam sebuah jumpa pers yang dilaksanakan oleh lembaga publik.
Karena ada aturan UU KIP diatas. Juga diatasnya UU KIP, ada Pasal 28F UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI, yang seharusnya diketahui oleh semua jurnalis baik jurnalis yang digaji oleh Media Mogul dalam media yang disebut mainstream ataupun CJ dan SoJo sebagai pengisi New Media.
Selanjutnya saya ucapkan selamat berkarya bagi CJ, SoJo dan para jurnalis sekalian. (*)
Oleh Mung Pujanako : Dosen Ilmu Jurnalistik FIKOM Jayabaya Jakarta, & Unida Bogor.

Topik Tulisan untuk Pewarta Warga

Mencermati perkembangan akhir-akhir ini fenomena citizen journalism (jurnalisme warga) yang diharapkan dapat menjadi suara warga yang alami, dan mengembang di awal era reformasi, jangan sampai kemudian mengempis hanya karena terus dibayangi ketidakpahaman akan UU ITE (Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik).
Memang dalam ITE ini terutama bunyi Pasal 27 ayat 1, 2, 3 dan 4 :
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atauDokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Dimana ketentuan pidananya termuat dalam pasal 45 adalah :
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Maka hal ini harus diperhatikan benar bagi penggiat aktivitas media sosial dan pewarta warga yang aktif menulis dan mengunggah berita di internet, karena ranah media elektronik internet adalah salah satu wahana kebebasan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menulis topik apapun seperti : berita, feature, bahkan curhat seperti apa yang dilakukan oleh Pritta Mulyasari melalui curhatnya, namun mengapa curhat tersebut bisa dibidik serta ditembak dengan UU ITE sehingga berimbas Prita pernah masuk bui, masuk hotel prodeo.
Sebenarnya ‘kecelakaan’ penulisan jurnalistik seperti yang dialami Pritta dapat dihindarkan oleh pewarta warga jika kita sebagai pewarta warga memahami rambu-rambu yang sudah ada. Rambu-rambu itu diantaranya adalah Kode Etik Pewarta Warga, UU ITE dan UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Apalagi ditambah jika kita dalami benar makna jurnalisme dalam 9 elemen jurnalisme yang ditulis oleh Bill Kovach dalam bukunya 'The Element of Journalism' yakni :
Sembilan Elemen Jurnalisme (Bill Kovach) :
1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran.
2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara.
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya.
5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan.
6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi.
7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan.
8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional.
9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Jadi setelah kita pahami UU ITE dan elemen jurnalisme jangan sampai terjadi mengempisnya antusiasme warga Indonesia untuk meramaikan ranah citizen journalism, karena diharapkan para pewarta warga dapat memahami elemen jurnalisme yang dianut secara global ini.
Karena itu ada beberapa pakem yang kita mantapkan terlebih dahulu agar paham benar untuk memulai tulisan di ranah pewarta, pakem yang utama adalah memilih : Topik.
Saudara, memilih topik tulisan, haruslah direncanakan dengan matang, kita tidak bisa menulis sebuah kasus besar tanpa investigasi, tanpa wawancara dengan banyak nara sumber yang relevan, dan tanpa memahami persoalannya. Intinya : jika ingin menulis kasus besar, anda harus punya banyak alat bukti berupa : rekaman wawancara dengan para sumber valid dan relevan, foto- foto lokasi kejadian, bila perlu foto-foto tersembunyi, dan bahkan wawancara dengan sejumlah nara sumber yang enggan disebutkan namanya, agar wawasan anda terhadap kasus yang anda tulis menjadi clear, menjadi semakin jelas alur kasus itu.
Saudara, saya memberi contoh, sebuah topik skandal seperti Skandal Water Gate yang melengserkan Presiden Amerika Richard Nixon, skandal ini tidaklah terkuak jika tidak ada dua wartawan The Washington Post yang gagah berani melakukan investigasi dan menurunkan laporannya. Duet wartawan The Post (istilah bagi The Washington Post) Woodward dan Bernstein inilah, yang mampu menurunkan laporan investigative yang sangat komprehensif, sangat lengkap. Keduanya berhasil mewawancarai seorang saksi kunci yang mengindikasikan keterlibatan Presiden Nixon, saksi itu diberi nama sandi “Deep Throat”. Kedua wartawan itu memegang teguh rahasia nama sumbernya, sampai-sampai Presiden Nixon jatuh, keduanya tidak pernah dipermasalahkan. Tidak ada dalam catatan media yang menuntut atau menuding bahwa data kedua wartawan itu tidak valid. Nanti setelah 30 tahun kemudian, ternyata Deep Throat yang dimaksud itu tidak lain adalah Mark Felt yang merupakan orang kedua di Biro Penyelidik Federal (FBI) AS. Begitulah, sebuah skandal diungkapkan secara professional oleh kedua wartawan itu. Namun hal itu terjadi di ranah media massa yang lahir di negeri liberal demokrat yang sudah tua, setua 200 tahun lebih,di Amerika.
Di Indonesia yang mengenyam demokrasi selama 67 tahun, dipotong masa pemerintahan Suharto 32 tahun, jadi kira-kira tinggal separuhnya saja demokrasi yang sesungguhnya, era kebebasan pers masih dipijak secara ragu-ragu meski oleh dunia pers itu sendiri. Bagi diri saya pribadi -agar saya tidak bingung-, saya membagi Dunia Pers menjadi 2 (dua) secara tegas, yakni : Yang pertama Dunia Pers Profesional dan yang kedua adalah Dunia Pers Amatir. Dunia pers profesional adalah ada wartawan profesional reguler –pengertian profesional di sini bukan seperti dalam benak banyak orang yakni profesional sama dengan arti hebat dan jagoan-, namun profesional artinya adalah : Dibayar. Sementara Amatir di sini bukan pula seperti mind set banyak orang yakni Amatir sama dengan rendah, hina dan tidak ahli, namun dalam pengertian: Amatir adalah tidak dibayar, alias nir-upah.
Jika kategori antara pro dan amatir mewakili skill, maka siapapun juga bisa menjadi jurnalis handal asalkan telah mendapatkan pelatihan dan berpengalaman, pasti skill-nya akan meningkat (analogi dunia tinju amatir dan pro). Nah, di ranah pers amatir namun dapat berkeahlian bak jurnalis profesional inilah Citizen Journalism berkembang.
Yang memprihatinkan jika konsep citizen journalism (pewarta warga) yang telah sesuai dengan konstitusi kita berupa kebebasan berpendapat (pasal 28 F, UUD 1945), ini tidak disiram oleh semangat Warga Negara Indonesia untuk mengembangkannya, maka konsep Citizen Journalism ini bisa jadi hanya dibayangi ketakutan oleh UU ITE. Jika citizen journalism ini surut, maka dikhawatirkan era pemerinah otoritarian ala Suharto jelas kembali lagi, yakni era rezim yang tidak membuka kebebasan bersuara bagi warganya.
Kekhawatiran pewarta warga tidak perlu berlebihan untuk mulai menulis berita, jika anda memiliki topik yang menarik. Dan apalagi jika anda memiliki topik berita setingkat skandal yang serius melibatkan orang- orang yang penting pula, maka anda pun harus bersikap amatir yang berjiwa profesional, dalam arti biarpun tidak dibayar oleh siapapun juga asal anda memiliki bukti cukup, wawancara dan dokumen (bukti dalam pers ada dua yakni : hasil wawancara dan dokumen alias ‘people trail’ dan ‘paper trail’), juga bukti fisik yang menguatkan, dan bukanlah hanya sekedar asumsi belaka, bukan fitnah, kemudian anda memiliki bukti rekaman, baik audio maupun video yang valid, plus juga meminta pendapat sejumlah ahli tentang kasus yang anda tulis. Maka jika anda pun telah menulis dengan prinsip covering of both side atau telah berusaha meliput dari kedua sisi, maka topik hangat ini bisa anda tayangkan. Ini berarti kita telah siap apabila nantinya dijerat oleh UU ITE, karena bukti-bukti yang dimiliki oleh pewarta warga ini sudah sedemikian lengkapnya. Saya berpikir jika bukti sudah menancap sampai pada inti (core) dan rantai (link) yang melibatkan pelaku (person) secara kuat (significant), maka semua pihak yang terlibatpun akan merasa gamang jika sampai kasus ini dibuka di pengadilan secara umum melalui pintu UU- ITE.
Begitulah, karena kita harus pahami UU ITE  bagi pewarta warga, jika anda para calon pewarta warga maupun pewarta warga masih belum mampu menulis topik berat dan bernuansa berita besar sekaliber skandal politik nasional. Maka mulailah saja dengan topik yang paling membahagiakan diri anda dan orang lain, yakni orang yang anda liput, dan masyarakat yang membaca liputan anda. Seperti yang dilakukan oleh wartawan senior Bondan Winarno dalam ‘Wisata Kuliner’. Membahagiakan semuanya, yang punya warung senang, media senang, iklan ‘berenang’, dan pemirsa yang melihat juga cukup kenyang.
Namun jika selera anda keras dan berita anda seperti music heavy metal, keras dan membuat sakit telinga orang yang terlibat, maka chord atau nada anda harus pas, dalam arti sekali lagi bukti harus valid, relevan dan mampu menjadi alat bukti di pengadilan.
Ingat, slogan bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’ dibuat bukan untuk menakut-nakuti tapi harusnya menjadi penerang jiwa yang sadar bahwa argumentasi berdasar kebenaran, keadilan dan akal sehat harus maju dan ditampilkan di muka pengadilan, guna melawan argumentasi dan penafsiran hukum dari pihak yang bersalah dan merugikan alam semesta kejujuran dan kebenaran. Saya yakin Tuhan Yang Maha Esa tidaklah tidur, dan orang yang curang pasti akan masuk jurang.

(Oleh : Mung Pujanarko, saat ini staf pengajar di FISIKOM UNIDA, FIKOM Jayabaya, mantan wartawan SURYA Surabaya dan redaktur Duta Masyarakat)

Selasa, 28 Februari 2012

Manajemen Media Massa (2)

Jika kita menelaah serta membaca buku-buku tentang manajemen media massa dan jurnal-jurnal ilmiah terutama yang berskala Internasional, maka belajar manajemen media massa sangat mengasyikkan. Jurnal-jurnal ilmiah yang menganalisa dan meneliti  serta memelototi tentang media  massa, datang dari berbagai penjuru dunia, mulai dari Hong Kong, Jepang, Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa dan berbagai negara yang menyumbang kajiannya dalam jurnal-jurnal ilmiah yang dapat diakses secara luas di jaringan internet ataupun perpustakaan-perpustakaan di universitas-universitas yang menyediakannya.

Para peneliti yang ribuan jumlahnya ini menyumbang sederetan analisa-analisa atas fenomena tentang media massa yang dijumpainya di negaranya masing-masing, kajian ini menyemarakkan dunia keilmuan jurnalistik. Ilmu jurnalistik dalam alur disiplinnya, sama dengan ilmu lain yang senantiasa mengikuti perkembangan jaman, dan perkembangan ilmunya masing-masing.

Dalam manajemen media massa era sekarang ini, di negara maju terutama Amerika Serikat cenderung muncul fenomena creative mass media (new media), yang menganut prinsip ‘crew cut management’  (mirip model rambut). Dulu tahun 2003 masih jamak media massa berawak raksasa artinya bukan seorang raksasa,  tapi crew-nya banyak dan terbagi menjadi departemen-departemen yang kompleks. Kini, kecenderungan yang bergulir benar-benar crew cut ‘potongannya’. Kita bisa melihat di Amerika kini berkembang bukan hanya citizen journalism, namun solo journalist seperti orang bernama Kevin Sites, seorang solo journalist.
Intinya menjual media tanpa banyak formalitas di dalam manajemen media massa itu sendiri. Yang penting kreatif, dan bukannya ‘banyak tapi kosong’ di dalam jajaran crew manajemen dan pengelola usaha medianya.
Yang beruntung adalah media massa yang sedang berkembang yang mengadaptasi sistem crew cut but strong. Strong dalam arti kreatif dan innovatif dengan tetap mengacu pada perkembangan animo khalayak (audiens). Dalam ilmu manajemen media massa -yang telah banyak dimuat dalam jurnal-jurnal internasional dan nasional serta e-book yang luar biasa banyaknya-, kekakuan (stiff) yang berangkat dari kekakuan-kekakuan pola feodalistis, hierarkis, dan sinistis, dan barrier-barrier dalam pen-jalanan/pengelolan media menjadi sepatu usang bagi perjalanan media massa. Pola-pola feodalistis dalam manajemen lazim kita temukan dalam tata kelola instansi milik pemerintah, namun amat disayangkan jika dunia media massa yang nota bene swasta juga terjadi tradisi feodalistis dalam manajemennya.

Ada grup media massa besar, yang tidak menyadari hal ini. Dan tetap melaju dengan kapal raksasa crew-nya, di mana cabang-cabang media yang untung dan yang untung amat sedikit berbaur dalam satu holding. Dan silang pendapat berbasis ego dan need of self survival  antara pejabatnya dalam kerajaan media tersebut semakin menggiringnya ke arah kekunoan bukan kekinian. Parah lagi jika sebuah media massa menjalin manajemen sektarian atau ikut sebuah kelompok kepentingan baik politik maupun ekonomi, maka orang-orang yang ada di dalamnya akan mendapat tiket 'take it or leave it'. Malangnya lagi ilmu para pejabat media itu tetap sama saja dengan saat berdirinya.

Padahal kini eranya -di sisi sosial media- marak berkembang citizen journalism/ CJ media, I-Media, We-Media, social media yang amat menghibur rakyat luas, dan di sisi sisi komersial media ada niche-niche baru yang semakin memperoleh celahnya di market media.

Bagi manajemen media yang tiba-tiba terpaksa sadar, ingin change dan meneriakkan slogan kata- ‘terobosan baru’ bisa menjadi menjebak jika hanya asal menerobos saja, tanpa bekal pengetahuan  yang cukup.
Bagi para jurnalis yang kreatif, ini keberuntungan anda, meskipun anda bukan pengusaha media, di era ini akan semakin membuka peluang anda-anda sekalian untuk memposisikan diri secara positif di dunia market media yang semakin berkembang. (*)

Oleh : Mung Pujanarko alias  Imung Pujanarko

Manajemen Media Massa

Manajemen Media Massa  memiliki satu tujuan pasti yakni menjual informasi bagi khalayak. Karena strategisnya fungsi informasi bagi masyarakat, maka usaha media massa selalu berkembang seiring dengan tumbuhnya ekonomi.

Dalam menjual informasi, ada keunikan tersendiri dalam segi manajemen media massa. Karena ini bisnis menjual informasi yang diolah dengan cara jurnalistik, maka sebaiknya yang menjadi manajer media masa adalah orang-orang jurnalistik, yakni orang-orang yang memiliki kemampuan di bidang ilmu jurnalistik secara formal.

Dalam jurusan jurnalistik telah diperkenalkan mata kuliah Manajemen Media Massa.  Di mana dalam ilmu manajemennya dicirikan bahwa ada ‘art’ atau seni dalam mengendus animo serta keinginan massa atas informasi tertentu yang ’menjual’ untuk dihadirkan ke hadapan khalayak. Dalam ilmu jurnalistik moderen, need dan want atas informasi ini bisa dipolakan, dicirikan, dan diteliti serta menjadi fokus dalam kajian jurnalistik. Hal ini berlaku bagi media apa saja baik cetak maupun elektronik.

Dalam ilmu manajemen media massa, mahasiswa jurnalistik dilatih untuk memahami jenis informasi apa yang akan dijualnya, apa target sasarannya audiensnya. Jadi bila dianalogikan; bila ada dua manajer mengurusi dua majalah yang berbeda, satu dari jurusan jurnalistik dan satu manajer lagi dari jurusan ilmu lainnya, maka pola pikirnya tentu berbeda.

Menjual media massa tidak dapat disamakan dengan menjual aneka produk barang dan jasa lain.
Menjual media massa telah dipahami benar oleh lingkup kajian ilmu jurnalistik (internasional), bahwa sensitifitas ‘hidung wartawan’ amat membantu untuk mengangkat sebuah informasi menjadi sebuah informasi yang berharga sehingga orang mau membelinya dengan cara membeli langsung atau mengkonsumsinya dengan cara melihat dan mendengar.

Iklan yang termuat dalam media yang memiliki sajian informasi yang bagus juga sudah pasti akan mendapatkan feed back berupa respon dari masyarakat yang ikut meng-indra iklan yang termuat dalam sebuah media massa. Teori-teori dalam ilmu ini masuk dalam ruang kajian ilmu Komunikasi.

Sementara untuk selain lulusan jurnalistik, manajer yang berdisiplin ilmu selain jurnalistik tentu dapat pula menjual produk medianya, tapi daya hayat untuk ilmu jurnalistiknya sudah pasti tidak selengkap oleh mereka yang berasal dari disiplin ilmu jurnalistik. Perlu diketahui, dewasa ini jurusan jurnalistik memiliki durasi belajar strata satu, (8 semester) ditambah strata dua (4 semester).

Buku-buku serta jurnal ilmiah pegangan disiplin ilmu jurnalistik kini juga berskala internasional dan nasional yang semakin berkembang keilmuannya, serta semuanya bersifat heurisme alias terus berproses dalam pengembangan ilmu.  Maka itu dalam kancah bisnis media sekarang ini seni menjual informasi diharapkan tidak mandeg. Bila ilmu manajemen media massa sebuah usaha media massa mandeg –ini seringkali karena meng-under estimate bahwa menjual media massa semua ilmu orang bisa-,  maka dapat berimbas hanya akan menjadi follower. (*)

Oleh : Mung Pujanarko alias Imung Pujanarko- pernah menjadi branch manajer media Ad-Info Bogor (2006), kemudian berhenti jadi BM, untuk belajar-mengajar ilmu jurnalistik.

Rabu, 22 Februari 2012

Puluhan Pelajar di Bogor Mengikuti Pelatihan Jurnalistik

Bogor- Puluhan pelajar tingkat SLTA se-Bogor dan sukabumi mengikuti kegiatan pelatihan jurnalistik yang diselenggarankan keluarga besar mahasiswa fakultas ilmu sosial, politik, dan komunikasi Universitas Djuanda Bogor, di aula gedung B beberapa minggu yang lalu (21/9).
Instruktur kegiatan, Mung Pujanarko, memberikan materi penulisan quick News. Dalam quick news teknik yang dipergunakan adalah menulis berita secara tepat, dan  cepat hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit.
Pelatihan diselingi dengan kegiatan praktek menulis cepat sehingga peserta dapat segera menguasai teknik penulisan. Para Siswa yang hadir terlihat antusias dan menyimak dengan tekun materi pelatihan jurnalisik tersebut.
Dekan  Fakultas Ilmu Sosial, Politik, dan komunikasi (FISIKOM) Beddy Iriwan Maksudi, menekankan pentingnya ilmu komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat. “ Ilmu Komunikasi memiliki peranan yang penting baik di dunia jurnalistik sendiri maupun politik”, ujar Beddy. Beliau juga mengharapkan agar peserta nantinya mampu menulis, atau membuat berita dengan menggunakan teknik penulisan yang benar. #anton surahmat

Senin, 16 Januari 2012

Srikaya (Sarikaya) di Halaman (3)

kanan srikaya new varietas, kiri srikaya merah san pablo


buah srikaya new varietas cukup besar

anak saya suka dengan kemanisan rasa buahnya
Srikaya New varietas, memiliki aroma yang harum. Berat 1 buah bisa sampai 500 gram. Rasa manisnya lebih manis dari Srikaya lokal yang lebih kecil, brix-nya belum tahu. Sementara Srikaya Merah San Pablo rasanya juga manis, sementara daging buahnya tebal.

Hanya saja Srikaya Merah tidak beraroma harum. Pohon Srikaya Merah juga termasuk pohon yang tidak rewel dan tidak menuntut banyak syarat tumbuh. Srikaya pada umumnya dapat tumbuh di mana saja, dataran tinggi, rendah, ikim basah dan jarang hujan pun juga masih dapat tumbuh.

Srikaya berkhasiat untuk melawan parasit cacing dalam usus manusia. Karenanya sangat baik bagi anak kecil dan orang tua.

Cara makan srikaya new varietas adalah dengan mengiris buah terlebih dahulu, kemudian mengupas kulit luar, hampir sama saat kita mengupas sirsak matang. Sementara srikaya merah, memilki tekstur warna merah dalam lapisan daging yang melekat pada dinding dalam kulit yang juga bisa di makan. Caranya belah pakai tangan srikaya itu, dan makan paling efektif dengan di-sendok.
Hama Srikaya yang saya perhatikan adalah ulat cokelat kecil yang mengebor buah Srikaya semenjak pentil. Biar pun begitu, Srikaya tanaman saya tidak pernah saya semprot pestisida apapun, jadi kalau ada ulat yang ngebor ya saya biarin saja. Ada Srikaya yang sampai matang pohon dibor oleh ulat itu tapi anehnya ulat itu tak bisa makan dagingnya, ini sudah sering saya perhatikan. Ulat tersebut hanya makan di lapisan luar kulit Srkikaya yang tebal. Sepertinya ada zat dalam daging buah Srikaya yang diemohi ulat.

Selian ulat cokelat kecil ini ada lagi hama cabuk putih atau kutu putih yang lazim ada di sela-sela lipatan kulit luar Srikaya. Inipun  tak sampai merangsek ke dalam buah, hanya menempel di luarnya saja.

Selama berkebun, saya tidak pernah menyemprot pestisida dengan pestisida. Karena saya perhatikan jika cuaca Bogor sedang panas, cabuk putih berkurang sendiri. Untungnya masih banyak musuh alami hama-hama ini, saya perhatikan kepik lady bug, capung (dragon fly), semut, dan burung-burung berparuh runcing panjang berkeliaran di sekitar tanaman Srikaya. Ya biarlah satwa itu saling makan-memakan. (*)

Minggu, 15 Januari 2012

Akar Eksistensi Citizen Journalism


Kerap kali orang bertanya mengapa sih ada citizen journalism? Fenomena apa ini ?, apa yang melatar belakangi munculnya citizen journalism (Jurnalisme warga). Dan ada pertanyaan yang paling telak yakni : mengapa ada orang yang susah payah mau menjadi Citizen Journalist (pewarta warga)? padahal tanpa memperoleh bayaran sedikitpun jua.
Apa alasannya?orang lalu menebak : oh mungkin hanya  ingin eksis, ingin famous, ingin terkenal.
Baiklah saudara pembaca, nafsu ingin terkenal ini memang banyak istilah gaul belakangan ini menganggap orang tersebut adalah:  sok eksis , ingin eksis,  eksis wanna be, atau malah narsis dan narcisstic. Dan  sebagian dari negasi orang yang tak paham, dikatakan :”kurang kerjaan kali...”.
Dan banyak lagi reason atau alasan yang ditujukan kepada orang-orang yang menjalankan kegiatan Citizen Journalism.
Sebenarnya begini, dalam Ilmu Komunikasi dikenal dengan adanya Teori Interaksi Simbolik atau lazimnya disebut  sebagai Symbolic Interaction Theory (SIT)  di mana penggagas teori ini adalah George Herbert Mead (1934)-gurunya Herbert Blummer, kemudian disusul oleh  Ralph La Rosa dan Donald  C Reits (1993). Dalam teori SIT ini  asumsi utamanya  dibagi dalam tiga hal  pokok y akni  :
-Pentingnya makna bagi perilaku manusia.
-Pentingnya konsep mengenai diri.
-Pentingnya hubungan antara individu dan masyarakat.
Dalam Teori Interaksi Simbolik sebagai lingkup Ilmu Komunikasi dijelaskan bahwa motif orang untuk melakukan interaksi bukan hanya didasarkan oleh keuntungan (rewards) semata, seperti halnya yang dijelaskan dalam Teori Pertukaran Sosial  atau Social Exchange Theory (SET)  oleh John Thibaut dan Harold Kelley (1959), yang menandaskan bahwa : “hubungan hanya terjadi bila terdapat adanya selisih rasional antara reward dan cost, dan level perbandingan atau  alternatif level perbandingannya.
 Namun, Mead menjelaskan bahwa interaksi dengan orang lain adalah proses bersama mencari makna (meaning) atau arti, melalui pengembangan pikiran (mind) bersama (yang terjadi saat proses komunikasi).
Dengan penjelasan Teori ini membantu kita saat mengamati secara seksama tentang fenomena Citizen Journalism, maka jelaslah secara empiris bahwa kebanyakan motif seseorang melakukan kegiatan Citizen Journalism sebagai bentuk komunikasi ini, adalah adanya suatu dorongan instingtif yang terwarisi dari sifat alamiah dasar manusia sejak manusia ada pertama kali di muka Bumi.
Dorongan ini adalah dorongan naluriah orang untuk mengabarkam sesuatu. Ini adalah primary need, bukan lagi ada di puncak piramida Maslow yakni aktualisasi diri.
Citizen Journalism kerap kali adalah dorongan manusia untuk mewartakan sesuatu (berkomunikasi) yang berguna bagi orang lain, sama halnya dorongan insting manusia untuk makan, minum dan basic need lainnya.
Basic need atau kebutuhan dasar berupa komunikasi ini, bertujuan untuk :
-Membantu komunitas (community buliding).
-Menghindarkan bencana bagi komunitas.
-Mengharapkan respon dari komunitas agar terbangun komunitas yang harmonis dengan alam.
Maka dorongan alamiah seseorang untuk mewartakan sesuatu pada orang banyak,  memang tidak perlu menunggu sesorang untuk menjadi wartawan koran/ wartawan TV yang digaji perusahaan, namun dorongan orang untuk mewartakan berita, sebuah ide,makna, atau sebuah hal, itu adalah sah, legitimate, dan naluriah belaka adanya. Kita berpengalaman bahwa sebuah rezim sekuat Orde Baru pun tak bisa mengekang orang untuk bersuara.
Kita tidak bisa menggeneralisasi bahwa orang yang melakukan kegiatan Citizen Journalism adalah orang ingin famous, ingin eksis dan ingin dikenal.
Dorongan ingin famous atau ingin dikenal ini ada pada top (puncak) piramida hierachy of need-nya Maslow.
Sedangkan dorongan ingin mewartakan sesuatu ini adalah termasuk primary need, seperti halnya bayi menangis minta makan/susu. Bayi menangis karena butuh sesuatu, ini adalah bentuk komunikasi awal manusia. Dorongan berkomunikasi dengan orang lain ini adalah pimer sifatnya.
Misalnya kita tarik  visi ke belakang sejarah, kembali pada jaman era  komunitas manusia gua, jaman Pithecantropus erectus, serta jaman Homo sapiens mula, yakni kira-kira  20.000-30.000 tahun yang lalu. -Sebenarnya saya ingin memberi iustrasi jaman manusia neanderthal, tapi spesies ini punah pada jaman es-.  Seorang caveman homo sapiens awal atau manusia gua sudah berkomunikasi dengan manusia lainnya melalui simbol,  suara dan gambar-gambar dinding yang menyebutkan akan adanya : aneka binatang liar, bahaya, dan cuaca.
Berita pertama yang disebutkan manusia gua (caveman) adalah: “ada hewan”, di mana selanjutnya direspon oleh komunitas dengan memburu hewan tersebut untuk makan satu komunitas kecil. Berita selanjutnya adalah isyarat baik gerak tubuh dan suara yang memberitakan : “ada kebakaran” atau “ada bahaya alam, salju, banjir, ancaman tanah longsor  dan lain-lain” yang segera direspon oleh kaum manusia perintis awal itu untuk menyelamatkan diri.
Jadi, semenjak  jaman manusia perintis ini selalu ada caveman yang berani keluar gua untuk memantau situasi wilayahnya dan kembali lagi ke komunitasnya, untuk mewartakan apa yang dilihatnya, yang kira-kira berguna untuk komunitas tersebut. Maka kejujuran menjadi jaminan mutlak bahwa sang pewarta ini menjadi kepercayaan masyarakatnya. Kita tentu pernah mendengar kisah : “Seorang Anak dan Serigala”, dimana dikisahkan ada anak yang berkata pada penduduk, “Ada serigala!”, namun tidak terbukti, keesokan harinya berkata lagi anak itu “Ada Serigala!” dan tidak terbukti lagi. Karena kehilangan kepecayaan dari penduduk , maka saat ketiga kalinya anak itu mewartakan “Ada Serigala !,” penduduk sudah tidak percaya, dan anak itu mati dimakan Serigala. Ini kisah dengan pesan moral yang bagus, meskipun oleh  Josef Goebbels sahabat Hitler, kemudian dikatakan bahwa : “kebohongan yang ditanamkan berulang kali adalah kebenaran”.
Tapi, biar bagaimanapun juga, namanya kebohongan apapun pasti tersingkap. Ada kisah menarik dari hikayat  Eropa tentang “Raja Telanjang dan Anak Kecil”, yang mengungkap bahwa pakaian mahal yang dipakai raja ternyata djahit oleh dua orang penipu, dikatakan oleh penipu itu bahwa benang yang dipakai menenun pakaian adalah ‘benang kebijaksanan’, jadi kalau tidak bijak, maka orang  tersebut tidak bisa melihat indahnya  pakaian itu. Raja yang takut dibilang tidak bijak, termakan olehnya. Memang ternyata adalah tidak ada pakaian sama sekali. Jadi, pada waktu Raja memamerkan pakaiannya pada rakyat (padahal tidak berpakaian), setiap orang terdiam tercekam, karena takut dihukum oleh Raja, namun seorang anak kecil dengan lugu berteriak keras di tengah keheningan rakyat yang takut,  “Heii...Raja itu telanjang!”, dan tertawalah rakyat semua.
Jadi dorongan manusia untuk melakukan kegiatan Citizen Journalism (jurnalisme warga) adalah lebih dasar dan lebih primer dari sekadar aktualisasi diri. Niat Prita Mulyasari umpamanya, dia menceritakan apa yang dialaminya, apa deritanya, adalah agar orang lain tahu dan memberikan respon terhadap apa yang dialaminya itu. Ini  sama alamiah dengan kita yang memberitakan bahwa ‘aku sakit karena sesuatu’. Maka respon orang-orang pada kita akan beragam, tapi umumnya mengarah pada satu hal yang positif yakni : ‘bertahan hidup’ .
Akar insting Citizen Journalism di manapun jua pada dasarnya adalah kembali pada untuk keinginan ‘berguna bagi masyarakat’, berguna bagi society. Rasa ingin berguna ini pada dasarnya adalah rasa keinginan untuk survive atau bertahan hidup secara sosial (bersama),- dan bukanlah prinsip indvidual : ‘gua hidup, loe mati’-, dalam sebuah community masyarakat, baik untuk keluarga, kampung, wilayah,  dan negara bangsa. (*)




 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons