Yang ingin saya kemukakan adalah; dalam pergaulan sehari-hari kini semakin banyak saja orang Jawa yang lupa Jawa-nya, bahkan malu dengan etnis ke-Jawa-an yang melekat dalam dirinya sebagai orang Jawa.
Dalam berbagai percakapan sehari-hari, saya dengar dan lihat sendiri, semakin banyak orang Jawa yang terlibat percakapan yang menjelek-jelekkan sukunya sendiri, dengan idiom-idiom bahasa yang bernuansa stereotype yakni misalkan, "oh kalau orang Jawa itu, begini, begitu, suka begini, begitu” padahal yang terlibat aktif menjelek-jelekkan suku Jawa nya, ya dialah orang Jawa itu sendiri.
Orang Jawa yang ada di Jakarta misalkan banyak terlibat percakapan yang menjelek-jelekkan ciri khas Jawa ketika bercakap cakap dengan rekan-rekannya dari etnis suku lain, hanya karena ingin diterima dalam pergaulan kantornya, pergaulan lingkungannya.
Pepatah : "Wong Jowo lali Jawane" adalah pepatah yang telah dikumandangkan nenek moyang orang Jawa, saat membaca tanda-tanda akhir jaman. Tanda-tanda akhir jaman, berarti tidak adanya lagi sopan santun orang Jawa, tak ada lagi toleransi khas Jawa dengan ditandai dengan "Wong Jowo lali Jawane”
Tentu saja hal ini amat saya sayangkan, karena selama seumur hidup ini saya selalu berusaha bersikap toleran terhadap saudara-saudara saya yang berlainan etnis. Saya mencegah diri saya untuk tidak menjelek-jelekkan etnis lain dengan idiom dan sandaran stereotype, dan saya tidak pula (apalagi) menjelek-jelekkan suku Jawa dimana saya memiliki identitas etnis, apalagi berkata buruk tentang suku Jawa hanya supaya diterima di lingkungan yang non Jawa.
Dengan jumlah 99 juta jiwa, orang Jawa tentu saja signifikan mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam bidang politik saja, ada politikus capres (calon presiden 2014) non Jawa harus berjuang setegah mati dengan iklan-iklannya agar mencitrakan dirinya sebagai orang non Jawa namun dekat dengan orang Jawa. Misalnya dalam komunikasi komodifikasi iklan bernuansa etnis, ada Capres 2014 yang beriklan dengan dialog : “Matur suwun bapak Capres”, dimana yang mengatakan matur suwun adalah orang Jawa kepada Capres 2014 yang nota bene adalah bukan dari etnis Jawa. Saya meneliti sebentar, lho kok tidak dibalik saja dialognya yakni sang Capres 2014 yang non Jawa mengatakan pada orang Jawa pemeran iklan politiknya dengan dialog :"Matur suwun poro sedulur". Jadi kenapa bukan dialog yang meletakkan diri sang Capres 2014 berterimakasih kepada etnis Jawa, dan bukan etnis Jawa yang harus berterimakasih kepada sang Capres 2014 itu. Ini kalau memang tujuan iklan itu adalah ingin mendapatkan dukungan penuh dari etnis Jawa dalam Pilpres 2014 mendatang, tapi kalau itu hanya iklan politik biasa saja tanpa meaning yang jelas, dan hanya ingin sang Capres 2014 dalam posisi diatas dan dipandang hebat oleh wong Jowo (di bawahnya), ya pakai saja dialog lama itu.
Dalam harapan sang Capres 2014 (calon presiden) itu dengan menggambarkan orang Jawa matur suwun terhadap dirinya yang non Jawa maka otomatis orang Jawa yang jumlahnya 99 juta, yang sudah berusia pemilih, mau memilih dirinya sebagai orang yang bukan Jawa sebagai presiden Indonesia. Ini adalah tetap posisi siapa di atas dan siapa di bawah dalam sebuah posisi dialog dalam komunikasi iklan politik itu. Kemudian pada tahun 2013, Sang capres ini secara unik justru mengeluarkan jurus jargon baru yakni " Jika rakyat memberi kesempatan, maka kamipun rela berbagi". Hal ini bisa diartikan jika rakyat memberi kesempatan maka sang Capres pun rela berbagi, ini adalah politik transaksional yang telanjang, dimana ada timbal balik. Jelas sekali watak niagawannya. Ya sudah, tidak apa-apa kan ini semua juga hak asasi manusia, hak asasi dia. Terserah dia saja. Toh, pada tahun 2014 sejarah membuktikan tokoh ini gagal mencapreskan diri, ditambah mendapat kritikan pedas dari dalam partainya sendiri tentang perilakunya.
Di sisi lain banyak pula iklan-iklan produk barang jasa yang juga sering menggunakan penanda dan petanda ciri-ciri Jawa dalam iklan produknya. Misalnya menggunakan bintang iklan dari Jawa, menggunakan event yang bernuansa Jawa, dan menggunakan busana atau kostum adat Jawa. Bahkan ada beberapa iklan yang menggunakan jargon bahasa Jawa. Ini semua karena memperebutkan jumlah konsumen signifikan sebanyak 99 juta orang Jawa.
Namun, sekali lagi sayangnya kini banyak orang Jawa yang tergolong mayoritas elemen bangsa Indonesia ini yang malu, bahkan tidak mau mengaku sebagai orang Jawa. Alasannya beragam, ada alasan keamanan, misalnya etnis Jawa di sebuah daerah kerap menjadi sasaran kekerasan bahkan sasaran tembak (senjata) oleh etnis lokal setempat.
Kalau begini terus maka dis-integrasi bangsa ini benar-benar di depan mata. Jumlah orang Jawa siginifikan sebanyak 40,6 % dari total populasi Indonesia sebanyak 245,613,043 jiwa orang Indonesia, yakni sejumlah 99.718.895 jiwa (dibaca sembilanpuluh sembilan koma tujuh juta jiwa).
Jika katakanlah bila terjadi pengusiran besar-besaran dari etnis pribumi terhadap pendatang yang etnis Jawa maka Indonesia akan mengalami disintegrasi bangsa. Dan menurut kacamata saya selaku pelajar ilmu komunikasi, potensi disintegrasi bangsa ini bukanlah isapan jempol, melainkan nyata adanya.
Bila dipetakan maka ada kemungkinan beberapa daerah yang berkeinginan merdeka, dan berdiri sebagai independent state. Indonesia pada dasarnya adalah NKRI. Republik kesatuan yang sistem pemerintahannya terdiri dari kawasan-kawasan propinsi yang otonom.
Potensi perpecahan dalam sebuah regional negara, baik united states mapun negara kesatuan republik (sebenarnya hanya beda istilah saja) potensi perpecahan itu tetap mungkin terjadi. Dikarenakan terutama meruncingnya masalah kesenjangan kesejahteraan ekonomi antara wilayah yang makmur, dan wilayah yang tertinggal. Perbedaan ekonomi ini bisa symptom-nya (gejalanya) berwujud perselisihan antar etnis, antar ras dan antar agama. Symptoms (gejala-gejala) ini sebenarnya bukan penyakit utama, penyakit utamanya adalah kesenjangan ekonomi dan infrastruktur yang menyolok dari pusat dan daerah.
Amerika telah selesai dan tidak ada masalah antara pusat dan daerah, bahkan di ibu kota Washington DC (district columbia) tidak ada perbedaan dalam hal kualitas ekonominya dengan states lainnya yang bukan DC. Perselisihan antara pusat federal dan daerah (states lainnya) itu sudah diselesaikan duaratus tahun lampau pada saat civil war terjadi. Kini bahkan tak soal lagi mana pusat dan daerah di Amerika. Sedang di Indonesia issue / topik kesenjangan, perbedaan, dan kualitas infrastruktur pusat dan daerah masih selalu menghantui sampai puluhan tahun ke-depan, dan -bila korupsi berlanjut- ya sampai ratusan tahun ke-depan. (*)