Perencanaan Liputan Jurnalistik merupakan hal pokok yang wajib dilakukan oleh seorang jurnalis. Ada pepatah: “Gagal merencanakan, berarti merencanakan kegagalan”. Maka dari itu, untuk mencegah kegagalan ada hal-hal pokok yang yang harus dipersiapkan oleh seorang jurnalis. Yang pertama adalah :
1. Mental
Mental mencakup niatan yang kuat untuk mencapai sesuatu. Untuk melakukan liputan seorang wartawan/jurnalis haruslah memiliki mental yang siap. Dalam arti siap segala-galanya. Kadangkala dalam melakukan liputan ada seorang jurnalis yang belum siap mentalnya, maka saat dia menunggu selama berjam- jam lamanya di depan gedung KPK (Komisi Pemberantasana Korupsi) ataupun di depan Gedung Bundar Kejaksaan Agung, maka sang jurnalis tersebut sudah merasa tidak betah dan mengeluh.
Padahal, sepanjang pengalaman penulis selaku wartawan dan mengamati kinerja rekan wartawan yang lain, diketahui hampir 70 persen pekerjaan wartawan di lakukan di lapangan. Mencari berita seringkali mengharuskan kita menunggu berjam-jam di sebuah pos liputan yang ditentukan ataupun target target liputan yang sudah direncanakan bersama oleh kantor redaksi. Contoh: Menunggu berjam-jam di depan kantor Bareskrim Mabes Polri di Jl Trunojoyo, Jakarta sudah merupakan bagian dari keseharian tugas wartawan yang mendapat pos liputan di lingkungan Mabes Polri. Menunggu di depan kantor Bareskrim pada kenyataannya selalu lebih efektif daripada hanya menunggu berita sambil duduk-duduk santai di kantor Humas Mabes Polri. Karena baik tersangka, atau pengacara yang berkaitan dengan kasus besar selalu bisa ditemui.
Contoh yang lainnya adalah saat wartawan menanti masuk serta keluarnya para tersangka yang ditangkap oleh KPK. Sudah lazim apabila KPK memeriksa tersangka hingga 12 jam lamanya. Maka selama itu pula, apabila tidak ada pergantian shift- maka seorang jurnalis harus siaga di depan kantor KPK, agar tidak kehilangan momen penting. Kemudian contoh yang masih segar dalam ingatan kita, ketika ratusan wartawan menunggu dengan “harap-harap cemas” di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), saat mantan Presiden Soeharto sedang dalam kondisi kritis, hingga akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir. Tak ayal, semua hal itu membuat wartawan selalu siaga 24 jam. Karena berita mengejutkan bisa muncul pada waktu-waktu yang “berat”, seperti tengah malam hingga menjelang dini hari. Untuk itu dengan persiapan mental sebaik- baiknya dapat mendukung pula kesiapan fisik, untuk tugas yang tak terduga.
2.Materi People trail dan Paper trail
Dalam liputan jurnalistik ada dua materi bahan yang harus dicari yakni people trail (jejak orang) atau mencari nara sumber dan paper trail (jejak data dokumen) atau mencari data pendukung.
Dalam persiapan materi ini kemudian dapat disusun pertanyaan serta bahan-bahan pendukung untuk melakukan wawancara, dan mengajukan pertanyaan kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam penanganan sebuah masalah. Hindari mencari keterangan yang “asal dapat” dari orang-orang yang kurang kompeten seperti misalnya, kepada seorang staf yang kurang berpengalaman ataupun kepada orang-orang yang memang kurang paham terhadap situasi yang sedang berkembang. Misalnya saat wartawan menunggu di KPK, tentu saja tidak mungkin menanyai kepada staf-staf biasa KPK. Carilah orang-orang kunci yang berwenang memberi informasi.
3. Persiapan tool atau alat
Persiapan wartawan kini mencakup semua gadget yang diperlukan. Dari semua kecanggihan gadget yang ada, bisa dibagi menjadi 4 (empat) jenis.
1.Recorder data : (laptop, notebook, HP, kertas catatan )
2.Recorder voice :(Cassete recorder, MP3, voice recorder HP)
3.Recorder auvi :(camera handycam, mini divi, camera advance)
4.Picture Camera : (DSLR, pocket, prosumer)
Persiapan alat ini menjadi penting, apalagi kini di lapangan 90% wartawan adalah wartawan usia muda. Baru lulus kuliah dan mendapat tugas di lapangan. Jangan meremehkan kesiapan semua gadget anda. Dan hati-hati kehilangan gadget di tempat liputan karena banyaknya wartawan yang meliput serta orang-orang yang berkerumun, serta resiko kerusakan gadget di tempat liputan yang selalu sering terjadi.
1. Mental
Mental mencakup niatan yang kuat untuk mencapai sesuatu. Untuk melakukan liputan seorang wartawan/jurnalis haruslah memiliki mental yang siap. Dalam arti siap segala-galanya. Kadangkala dalam melakukan liputan ada seorang jurnalis yang belum siap mentalnya, maka saat dia menunggu selama berjam- jam lamanya di depan gedung KPK (Komisi Pemberantasana Korupsi) ataupun di depan Gedung Bundar Kejaksaan Agung, maka sang jurnalis tersebut sudah merasa tidak betah dan mengeluh.
Padahal, sepanjang pengalaman penulis selaku wartawan dan mengamati kinerja rekan wartawan yang lain, diketahui hampir 70 persen pekerjaan wartawan di lakukan di lapangan. Mencari berita seringkali mengharuskan kita menunggu berjam-jam di sebuah pos liputan yang ditentukan ataupun target target liputan yang sudah direncanakan bersama oleh kantor redaksi. Contoh: Menunggu berjam-jam di depan kantor Bareskrim Mabes Polri di Jl Trunojoyo, Jakarta sudah merupakan bagian dari keseharian tugas wartawan yang mendapat pos liputan di lingkungan Mabes Polri. Menunggu di depan kantor Bareskrim pada kenyataannya selalu lebih efektif daripada hanya menunggu berita sambil duduk-duduk santai di kantor Humas Mabes Polri. Karena baik tersangka, atau pengacara yang berkaitan dengan kasus besar selalu bisa ditemui.
Contoh yang lainnya adalah saat wartawan menanti masuk serta keluarnya para tersangka yang ditangkap oleh KPK. Sudah lazim apabila KPK memeriksa tersangka hingga 12 jam lamanya. Maka selama itu pula, apabila tidak ada pergantian shift- maka seorang jurnalis harus siaga di depan kantor KPK, agar tidak kehilangan momen penting. Kemudian contoh yang masih segar dalam ingatan kita, ketika ratusan wartawan menunggu dengan “harap-harap cemas” di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), saat mantan Presiden Soeharto sedang dalam kondisi kritis, hingga akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir. Tak ayal, semua hal itu membuat wartawan selalu siaga 24 jam. Karena berita mengejutkan bisa muncul pada waktu-waktu yang “berat”, seperti tengah malam hingga menjelang dini hari. Untuk itu dengan persiapan mental sebaik- baiknya dapat mendukung pula kesiapan fisik, untuk tugas yang tak terduga.
2.Materi People trail dan Paper trail
Dalam liputan jurnalistik ada dua materi bahan yang harus dicari yakni people trail (jejak orang) atau mencari nara sumber dan paper trail (jejak data dokumen) atau mencari data pendukung.
Dalam persiapan materi ini kemudian dapat disusun pertanyaan serta bahan-bahan pendukung untuk melakukan wawancara, dan mengajukan pertanyaan kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam penanganan sebuah masalah. Hindari mencari keterangan yang “asal dapat” dari orang-orang yang kurang kompeten seperti misalnya, kepada seorang staf yang kurang berpengalaman ataupun kepada orang-orang yang memang kurang paham terhadap situasi yang sedang berkembang. Misalnya saat wartawan menunggu di KPK, tentu saja tidak mungkin menanyai kepada staf-staf biasa KPK. Carilah orang-orang kunci yang berwenang memberi informasi.
3. Persiapan tool atau alat
Persiapan wartawan kini mencakup semua gadget yang diperlukan. Dari semua kecanggihan gadget yang ada, bisa dibagi menjadi 4 (empat) jenis.
1.Recorder data : (laptop, notebook, HP, kertas catatan )
2.Recorder voice :(Cassete recorder, MP3, voice recorder HP)
3.Recorder auvi :(camera handycam, mini divi, camera advance)
4.Picture Camera : (DSLR, pocket, prosumer)
Persiapan alat ini menjadi penting, apalagi kini di lapangan 90% wartawan adalah wartawan usia muda. Baru lulus kuliah dan mendapat tugas di lapangan. Jangan meremehkan kesiapan semua gadget anda. Dan hati-hati kehilangan gadget di tempat liputan karena banyaknya wartawan yang meliput serta orang-orang yang berkerumun, serta resiko kerusakan gadget di tempat liputan yang selalu sering terjadi.
4. Guiding Technique
Jika akan meliput di tempat yang jauh misal luar kota atau luar negeri, maka ada persiapan-persiapan ekstra. Antara lain yang umum dilakukan adalah mendapatkan cetakan buku guide ataupun justru mendapatkan guide itu sendiri. Guide lazim diperlukan jurnalis, saat meliput di negri/ tempat asing yang rawan konflik. Biarpun tidak bisa menjamim aman 100 % dari resiko penyanderaan dan resiko lain, namun lebih baik ditemani pemandu daripada tidak sama sekali. Dengan pemandu, kendala bahasa, lokasi, dan nilai tukar uang bisa teratasi.
5. Conflict Area
Terutama untuk wartawan yang meliput konflik maka persiapan juga mencakup karakteristik kerawanan daerah (kakerda), P3K (emergency), dan mendapatkan pelatihan khusus untuk meliput di hostile area atau daerah rawan. Seringkali bahaya bisa berupa perang, kerusuhan, demontrasi, atau bahkan bencana alam semisal :tsunami, gempa bumi dan Gunung meletus. Contohnya ketika wartawan meliput kondisi siaga di Gunung Merapi, Jawa Tengah, maka karakteristik kerawanan Gunung bisa diperoleh dari pos pemantau dan hanya petugas yang profesional saja yang wajib didengar, kemudian mempersiapkan P3K guna mengantisipasi kondisi asap, -namun fatal sudah, bila terkena awan panas (wedhus gembel)- ini sama dengan mati. Beberapa wartawan asing senantiasa ingin mencapai titik terdekat dari kondisi bahaya. Namun hal ini harus pula disertai dengan akal sehat. Biarpun tidak ada yang berhak melarang seorang wartawan untuk nekat meliput hingga mendekati titik bahaya.
5. Conflict Area
Terutama untuk wartawan yang meliput konflik maka persiapan juga mencakup karakteristik kerawanan daerah (kakerda), P3K (emergency), dan mendapatkan pelatihan khusus untuk meliput di hostile area atau daerah rawan. Seringkali bahaya bisa berupa perang, kerusuhan, demontrasi, atau bahkan bencana alam semisal :tsunami, gempa bumi dan Gunung meletus. Contohnya ketika wartawan meliput kondisi siaga di Gunung Merapi, Jawa Tengah, maka karakteristik kerawanan Gunung bisa diperoleh dari pos pemantau dan hanya petugas yang profesional saja yang wajib didengar, kemudian mempersiapkan P3K guna mengantisipasi kondisi asap, -namun fatal sudah, bila terkena awan panas (wedhus gembel)- ini sama dengan mati. Beberapa wartawan asing senantiasa ingin mencapai titik terdekat dari kondisi bahaya. Namun hal ini harus pula disertai dengan akal sehat. Biarpun tidak ada yang berhak melarang seorang wartawan untuk nekat meliput hingga mendekati titik bahaya.
6. Safety
Persiapan yang keenam bagi jurnalis, yakni biasakan mencari safe passage in and out atau jalan masuk dan keluar yang cepat dan aman dalam setiap masalah. Bila kita meliput dalam sebuah gedung atau kantor maka hal tersebut bukan masalah, namun bila anda meliput sebuah kerusuhan atau konflik, maka carilah jalan masuk dan keluar yang aman dan sudah anda kenal sebelumnya. Jangan sampai terjebak pada situasi yang tidak menguntungkan. Ingat ada pepatah dalam jurnalisme yang berbunyi “Tidak ada sebuah berita yang terlampau bagus, jika wartawan harus mengorbankan nyawanya,” (BBC-Panduan Jurnalis 2001). Karena bisa-bisa wartawan itu sendiri yang menjadi bahan berita karena tewas saat meliput.
Persiapan yang keenam bagi jurnalis, yakni biasakan mencari safe passage in and out atau jalan masuk dan keluar yang cepat dan aman dalam setiap masalah. Bila kita meliput dalam sebuah gedung atau kantor maka hal tersebut bukan masalah, namun bila anda meliput sebuah kerusuhan atau konflik, maka carilah jalan masuk dan keluar yang aman dan sudah anda kenal sebelumnya. Jangan sampai terjebak pada situasi yang tidak menguntungkan. Ingat ada pepatah dalam jurnalisme yang berbunyi “Tidak ada sebuah berita yang terlampau bagus, jika wartawan harus mengorbankan nyawanya,” (BBC-Panduan Jurnalis 2001). Karena bisa-bisa wartawan itu sendiri yang menjadi bahan berita karena tewas saat meliput.
7. Life first
Jaman dahulu saking jarangnya wartawan, banyak wartawan yang nekat untuk mencari liputan hingga mengorbankan nyawa. Mengorbankan nyawa untuk karir wartawan tentu hal yang sangat glorius, heroic dan mengagumkan (amazing) bagi sejumlah perusahaan pers, karena berhasil mendidik wartawannya menjadi wartawan militan yang tak segan mengorbankan nyawa demi berita. Tapi cobalah untuk bijaksana. Lain halnya jika terkena kecelakaan namanya juga kecelakaan yang tidak bisa dihindari, lain ceritanya.
Jadi, bijaksanalah, apalagi kebanyakan wartawan lapangan di Indonesia adalah wartawan muda usia, lajang, produktif, cerdas, dan berada dalam stamina fisik yang bagus. (*)
Jaman dahulu saking jarangnya wartawan, banyak wartawan yang nekat untuk mencari liputan hingga mengorbankan nyawa. Mengorbankan nyawa untuk karir wartawan tentu hal yang sangat glorius, heroic dan mengagumkan (amazing) bagi sejumlah perusahaan pers, karena berhasil mendidik wartawannya menjadi wartawan militan yang tak segan mengorbankan nyawa demi berita. Tapi cobalah untuk bijaksana. Lain halnya jika terkena kecelakaan namanya juga kecelakaan yang tidak bisa dihindari, lain ceritanya.
Jadi, bijaksanalah, apalagi kebanyakan wartawan lapangan di Indonesia adalah wartawan muda usia, lajang, produktif, cerdas, dan berada dalam stamina fisik yang bagus. (*)
0 komentar:
Posting Komentar