Saya sependapat dengan tulisan saudara Syahreddy yang sehari-hari merupakan Kepala Biro Jambi pada sebuah Situs Berita.
Dalam tulisannya, Syahreddy membahas tentang fenomena wartawan yang hanya berbekal kartu pers namun rajin ‘keliling’ instansi baik birokrasi mapun swasta untuk mencari ‘sesuatu' yang jelas 'sesuatu' itu bukanlah berita.
Dalam tulisan saudara Syahreddy yang dimuat itu bisa dibaca bersama bahwa temuan Syahreddy menyatakan bahwa masih ada wartawan yang tidak bisa membuat karya jurnalistik, bahkan tidak punya media, namun selalu gentayangan dan meresahkan kalangan pemerintah serta kalangan swasta.
Kenapa meresahkan ?
Karena wartawan abal-abal itu memaksa meminta mulai dari kelurahan, sekolah. Wartawan abal-abal itu tak mencari berita, karena banyak dari mereka yang nulis berita saja tak bisa.
Apalagi ilmu jurnalistik. Aduh...jauh. Wartawan abal-abal tak paham dalam ilmu jurnalistik.
Menurut hemat saya, kini wartawan bukanlah era wartawan jaman dulu. Era kini adalah era konvergensi media. Wartawan, siapapun dia, hendaknya membuat karya jurnalistik yang sesuai dengan standar keilmuan jurnalistik.
Adapun menurut ketentuan Undang-undang Pers no: 40 tahun 1999, dijelaskan pada Pasal 1 ayat (1) : Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Kemudian pada Pasal 1 ayat (4) : Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Dijelaskan pula pada Pasal 7 ayat (1) : Wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Dan pada ayat (2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Ilmu jurnalistik berjenjang, ada S1, S2 bahkan sampai S3 Jurnalistik, baik itu ilmu jurnalistik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di Amerika, lulusan ilmu jurnalistik sangat dihargai, karena kapasitas keilmuannya yang menjangkau ranah komersial dan ranah penelitian akademis.
Di Indonesia, era kebebasan pers barulah lebih kurang dua dasawarsa, dan ilmu jurnalistik kini haruslah menjadi tuan rumah di negeri dunia media massa nasional.
Di luar negeri, media massa sudah lebih menghargai lulusan ilmu jurnalistik untuk menduduki posisi-posisi penting dan strategis, karena memang kompetensi keilmuan jurnalistik yang tidak sekadar '5W dan 1H' saja, namun lebih dari itu adalah analisa mendalam kerhadap konstruksi karya jurnalistik baik melalui discourse analysis maupun reality construction base on journalism.
Ilmu jurnalistik hendanya tidak dipelajari secara main-main. Karena jika mahasiswa Ilmu Jurnalistik benar-benar membaca semua buku Jurnalistik pegangannya, serta menerapkan semua metodologinya, maka dia akan mudah diterima dalam masyarakat kapitalisme media.
Pun, jika lulusan jurnalistik ingin berdiri sendiri sebagai Solo Journalist maka kemungkinan itu selalu ada bagi para wartawan yang memang memiliki disiplin ilmunya.
Jadi segala disiplin ilmu apapun ilmu itu, patutlah dihormati dan dihargai. Dari segi mana dihargainya ? yakni dari segi kompetensi lulusannya, dari kompetensi sarjana keilmuan itu sendiri. (*)
(Oleh : Mung Pujanarko,S.Sos, M.I.Kom alumnus magister ilmu komunikasi kekhususan bidang jurnalistik IISIP, Dewan Redaksi https://pewarta-indonesia.com/)
1 komentar:
he he hee.... kalo di daerah, wartawan yg tidak bisa menulis dan kerjaannya keliling instansi pemerintah maupun swasta jumlahnya banyak pak, justru lebih banyak wartawan seperti itu daripada wartawan yg sejati... makanya para insan pers yg duduk di kantor redaksi jgn begitu mudah memberikan kartu pers terhadap calon wartawan apabila ianya belum teruji benar kemampuan jurnalistiknya dan pemahaman terhadap kode etik jurnalistik...
Posting Komentar