Tulisan ini merupakan ide (hasil olah pikir) saya mengenai adanya fenomena pesan dalam ranah komunikasi politik yang kerap disalah-artikan oleh publik sebagai receiver (penerima) pesan, sehingga terjadi : Refraksi Pesan Komunikasi Politik
Refraksi (Refraction) |
Saya analogikan sebagai peristiwa dalam pembiasan sebuah pensil yang dimasukkan air dalam gelas sehingga terlihat pensil itu bengkok. Peristiwa pembiasan atau refraksi (refraction) ini dikarenakan adanya benda dari intensitas kerapatan medium rendah masuk ke dalam intensitas kerapatan tinggi maka benda tersebut terlihat mengalami pembiasan. Hal ini dijelaskan dalam hukum ke-II Snellius berbunyi “ Jika sinar datang dari medium kurang rapat ke medium lebih rapat (misalnya: dari udara ke air atau dari udara ke kaca), maka sinar dibelokkan mendekati garis normal. Jika sebaliknya, sinar datang dari medium lebih rapat ke medium kurang rapat maka sinar di belokkan menjauhi garis normal".
Dalam analogi refraksi pesan pada Komunikasi Politik saya contohkan kasus adanya seorang pemimpin majelis tinggi parpol (High Court Party) yang mengomunikasikan politik kepada publik dengan mengambil alih pimpinan sebuah partai politik dari tangan ketua umum. Sementara sang ketua umum tetap menjabat sebagai ketua umum, namun tupoksi sang ketua umum beralih kepada pemimpin majelis tinggi partai (high court party) ini.
Dalam analogi refraksi pesan pada Komunikasi Politik saya contohkan kasus adanya seorang pemimpin majelis tinggi parpol (High Court Party) yang mengomunikasikan politik kepada publik dengan mengambil alih pimpinan sebuah partai politik dari tangan ketua umum. Sementara sang ketua umum tetap menjabat sebagai ketua umum, namun tupoksi sang ketua umum beralih kepada pemimpin majelis tinggi partai (high court party) ini.
Dalam analogi refraksi pesan, pesan (message) adalah pensil yakni : pesan dari kalangan elite politik yang menggunakan segala bahasa komunikasi politik, dari lingkungan yang analoginya adalah elit partai atau segelintir elit partai (kerapatan rendah) dan masuk ke dalam air - analoginya sebagai publik, massa - karena memiliki kerapatan yang jauh lebih tinggi.
Terjadi refraksi (pembiasan) pesan karena publik awam melihat bahwa pensil (message) ini telah bengkok (refraksi) akibat kesulitan kalangan awam untuk mencerna (decode) apa maksudnya ada dua pemimpin utama dalam satu partai (kelompok) ? Penduduk desa kan tahunya kepala desa cuma satu.
Refraksi dalam pesan politik acapkali terjadi karena pihak pengirim pesan tidak secara terang-terangan mengungkapkan apa maksudnya. Sampai beberapa waktu lamanya, publik hanya bisa menebak-nebak, apakah bertujuan sedang menyelamatkan partai ?, menyelamatkan orang-orang tertentu ?, atau justru menyelamatkan sang ketua umum non aktif yang sedang terindikasi terlibat masalah korupsi ? Politik, jika ingin publik mendukung (sebaiknya) dikomunikasikan secara jelas, karena publik tahunya politik itu siasat demi siasat. Dan sejak jaman Majapahit, publik tahunya politik itu muslihat demi muslihat yang lihay. “Minteri orang,” kata orang desa. Pintar dan 'memintari' bagi orang desa itu lain artinya.
Refraksi sering ditangkap oleh publik selaku awam, bahkan awam sekali karena tingkat pendidikan yang sangat rendah. Publik di tingkat amat bawah (jurang massa) tepat pada tingkat bottom atau dasar sekali, mayoritas sedikit sekali pemahamannya pada politik. Publik hanya tahu kalau ada oknum-oknum di partai politik tertentu yang terlibat bahkan divonis korupsi. Dan, karena kasusnya terlanjur jelas bagi publik, maka komunikasi politik pada publik juga (sebaiknya jelas), agar publik mengerti.
Publik adalah simpel, kalau pesan tidak simpel, berbelit-belit sulit dimengerti, pakai majas eufimisme, misal pakai istilah ‘konspirasi’ dll, segala macam istilah yang sulit-sulit, istilah-istilah strata akademik yang hanya biasa dalam ranah akademik, dan tak bisa ditebak publik (sebaiknya jangan) dikomunikasikan pada publik. Kalau toh tetap dipaksakan untuk menimbulkan refraksi pesan, ya... itu bisa dianggap sebagai Hak Asasi Manusia pelaku komunikasi politik. (*)
Oleh : Mung Pujanarko
Pudek III FIKOM Universitas Jayabaya
0 komentar:
Posting Komentar