cari kata

Selasa, 20 Maret 2012

Menulis Jangan Menunggu Mood


Guna melatih skill menulis artikel, kepada mahasiswa jurusan jurnalistik di mana saya mengajar  telah saya tugaskan untuk membuat tulisan sebagai karya jurnalistik. Karya jurnalistik ini harus dipublikasikan, dan saya sarankan yang paling cepat adalah mempublikasikannya di Blog. Hasilnya hari ini ada 3 mahasiswa dari 16 jumlah mahasiswa dalam satu kelas yang telah membuat blog.
“Tulisannya masih satu pak, engga apa-apa kan pak?” tanya Dwi (20) mahasiswa saya yang telah menaikkan tulisannya tentang olah raga skateboard di blognya.
Saya sungguh mengapresiasi upaya mahasiswa untuk mulai membuat artikel dan mempublikasikan di blog. Artikel yang yang tugaskan pada para mahasiswa jurusan jurnalistik ini adalah artikel bebas bersyarat.  Syaratnya :
1. Aktual
2.Faktual
3.Menarik
4. Ditulis dalam kaidah jurnalistik.
Aktual berarti ada batasan bahwa artikel itu harus apa yang dilihat oleh mahasiswa itu, dan bukan saduran atau dari mekanisme ‘katanya’.
Faktual artinya artikel yang ditulis adalah berupa artikel yang benar-benar terjadi apa adanya, dan bukan fiksi.   Sedangkan menarik artinya topik yang diangkat bebas dan meskipun sederhana, namun menarik untuk dibaca.

   Dari melihat cara mahasiswa menulis, problem menulis yang dialami oleh mahasiswa adalah yang pertama; tidak mood, kedua ; tulisan berhenti di tengah jalan, artinya macet di tengah jalinan peristiwa/kisah yang ditulis dan sekaligus unable to continue  atau tak bisa menyelesaikan hingga kisah story itu closing.
Problema menulis yang selanjutnya adalah kesulitan fokus dalam disiplin plot-paragraf. Ide dalam paragraf sering loncat-loncat, ini pertanda sulit berpikir kronologis.
Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini mahasiswa jurnalistik saya sarankan harus memiliki disiplin menulis yang baik.
Disiplin menulis adalah biasakan menulis mulai dari judul, kemudian disusul menyusun kalimat opening yang membuka tulisan, isi tulisan yang terjalin dengan opening dan closing tulisan.
Saya menekankan pada para mahasiswa jurnalistik agar paragraf pertama adalah merupakan tiang pancang dari isi tulisan. Jadi opening (kalimat pembuka tulisan) tidak boleh dihapus di tengah sedang mengetik menyelesaikan body/tubuh  tulisan. Disiplin paragraf pertama ini sangat berguna bagi kita untuk  menyelesaikan tulisan secara cepat dan tepat. Dan jangan takut/khawatir mati gaya dalam menulis, yang penting kisahkan seperti apa yang anda alami sendiri. Jadi disiplin menulis tidak perlu menunggu mood dalam menulis karya jurnalistik. (*)

Minggu, 18 Maret 2012

Jambu Bol Jamaika di Pekarangan (1)

jambu jamaika dapat berukuran besar


Jambu Bol Jamaika disebut juga Jambu Dersono. Jenis Jamaika yang saya tanam di halaman cuma 1 pohon saja, karena keterbatasan lahan pekarangan rumah saya, namun tanaman Jambu Jamaika ini tidak mengecewakan, karena berbuah setiap musim sekali.
Maret 2012 ini di Bogor sedang musim hujan, dan Jambu Jamaika yang saya tanam tidak berbuah sebanyak musim panas 2011 lalu.
Satu dompolan pentil berisi 10 biji, tapi yang berhasil jadi besar cuma 1 sampai 3 buah per-dompol, yang lain rontok karena hujan. Saya engga semprot pakai macam-macam PPC, pupuknya ya cuma basic saja pada tanahnya.

Sementara ini, pada musim hujan ini, ukuran (size) buahnya sungguh besar, lebih besar dari musim hujan lalu 2011. Pada bulan Maret ini saya memetik beberapa buah yang cukup masak, dan ukuran besarnya mengesankan buat saya. Rasa buah Jambu Jamaika ini kebetulan manis, dan berair. Kalau warnaya merah tua cenderung gelap maka rasanya pun makin manis.

Meski buah pertama pada musim hujan ini banyak yang rontok, namun saya melihat pohon Jambu ini pentil bakal bunganya muncul lagi, bahkan sampai ke atas cabang.

Bunga Jambu Jamaika bentuknya indah dengan warna merah yang merekah.

Hama yang sesekali muncul adalah kutu daun yang membuat benjol pada daun muda, kemudian ulat pengebor batang pohon. Cara untuk mengenyahkannya adalah untuk daun-daun yang sudah benjol, petik dan buang, dan untuk lubang ulat di pohon adalah dengan celup pakai minyak tanah pada kapas atau kain kecil, kemudian sumpalkan pada lubang yang ada di pohon Jambu Jamaika.

Pekarangan saya memang saya tanami dengan beberapa tanaman buah kesukaan saya, yang sekiranya saya sulit dapat di pasar buah Bogor, seperti Srikaya New Varietas, Srikaya Merah, sedangkan khusus untuk Srikaya lokal yang sangat saya gemari (mengingat saya asal Surabaya) saya bariskan sepanjang pinggir halaman  dalam.

Bogor amat kaya dengan aneka jenis buah, dan yang biasa kita lihat di pinggir jalan, di pasar tradisional dan supermarket,  adalah hampir semua jenis buah lokal dan import, tapi Srikaya yang 'happening' buat saya, sulit saya cari di pasar Bogor, ini mungkin karena Srikaya jarang orang yang suka karena bijinya banyak, dan cara makannya yang sulit.

Dan yang baru saja berbuah di pekarangan saya, dengan letak agak berdekatan dengan pohon Jambu Jamaika, adalah Pisang Varigata (Musa varigata). Pisang Varigata ini juga kapan kapan akan saya naikkan di blog saya ini, karena bentuknya yang unik dengan warna daunnya yang belang putih hijau.
Uniknya, warna buahnya juga berwarna belang garis putih-hijau. Untuk pisang varigata ini pembaca bisa  mencari di google dengan ketik : pisang varigata maka akan muncul beberapa gambar tentang pisang varigata. (*)

(note : terimakasih untuk blog http://idesubagyo.blospot.com, bapak Ir Subagyo, M.Sc di Surabaya sering saya mintai advis via email di  : subagyo.surabaya@gmail.com, dan beliau selalu menjawab pertanyaan saya, sebodoh apapun pertanyaan saya tentang tanaman.

Senin, 12 Maret 2012

Media Blog Mahasiswa untuk Karya Jurnalistik

Mahasiswa saya sedang mengikuti perkuliahan di kampus

Di jaman informasi dan teknologi yang berkembang seperti sekarang ini, malu rasanya bila kaum intelektual muda tidak bisa untuk mengakses teknologi dan media informasi di dalam ranah new media.
Mahasiswa contohnya, sebagai intelektual muda, ternyata banyak mahasiswa yang tidak (mau) memiliki blog. Alih-alih nge-blog, para mahasiswa ini -seperti halnya adik-adiknya di SMP dan di SMU-, lebih memilih beraktivitas di dunia media pergaulan sosial yang lebih mudah dan tanpa ribet, seperti halnya di facebook dan twitter.

Dari sebanyak 16 mahasiswa jurusan jurnalistik yang saya tanya, ternyata hanya seorang saja (6,25%) yang membuktikan kalau dia punya blog, tapi blognya ini juga belum diisi baik foto atau tulisan, "Bingung pak mau diisi apa ?" ujar Kurniawan (20) seorang mahasiswa saya yang sudah membuat blog.

Sementara ke-15 temannya yang lain (93,75%) belum ada yang mau membuat blog. "Waduh", kata saya kepada para mahasiswa ini, "Di Blog kan anda-anda semua bisa menuangkan artikel, bahkan news dan feature yang selama ini anda pelajari di kampus,"
 "Enakan fb dan twit pak, langsung dapat respon," timpal anak-anak mahasiswa.
"Iya benar kalau enaknya, ya jelas enak  yang ga' susah-susah kan?, tapi anda-anda semua harus mampu menunjukkan karya jurnalistik anda yang telah anda publikasikan," jawab saya.

 Karya jurnalistik bukan hanya dipelajari secara teoritis namun juga harus dipraktekan, jadi saya tugaskan kepada para mahasiswa ini untuk membuat karya jurnalistiknya di media-media yang bisa dipublikasikan secara mandiri. Karya jurnalistik adalah berupa : news, feature, artikel, gambar, audio, audio video (auvi). Dan wajib hukumnya bagi mahasiswa jurnalistik untuk dapat membuat karya-karya jurnalistik di atas.

Tentunya amat disayangkan, kalau kemampuan menullis para mahasiswa, tidak terasah. Karena terlalu asyik dengan chatting saja, serta curhat-curhatan saja.

Kalau dilatih secara intens, mahasiswa akan terbiasa membuat karya jurnalistik

Menulis artikel di blog memang cukup sulit dirasakan, karena harus berpikir mencari tema, membuat judul dan merangkai kata serta kalimat untuk menuangkan ide tulisan artikel ke dalam blog.

Mahasiswa  kebanyakan cenderung bergaya hidup santai, dan cenderung enggan untuk membuat karya tulis meskipun itu hanyalah sebuah artikel ringan.

Untuk melatih kemampuan mahasiswa dalam menulis artikel, maka saya menyarankan agar media blog harus pula dimanfaatkan sebagai ranah new media untuk menyalurkan latihan menulis.

Sebenarnya menulis bukanlah kegiatan yang berat, karena menulis adalah menuangkan kembali apa yang kita lihat, kita dengar dan kita rasakan ke dalam sebuah wadah. Karena jaman ini adalah jaman new media, maka menulislah artikel untuk latihan membuat karya jurnalistik. Untuk itu bagi mahasiswa terutama mahasiswa ilmu jurnalistik disarankan agar memiliki blog sendiri sebagai wahana penyaluran karya jurnalistiknya. (*)

Selasa, 06 Maret 2012

CJ dan SoJo

    CJ (Citizen Journalist) dan SoJo (Solo Journalist) keduanya adalah saudara kandung dalam ranah new media. Yang dinamakan 'New Media' adalah media saluran informasi yang tergolong baru karena menggunakan teknologi informasi (TI) yang berkembang seiring kemajuan jaman. Pakar komunikasi Douglas Kellner dan James Bohman menyatakan bahwa media baru, terutama internet, memberikan potensi untuk ruang publik demokratis postmodern, di mana warga negara dapat berpartisipasi dalam perdebatan baik informasi, non-hirarkis berkaitan dengan struktur sosial mereka.
Media massa lama (Old Media) dikenal sebagai media massa yang menggunakan mesin cetak atau mesin press yang telah ditemukan pada bentuk pencetakan yang sangat sederhana telah dibuat di Cina pada pencetakan Kitab Sutra Intan yang saat ini tersimpan di British Library, karya block printing ini dicetak pada tahun ke-9 Dinasti Tang Xiantong (868 SM), dan berkembang lagi sekitar tahun 175 Masehi di Cina dan Korea. Tampilan yang terbalik di atas kayu, dan kemudian perunggu telah dibuat di tahun ini. Alat ini kemudian dibubuhi tinta kemudian ditempatkan di atas secarik kertas dan digosok dengan lembut menggunakan sebuah tongkat bambu. Kemudian sekitar tahun 1440 Johannes Gutenberg dari kota Mainz, Jerman membuat mesin cetak di Eropa.
Sementara New Media meliputi media yang menggunakan ranah internet.
Tapi semua media kini tidak mau dinamakan media lama, dan ada televisi, radio, majalah, koran dan tabloid yang mengusung pula jargon sebagai ‘new media’. Kalau maksudnya mengusung informasi yang selalu up date, ini sebenarnya adalah sifat news itu sendiri yang memang selalu baru dan diperbarui. Tapi kalau menyangkut definisi, televisi, radio, majalah, dan koran konvensional termasuk old media.
Citizen Journalist dan Solo Journalist adalah dua predikat yang sedang hangat dibicarakan di dalam dunia Ilmu Jurnalistik. Karena dua predikat ini menawarkan kemandirian, independensi, dan kebebasan untuk menyuarakan news seperti apa adanya, tanpa adanya embel-embel policy grup media. Misalnya : seorang CJ atau SoJo dapat menyuarakan kepentingan publik sebuah komunitas yang sumber air di desanya disedot habis oleh perusahaan air minum komersial, tanpa takut perusahaan air minum komersial itu tidak beriklan di medianya.
Karena itu media bagi CJ dan SoJo boleh menggunakan blog-blog pribadi dan dotcom milik personal. Ada beberapa pendapat orang yang mengatakan bahwa blog bukanlah media jurnalistik. Dalam ilmu sosial jurnalistik, yang dinamakan channel atau saluran itu sifatnya adalah luas. Media tempat berbagi news bisa berupa apa saja, karena sejarah jurnalistik sendiri berasal dari bahasa latin Diurnarii yang berarti:  "orang-orang yang mencatat Acta Diurna" atau pengumuman warta Senat Romawi yang dipahat dalam 'acta' yang bisa berbentuk lempengan marmer. Kemunculan Diurnarii pertama ada pada jaman Romawi kuno, 800 (delapan ratus) tahun sebelum Masehi. Sejarawan Hendrik van Loon dalam bukunya yang terkenal ‘The History of Mankind’ -saya punya terbitan tahun pertama aslinya tahun 1926-, mengungkapkan bahwa media tulisan sudah ditemukan jauh sebelum para Diurnarii bekerja untuk masyarakat Romawi. Catatan warta kuno sudah dibuat manusia  4000 (empat ribu) tahun sebelum Masehi, ketika Bangsa  Mesir kuno menemukan tulisan hieroglyph (hieroglyphic) yang ditorehkan di batu dan di papyrus. Kemudian tradisi mencatat ini diteruskan oleh kebudayaan Mesopotamia 2000 (dua ribu) tahun sebelum Masehi.
Jadi blog yang kini ada adalah perkembangan dari hyeroglyph, perkembangan dari acta diurna di Romawi, perkembangan dari prasasti di India dan Nusantara, juga perkembangan dari keropak-keropak kuno dan perkamen-perkamen serta naskah-naskah dalam kulit kambing, kulit unta, naskah dalam papyrus, naskah digores pada tulang, kulit pohon daun lontar dan sebagainya. Pada intinya blog di ranah internet adalah termasuk  : media.
Untuk disebut sebagai jurnalis tentu saja blogger tidak seketika disebut jurnalis, artinya tidak semua blogger bisa mendapat predikat jurnalis, namun ada blogger yang bisa disebut sebagai jurnalis. Blogger yang tidak dapat disebut sebagai jurnalis adalah blogger yang tidak memenuhi kaidah ilmu jurnalistik itu sendiri, karena pada pengertian dasarnya, jurnal yakni : catatan kronologis berisi informasi yang diterbitkan secara berkala. Jurnal bisa terbit berkala dalam hitungan detik (second), menit (minute), jam (hour), hari (daily) minggu (weekly), bulanan (monthly) dan tahunan (annualy).
Jadi bila seorang blogger tidak memenuhi standar penerbitan jurnal itu sendiri, maka blogger itu adalah disebut sebagai pengisi ruang blog atau disebut blogger saja.
Jika blogger tadi telah dapat merapikan kronologi penerbitan catatan jurnalnya (jurnal bisa berbentuk : news, feature, artikel, informasi auvi) secara teratur dan berkala, plus memahami teknik dasar jurnalistik dan memahami semua kaidah jurnalisme, termasuk elemen jurnalisme, maka blogger tadi dapat mendapat predikat sebagai seorang jurnalis.
Kita jangan rancu dengan sebutan atau predikat, jika disebut jurnalis lalu harus tergabung dalam media besar. Tidak seperti itu, analoginya seorang pedagang tidak perlu tergabung dalam perusahaan besar, seorang pedagang kecil disebut pula pedagang. Pengemudi tidak perlu punya mobil, semua orang yang megemudikan kendaraan disebut pengemudi (driver)
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia jurnalis adalah : “orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat dalam surat kabar, majalah, radio, dan televisi; juru warta; jurnalis; (nomina).”
Dalam kamus besar ini, blog dan media dotcom belum termasuk, karena kamus besar tadi dicetak sebelum marak kemunculan media dotcom sebagai media news dan media blog, apalagi jejaring sosial seperti twitter dan facebook, dan ada (banyak) orang yang menganggap bahwa ilmu sosial seperti ilmu eksakta, ngotot mempertahankan pengertian ini tanpa mau adanya change sebagai semangat perubahan.
Karena itu itulah istilah pewarta amatlah tepat bagi CJ, karena untuk citizen journalist atau CJ menjadi terjemahan pewarta warga, karena pewarta adalah orang yang mewartakan melalui media apa saja.
Banyak orang yang waktunya habis untuk berdebat, tentang kategori-kategori predikat dan subyek, misalnya : “lalu pewarta itu jurnalis atau bukan?”.  Jawabnya jelas hakekatnya sama saja, karena jurnalis dan pewarta sama-sama  mewartakan. Kalau ditulis, tidak diwartakan, nah itu namanya baru penulis diary pribadi.
Antara SoJo dan CJ sama-sama bergerak bukan dari ranah mainstream media atau media besar yang dimiliki oleh Media Mogul, atau saya sebut sebagai Media Shogun dan Media Daimyo, ini istilah untuk Tuan Besar Media.
CJ dan SoJo mewakili alternatif orang untuk menjadi jurnalis. Di Indonesa CJ dan SoJo tentu saja masih dipandang unik, dan oleh kawan-kawan wartawan reguler yang digaji oleh para Tuan Besar Media (Media Mogul) CJ dan SoJo, bahkan tidak dianggap sebagai rekan sesama jurnalis dalam pergaulan antar wartawan.
Hal ini dapat dimaklumi karena perkumpulan wartawan di Indonesia bersifat parsial, ada perkumpulan wartawan, di mana wartawannya adalah digaji oleh media mainstream, ada pula perkumpulan pewarta warga. Ini semua adalah dinamika dalam dunia jurnalistik.
Sebuah dinamika yang berlaku wajar akibat dari perkembangan dunia jurnalistik dan dunia komunikasi itu sendiri. Jadi kalau orang itu ingin bergaul, maka jangankan dengan rekan sesama peliputan berita di lapangan, dengan nara sumber siapa saja dan dengan orang macam apa saja orang itu mau bergaul, tapi kalau seorang sudah membatasi diri bergaul hanya dengan kelompoknya dan meminta kelompoknya hanya bergaul dengan orang macam dia, maka orang tadi bersifat ‘ekslusive non egalitarian’.
Banyak dinamika terjadi di lapangan peliputan berita, misalnya saja, ada seorang pewarta warga yang ikut jumpa pers, boleh tidak? Jawabnya : pada hakekatnya undangan jumpa pers terserah pada pihak yang mengundang mau mengundang siapa, bukan terserah pada yang tamu yang diundang. Artinya, pengundang boleh mengundang siapa saja yang hendak diundang.
Tapi jika sebuah lembaga publik mengeluarkan pengumuman untuk publik, maka pewarta warga, (CJ), SoJo,  dan wartawan reguler di lapangan, semuanya berhak untuk meliput seperti yang diatur oleh UU KIP (Undang-undang Keterbukaan Publik), terutama :
Pasal 2
(1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.
(2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
(3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
(4) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan UndangUndang,kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindung kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan
pengelolaan Badan Publik yang baik;
d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien,
akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk
menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Jadi tidak perlu seorang wartawan reguler yang digaji oleh Tuan Besar Media (Media Mogul) kemudian mengusir seorang pewarta warga  (CJ) dan SoJo yang tidak digaji oleh Media Mogul dalam sebuah jumpa pers yang dilaksanakan oleh lembaga publik.
Karena ada aturan UU KIP diatas. Juga diatasnya UU KIP, ada Pasal 28F UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI, yang seharusnya diketahui oleh semua jurnalis baik jurnalis yang digaji oleh Media Mogul dalam media yang disebut mainstream ataupun CJ dan SoJo sebagai pengisi New Media.
Selanjutnya saya ucapkan selamat berkarya bagi CJ, SoJo dan para jurnalis sekalian. (*)
Oleh Mung Pujanako : Dosen Ilmu Jurnalistik FIKOM Jayabaya Jakarta, & Unida Bogor.

Topik Tulisan untuk Pewarta Warga

Mencermati perkembangan akhir-akhir ini fenomena citizen journalism (jurnalisme warga) yang diharapkan dapat menjadi suara warga yang alami, dan mengembang di awal era reformasi, jangan sampai kemudian mengempis hanya karena terus dibayangi ketidakpahaman akan UU ITE (Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik).
Memang dalam ITE ini terutama bunyi Pasal 27 ayat 1, 2, 3 dan 4 :
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atauDokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Dimana ketentuan pidananya termuat dalam pasal 45 adalah :
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Maka hal ini harus diperhatikan benar bagi penggiat aktivitas media sosial dan pewarta warga yang aktif menulis dan mengunggah berita di internet, karena ranah media elektronik internet adalah salah satu wahana kebebasan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menulis topik apapun seperti : berita, feature, bahkan curhat seperti apa yang dilakukan oleh Pritta Mulyasari melalui curhatnya, namun mengapa curhat tersebut bisa dibidik serta ditembak dengan UU ITE sehingga berimbas Prita pernah masuk bui, masuk hotel prodeo.
Sebenarnya ‘kecelakaan’ penulisan jurnalistik seperti yang dialami Pritta dapat dihindarkan oleh pewarta warga jika kita sebagai pewarta warga memahami rambu-rambu yang sudah ada. Rambu-rambu itu diantaranya adalah Kode Etik Pewarta Warga, UU ITE dan UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Apalagi ditambah jika kita dalami benar makna jurnalisme dalam 9 elemen jurnalisme yang ditulis oleh Bill Kovach dalam bukunya 'The Element of Journalism' yakni :
Sembilan Elemen Jurnalisme (Bill Kovach) :
1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran.
2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara.
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya.
5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan.
6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi.
7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan.
8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional.
9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Jadi setelah kita pahami UU ITE dan elemen jurnalisme jangan sampai terjadi mengempisnya antusiasme warga Indonesia untuk meramaikan ranah citizen journalism, karena diharapkan para pewarta warga dapat memahami elemen jurnalisme yang dianut secara global ini.
Karena itu ada beberapa pakem yang kita mantapkan terlebih dahulu agar paham benar untuk memulai tulisan di ranah pewarta, pakem yang utama adalah memilih : Topik.
Saudara, memilih topik tulisan, haruslah direncanakan dengan matang, kita tidak bisa menulis sebuah kasus besar tanpa investigasi, tanpa wawancara dengan banyak nara sumber yang relevan, dan tanpa memahami persoalannya. Intinya : jika ingin menulis kasus besar, anda harus punya banyak alat bukti berupa : rekaman wawancara dengan para sumber valid dan relevan, foto- foto lokasi kejadian, bila perlu foto-foto tersembunyi, dan bahkan wawancara dengan sejumlah nara sumber yang enggan disebutkan namanya, agar wawasan anda terhadap kasus yang anda tulis menjadi clear, menjadi semakin jelas alur kasus itu.
Saudara, saya memberi contoh, sebuah topik skandal seperti Skandal Water Gate yang melengserkan Presiden Amerika Richard Nixon, skandal ini tidaklah terkuak jika tidak ada dua wartawan The Washington Post yang gagah berani melakukan investigasi dan menurunkan laporannya. Duet wartawan The Post (istilah bagi The Washington Post) Woodward dan Bernstein inilah, yang mampu menurunkan laporan investigative yang sangat komprehensif, sangat lengkap. Keduanya berhasil mewawancarai seorang saksi kunci yang mengindikasikan keterlibatan Presiden Nixon, saksi itu diberi nama sandi “Deep Throat”. Kedua wartawan itu memegang teguh rahasia nama sumbernya, sampai-sampai Presiden Nixon jatuh, keduanya tidak pernah dipermasalahkan. Tidak ada dalam catatan media yang menuntut atau menuding bahwa data kedua wartawan itu tidak valid. Nanti setelah 30 tahun kemudian, ternyata Deep Throat yang dimaksud itu tidak lain adalah Mark Felt yang merupakan orang kedua di Biro Penyelidik Federal (FBI) AS. Begitulah, sebuah skandal diungkapkan secara professional oleh kedua wartawan itu. Namun hal itu terjadi di ranah media massa yang lahir di negeri liberal demokrat yang sudah tua, setua 200 tahun lebih,di Amerika.
Di Indonesia yang mengenyam demokrasi selama 67 tahun, dipotong masa pemerintahan Suharto 32 tahun, jadi kira-kira tinggal separuhnya saja demokrasi yang sesungguhnya, era kebebasan pers masih dipijak secara ragu-ragu meski oleh dunia pers itu sendiri. Bagi diri saya pribadi -agar saya tidak bingung-, saya membagi Dunia Pers menjadi 2 (dua) secara tegas, yakni : Yang pertama Dunia Pers Profesional dan yang kedua adalah Dunia Pers Amatir. Dunia pers profesional adalah ada wartawan profesional reguler –pengertian profesional di sini bukan seperti dalam benak banyak orang yakni profesional sama dengan arti hebat dan jagoan-, namun profesional artinya adalah : Dibayar. Sementara Amatir di sini bukan pula seperti mind set banyak orang yakni Amatir sama dengan rendah, hina dan tidak ahli, namun dalam pengertian: Amatir adalah tidak dibayar, alias nir-upah.
Jika kategori antara pro dan amatir mewakili skill, maka siapapun juga bisa menjadi jurnalis handal asalkan telah mendapatkan pelatihan dan berpengalaman, pasti skill-nya akan meningkat (analogi dunia tinju amatir dan pro). Nah, di ranah pers amatir namun dapat berkeahlian bak jurnalis profesional inilah Citizen Journalism berkembang.
Yang memprihatinkan jika konsep citizen journalism (pewarta warga) yang telah sesuai dengan konstitusi kita berupa kebebasan berpendapat (pasal 28 F, UUD 1945), ini tidak disiram oleh semangat Warga Negara Indonesia untuk mengembangkannya, maka konsep Citizen Journalism ini bisa jadi hanya dibayangi ketakutan oleh UU ITE. Jika citizen journalism ini surut, maka dikhawatirkan era pemerinah otoritarian ala Suharto jelas kembali lagi, yakni era rezim yang tidak membuka kebebasan bersuara bagi warganya.
Kekhawatiran pewarta warga tidak perlu berlebihan untuk mulai menulis berita, jika anda memiliki topik yang menarik. Dan apalagi jika anda memiliki topik berita setingkat skandal yang serius melibatkan orang- orang yang penting pula, maka anda pun harus bersikap amatir yang berjiwa profesional, dalam arti biarpun tidak dibayar oleh siapapun juga asal anda memiliki bukti cukup, wawancara dan dokumen (bukti dalam pers ada dua yakni : hasil wawancara dan dokumen alias ‘people trail’ dan ‘paper trail’), juga bukti fisik yang menguatkan, dan bukanlah hanya sekedar asumsi belaka, bukan fitnah, kemudian anda memiliki bukti rekaman, baik audio maupun video yang valid, plus juga meminta pendapat sejumlah ahli tentang kasus yang anda tulis. Maka jika anda pun telah menulis dengan prinsip covering of both side atau telah berusaha meliput dari kedua sisi, maka topik hangat ini bisa anda tayangkan. Ini berarti kita telah siap apabila nantinya dijerat oleh UU ITE, karena bukti-bukti yang dimiliki oleh pewarta warga ini sudah sedemikian lengkapnya. Saya berpikir jika bukti sudah menancap sampai pada inti (core) dan rantai (link) yang melibatkan pelaku (person) secara kuat (significant), maka semua pihak yang terlibatpun akan merasa gamang jika sampai kasus ini dibuka di pengadilan secara umum melalui pintu UU- ITE.
Begitulah, karena kita harus pahami UU ITE  bagi pewarta warga, jika anda para calon pewarta warga maupun pewarta warga masih belum mampu menulis topik berat dan bernuansa berita besar sekaliber skandal politik nasional. Maka mulailah saja dengan topik yang paling membahagiakan diri anda dan orang lain, yakni orang yang anda liput, dan masyarakat yang membaca liputan anda. Seperti yang dilakukan oleh wartawan senior Bondan Winarno dalam ‘Wisata Kuliner’. Membahagiakan semuanya, yang punya warung senang, media senang, iklan ‘berenang’, dan pemirsa yang melihat juga cukup kenyang.
Namun jika selera anda keras dan berita anda seperti music heavy metal, keras dan membuat sakit telinga orang yang terlibat, maka chord atau nada anda harus pas, dalam arti sekali lagi bukti harus valid, relevan dan mampu menjadi alat bukti di pengadilan.
Ingat, slogan bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’ dibuat bukan untuk menakut-nakuti tapi harusnya menjadi penerang jiwa yang sadar bahwa argumentasi berdasar kebenaran, keadilan dan akal sehat harus maju dan ditampilkan di muka pengadilan, guna melawan argumentasi dan penafsiran hukum dari pihak yang bersalah dan merugikan alam semesta kejujuran dan kebenaran. Saya yakin Tuhan Yang Maha Esa tidaklah tidur, dan orang yang curang pasti akan masuk jurang.

(Oleh : Mung Pujanarko, saat ini staf pengajar di FISIKOM UNIDA, FIKOM Jayabaya, mantan wartawan SURYA Surabaya dan redaktur Duta Masyarakat)

Selasa, 28 Februari 2012

Manajemen Media Massa (2)

Jika kita menelaah serta membaca buku-buku tentang manajemen media massa dan jurnal-jurnal ilmiah terutama yang berskala Internasional, maka belajar manajemen media massa sangat mengasyikkan. Jurnal-jurnal ilmiah yang menganalisa dan meneliti  serta memelototi tentang media  massa, datang dari berbagai penjuru dunia, mulai dari Hong Kong, Jepang, Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa dan berbagai negara yang menyumbang kajiannya dalam jurnal-jurnal ilmiah yang dapat diakses secara luas di jaringan internet ataupun perpustakaan-perpustakaan di universitas-universitas yang menyediakannya.

Para peneliti yang ribuan jumlahnya ini menyumbang sederetan analisa-analisa atas fenomena tentang media massa yang dijumpainya di negaranya masing-masing, kajian ini menyemarakkan dunia keilmuan jurnalistik. Ilmu jurnalistik dalam alur disiplinnya, sama dengan ilmu lain yang senantiasa mengikuti perkembangan jaman, dan perkembangan ilmunya masing-masing.

Dalam manajemen media massa era sekarang ini, di negara maju terutama Amerika Serikat cenderung muncul fenomena creative mass media (new media), yang menganut prinsip ‘crew cut management’  (mirip model rambut). Dulu tahun 2003 masih jamak media massa berawak raksasa artinya bukan seorang raksasa,  tapi crew-nya banyak dan terbagi menjadi departemen-departemen yang kompleks. Kini, kecenderungan yang bergulir benar-benar crew cut ‘potongannya’. Kita bisa melihat di Amerika kini berkembang bukan hanya citizen journalism, namun solo journalist seperti orang bernama Kevin Sites, seorang solo journalist.
Intinya menjual media tanpa banyak formalitas di dalam manajemen media massa itu sendiri. Yang penting kreatif, dan bukannya ‘banyak tapi kosong’ di dalam jajaran crew manajemen dan pengelola usaha medianya.
Yang beruntung adalah media massa yang sedang berkembang yang mengadaptasi sistem crew cut but strong. Strong dalam arti kreatif dan innovatif dengan tetap mengacu pada perkembangan animo khalayak (audiens). Dalam ilmu manajemen media massa -yang telah banyak dimuat dalam jurnal-jurnal internasional dan nasional serta e-book yang luar biasa banyaknya-, kekakuan (stiff) yang berangkat dari kekakuan-kekakuan pola feodalistis, hierarkis, dan sinistis, dan barrier-barrier dalam pen-jalanan/pengelolan media menjadi sepatu usang bagi perjalanan media massa. Pola-pola feodalistis dalam manajemen lazim kita temukan dalam tata kelola instansi milik pemerintah, namun amat disayangkan jika dunia media massa yang nota bene swasta juga terjadi tradisi feodalistis dalam manajemennya.

Ada grup media massa besar, yang tidak menyadari hal ini. Dan tetap melaju dengan kapal raksasa crew-nya, di mana cabang-cabang media yang untung dan yang untung amat sedikit berbaur dalam satu holding. Dan silang pendapat berbasis ego dan need of self survival  antara pejabatnya dalam kerajaan media tersebut semakin menggiringnya ke arah kekunoan bukan kekinian. Parah lagi jika sebuah media massa menjalin manajemen sektarian atau ikut sebuah kelompok kepentingan baik politik maupun ekonomi, maka orang-orang yang ada di dalamnya akan mendapat tiket 'take it or leave it'. Malangnya lagi ilmu para pejabat media itu tetap sama saja dengan saat berdirinya.

Padahal kini eranya -di sisi sosial media- marak berkembang citizen journalism/ CJ media, I-Media, We-Media, social media yang amat menghibur rakyat luas, dan di sisi sisi komersial media ada niche-niche baru yang semakin memperoleh celahnya di market media.

Bagi manajemen media yang tiba-tiba terpaksa sadar, ingin change dan meneriakkan slogan kata- ‘terobosan baru’ bisa menjadi menjebak jika hanya asal menerobos saja, tanpa bekal pengetahuan  yang cukup.
Bagi para jurnalis yang kreatif, ini keberuntungan anda, meskipun anda bukan pengusaha media, di era ini akan semakin membuka peluang anda-anda sekalian untuk memposisikan diri secara positif di dunia market media yang semakin berkembang. (*)

Oleh : Mung Pujanarko alias  Imung Pujanarko

Manajemen Media Massa

Manajemen Media Massa  memiliki satu tujuan pasti yakni menjual informasi bagi khalayak. Karena strategisnya fungsi informasi bagi masyarakat, maka usaha media massa selalu berkembang seiring dengan tumbuhnya ekonomi.

Dalam menjual informasi, ada keunikan tersendiri dalam segi manajemen media massa. Karena ini bisnis menjual informasi yang diolah dengan cara jurnalistik, maka sebaiknya yang menjadi manajer media masa adalah orang-orang jurnalistik, yakni orang-orang yang memiliki kemampuan di bidang ilmu jurnalistik secara formal.

Dalam jurusan jurnalistik telah diperkenalkan mata kuliah Manajemen Media Massa.  Di mana dalam ilmu manajemennya dicirikan bahwa ada ‘art’ atau seni dalam mengendus animo serta keinginan massa atas informasi tertentu yang ’menjual’ untuk dihadirkan ke hadapan khalayak. Dalam ilmu jurnalistik moderen, need dan want atas informasi ini bisa dipolakan, dicirikan, dan diteliti serta menjadi fokus dalam kajian jurnalistik. Hal ini berlaku bagi media apa saja baik cetak maupun elektronik.

Dalam ilmu manajemen media massa, mahasiswa jurnalistik dilatih untuk memahami jenis informasi apa yang akan dijualnya, apa target sasarannya audiensnya. Jadi bila dianalogikan; bila ada dua manajer mengurusi dua majalah yang berbeda, satu dari jurusan jurnalistik dan satu manajer lagi dari jurusan ilmu lainnya, maka pola pikirnya tentu berbeda.

Menjual media massa tidak dapat disamakan dengan menjual aneka produk barang dan jasa lain.
Menjual media massa telah dipahami benar oleh lingkup kajian ilmu jurnalistik (internasional), bahwa sensitifitas ‘hidung wartawan’ amat membantu untuk mengangkat sebuah informasi menjadi sebuah informasi yang berharga sehingga orang mau membelinya dengan cara membeli langsung atau mengkonsumsinya dengan cara melihat dan mendengar.

Iklan yang termuat dalam media yang memiliki sajian informasi yang bagus juga sudah pasti akan mendapatkan feed back berupa respon dari masyarakat yang ikut meng-indra iklan yang termuat dalam sebuah media massa. Teori-teori dalam ilmu ini masuk dalam ruang kajian ilmu Komunikasi.

Sementara untuk selain lulusan jurnalistik, manajer yang berdisiplin ilmu selain jurnalistik tentu dapat pula menjual produk medianya, tapi daya hayat untuk ilmu jurnalistiknya sudah pasti tidak selengkap oleh mereka yang berasal dari disiplin ilmu jurnalistik. Perlu diketahui, dewasa ini jurusan jurnalistik memiliki durasi belajar strata satu, (8 semester) ditambah strata dua (4 semester).

Buku-buku serta jurnal ilmiah pegangan disiplin ilmu jurnalistik kini juga berskala internasional dan nasional yang semakin berkembang keilmuannya, serta semuanya bersifat heurisme alias terus berproses dalam pengembangan ilmu.  Maka itu dalam kancah bisnis media sekarang ini seni menjual informasi diharapkan tidak mandeg. Bila ilmu manajemen media massa sebuah usaha media massa mandeg –ini seringkali karena meng-under estimate bahwa menjual media massa semua ilmu orang bisa-,  maka dapat berimbas hanya akan menjadi follower. (*)

Oleh : Mung Pujanarko alias Imung Pujanarko- pernah menjadi branch manajer media Ad-Info Bogor (2006), kemudian berhenti jadi BM, untuk belajar-mengajar ilmu jurnalistik.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons