|
Mung Pujanarko (40) bersama anaknya yang kedua Kayla Putri Maharani, siswi kelas 2 smp |
Era komunikasi modern semakin membuka peluang bagi para blogger untuk bekerja mandiri sebagai seorang Solo Journalist. Jika bukan kini atau belum saat ini, tapi pasti nanti akan menuju kepada kemungkinan bahwa seorang blogger mampu menjadi solo journalist yang mengisi celah
niche dalam pasar informasi.
Solo journalist sejatinya adalah mengasah kemampuan jurnalistik yang tidak perlu secara muluk-muluk mumpuni, karena menjadi mumpuni adalah proses panjang, namun yang dapat diterima oleh publik sebagai fakta dan data yang nyata. Karyanya bisa dibaca oleh publik sebagai karya yang informatif dan kreatif.
Jika mengikuti tegangan para pakar old journalism yang mungkin kini telah mapan duduk dalam sistem jurnalisme
mainstream yang dibayar oleh perusahaan media tempatnya bernaung, maka tentu pemahamannya sedikit berbeda. Saya menyebutnya sebagai ‘tegangan’ pendapat. Karena setiap kali saya berdiskusi dengan para pakar jurnalistik di Indonesia yang kini telah mapan duduk di struktrur perusahaan media, mereka ini selalu tegang dan berintonasi tinggi saat ‘membela’ dan beradu argument dalam memihak sistem jurnalistik yang bersistem : ‘digaji untuk memberitakan’ atau disebut pula jurnalis profesional.
Pemahaman saya, seorang Solo Journalist adalah seorang jurnalis yang bisa dan sangat mungkin untuk memproduksi karya jurnalistiknya secara gradual non regular. Yang saya maksud dengan gradual non reuler itu adalah seorang Solo Journalist dapat kapan saja mengunggah karya jurnalistiknya tanpa mengikuti mentah-mentah aturan old journalism.
Aturan old journalism adalah gradual terstrukur seperti report by minute or by hour (laporan dalam hitungan per berapa menit dan per berapa jam/ pada news dot com) report by daily (harian), weekly (mingguan), biweekly (dua mingguan), monthly (bulanan), dan annually (tahunan).
Sistem pemberitaan jurnalisme ini mengacu pada umumnya sistem kerja wartawan yang digaji. Jadi harus senantiasa berkarya secara reguler untuk memperoleh gajinya. Wartawan yang bekerja di kanal news dotcom tentu harus mengunggah berita dalam hitungan menit atau jam yang telah ditentukan oleh perusahaan, dan berita yang diunggahnya adalah bukti dirinya bekerja dan berhak mendapatkan gaji. Wartawan yang bekerja di koran harian seperti yang penah saya alami dahulu adalah membuat beritanya perhari, sekian berita per-hari, dan berita itulah sebagai absensi kita, membuktikan jika sang wartawan layak memperoleh gaji dan tunjangan prestasi utuk julah berita yang ditulisnya dan dimuat.
Di televisi yang lebih
rigid, jurnalis juga diwajibkan untuk bekerja dengan disiplin jurnalistik dalam waktu yang telah dipilih oleh kantornya untuk dilakukan oleh sang wartawan.
Sementara gradual non regular itu adalah Jurnalis memiliki kebebasan waktu untuk mengungah karya jurnalistiknya, kapan saja dia mau mengunggahnya dan memilih persitiwa yang hendak diunggahnya secara mandiri. Blogger sangat memungkinkan untuk memiilki kebebasan ini, blogger dapat dengan bebas dan kapan saja sesuai waktu yang dimilikinya menulis artikel atau berita laporannya di dalam blog-nya dan menjadi Solo Journalist bagi media blognya sendiri.
|
www.mung-pujanarko.blogspot.com sebagai salah satu media blog/dotcom yang diundang dalam salah satu acara |
Blogger sebagai solo journalist kelak adalah konsekuensi masa depan era Technology Information. Seperti halnya Citizen Journalist adalah konsekuansi logis dari demokrasi yang semakin berkembang dan era kebebasan berekspresi melalui saluran informasi.
Saya kerap mendengar para pakar berteriak bahwa kebebasan berekspresi melalui kebebasan bermedia harus dibatasi.
Saya sepakat dengan pembatasan asalkan pembatasan berinformasi ini sesuai pembatasan dalam segala jenis Undang-undang yang telah berlaku. Misalnya untuk yang bernuansa pemecah belah dan penghasutan atas SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) kemudian informasi bertendensi kriminal seperti pencemaran nama dan fitnah dan pornografi seperti yang telah diatur dalam segala UU mulai UU ITE, UU KUHP, atau UU no 40 th 1999.
Namun saya tidak sependapat jika kebebasan berekspresi melalui saluran jurnalistik dibatasi hanya milik media yang besar secara ekopol (ekonomi politik) media. Kemudian mendorong kesombongan tidak logis dari jurnalis yang digaji oleh media besar, dan jurnalis yang digaji oleh media besar ini biasanya dengan congkak mengusir jurnalis yang lebih independen, jurnalis yang berasal dari media belum ternama.
Atas fenomena ini saya sedikit paham, karena saya pernah bekerja di sebuah harian ternama di Surabaya dan Jawa Timur dan kemudian bekerja sebagai jurnalis di biro Jakarta yang memungkinkan saya bertemu dengan berbagai jurnalis dari berbagai media.
Jurnalis dari media besar kemudian biasanya menjadi congkak dan di beberapa kesempatan berani mengusir jurnalis dari media yang tak terkenal. Pengusiran ini kerap terjadi jika ada kepentingan tertentu menyangkut ala kadarnya yang diberikan. Namun jika liputan biasa saja tanpa ada embel-embel imbalan, maka pengusiran tidak terjadi. Intinya bisa jadi sebatas
primal insting rebutan
resorces.
Atas aktifitas jurnalistik yang pernah saya lakukan, saya kerap ditanyai oleh rekan sesama jurmnalis, "Mas dari media mana?" saya jawab "Saya dari www.mung-pujanarko.blogspot.com, media milik saya sendiri".
Rekan wartawan tadi menatap bingung dan curiga, "Media apa ? Kok bisa diundang? kok boleh meliput ?" Yah terpaksalah saya menjelaskan tentang pasal 28 F UUD 1945, tentang prinsip elemen journalism, tentang citizen journalist di negara maju dan kini tengah berkembang di Indonesia, tentang solo journalist, akhirnya beberapa rekan wartawan mendengarkan penjelasan saya, seperti halnya kuliah dadakan dengan durasi 2 sks.
Saya tidak menjelaskan jika saya adalah magister jurnalistik lulusan IISIP Jakarta dan juga dosen jurnalistik di sejumlah universitas, dimana para alumni mahasiswa saya juga telah menjadi jurnalis di berbagai media, juga editor dan kolumnis di www.pewarta-indonesia.com milik PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) sebuah organisasi citizen journalist/ pewarta warga yang diakui oleh NKRI. Buat apa saya menjelaskan hal yang justru membuat para rekan wartawan makin bengong?
Saya hanya memaparkan bahwa kegiatan jurnalistik mungkin dilakukan oleh orang yang telah paham ilmu jurnalistik, kegiatan jurnalistik secara solo juga mungkin dilakukan oleh seorang blogger sesuai dengan UU dan konstitusi yang berlaku.
Karena setuju atau tidak, pada hakekatnya kebebasan berekspresi adalah juga milik rakyat yang tengah belajar jurnalistik meski proses belajarnya panjang, pula milik para blogger yang semangat menulis.
Kebebasan ini memang bisa dibendung, namun bendungan itu akhirnya nantinya toh jebol juga karena air dari kebebasan indvidu ini semakin deras. Sebuah negara totaliter dapat membendung kebebasan indvidu untuk berpendapat, namun negara itu menjadi tempat yang tidak enak untuk ditinggali bagi para kreator informasi yang kreatif. (*)