cari kata

Rabu, 13 Juni 2012

Penerapan teori Komunikasi SET dalam Hubungan antar Pasangan

Dalam ilmu Komunikasi, dikenal adanya Social Exchange Theory atau SET. Teori Pertukaran Social (Social Exchange Theory) ini diperkenalkan oleh John Thibaut dan Harold Kelley (2008). Sebenarnya secara tanpa sadar antar kekasih maupun pasutri menerapkan teori SET dalam hubungan antar pribadi mereka.
    Teori  Pertukaran Sosial atau Social Exchange Theory (SET) dari John Thibaut dan Harold Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar dari hubungan sosial adalah sebagai suatu transaksi dagang, atau sebagai bentuk metafora ekonomi (Thibaut & Kelley dalam West & Turner, 2008). Di mana orang berhubungan dengan orang lain pada hakekatnya karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam teori pertukaran sosial  juga dijelaskan bagaimana kekuatan hubungan antar pribadi mampu membentuk suatu hubungan interaksi dan menghasilkan suatu usaha, untuk mencapai keseimbangan dalam hubungan tersebut.
   Thibaut dan Kelley dalam West dan Turner (2008) menyatakan sebenarnya manusia selalu menghitung antara pengorbanan (cost) yang mereka lakukan dan hasil (reward) yang akan mereka dapatkan dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam hal ini Thibaut dan Kelley  menjelaskan  ada 5 (lima) unsur yang berperan dalam SET (Social Exchange Theory) yakni :
1. Pengorbanan  (cost), dijelaskan pada hakekatnya setiap individu selalu memperhitungkan pengorbanan dalam sebuah hubunngan antar pribadi. Thibaut dan Kelly menjelaskan bahwa unsur pengorbanan  termasuk elemen negatif dalam hubungan antar individu
2. Penghargaan (reward), penghargaan yang dimaksud  adalah sebuah keuntungan dalam hubungan. Reward bisa berupa apa saja mulai dari keuntungan fisik dan non fisik. Fisik bisa berarti materi yang diperoleh dan non fisik bisa berupa dukungan, waktu dan penerimaan sosial. Thibaut dan Kelley memandang reward sebagai elemen positif.
3. Hasil akhir atau Outcome. Hasil akhir di sini adalah value (nilai) dari semua pengorbanan dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh.  Dijelaskan bahwa setalah individu memperoleh outcome dari sebuah hubungan, maka bisa dipertimbangkan apakah hubungan ini diteruskan atau ditinggalkan.
4. Level Perbandingan (Comparison Level) menunjukkan adanya proses berpikir seseorang dalam memperbandingkan antara semua cost dan reward yang dia terima dalam menilai hubungan antara individu.
5. Level Perbandingan Alternatif (Comparison Level for Alternative). Disingkat (CLalt) adalah bagaimana seorang individu mengevaluasi sebuah hubungan setelah dibandingkan dengan alternative realistis dari hubungan tersebut.
   Selain itu, dalam SET dijelaskan pula oleh Thibaut dan Kelley bahwa ada 2 jenis  kekuasaan yang berlaku dalam hubungan antara individu yakni :
1. Pengendalian Nasib (Fate Control), adalah kemampuan individu untuk mengambil keputusan apakah hubungan antara individu sebaiknya diteruskan atau diputuskan.
2. Pengendalian Perilaku (Behavioral Control) yakni sebuah kekuatan untuk mengubah perilaku orang lain dan perilaku diri sendiri. Saya mencontohkan bahwa dalam setiap hubungan asmara misalnya, dari dua individu sepasang kekasih, pasti ada pihak yang merasa bisa merubah perilaku pasangannya, dan juga ada pasti adalah salah satu pihak yang ingin merubah perilakunya sendiri.
 Karena itu maka bukan hanya reward dan sacrifice saja yang terbentuk dalam sebuah hubungan asmara. Namun lebih jauh lagi sebenarnya dalam hubungan intepersonal pasangan, guna meneguhkan posisi masing-masing, terdapat elemen-elemen dalam SET yani reward, cost, outcome, comparison level dan comparison level alternative di atas.
Jalannya sebuah hubungan pasangan sejatinya adalah sebuah proses alamiah.
   Hubungan akan menjadi rumit jika masing-masing pasangan memiliki comparison level alternative yang tinggi. Adalah bisa dipastikan dalam SET bahwa jika skor masing-masing pasangan memiliki comparison level alternative yang tinggi, maka hubungan tidak akan langgeng. Bentuk tak langsung dari comparison level alternative ini adalah satunya jika salah seorang pasangan banyak menemukan substitutes, pelampiasan dan kompensasi dalam diri orang ketiga. Mudahnya menemukan pihak ketiga yang dapat dijadikan sebagai pelarian dan kompensasi, menjadikan ikatan dalam sebuah hubungan perkawinan amatlah rapuh.

 Bentuk hubungan yang dikaji dalam SET dalam sebuah hubungan pernikahan bisa menyentuh pada fenomena paranoia asmara. Paranoia asmara ini terjadi pada salah satu pasangan yang telah mengalami berulang kali kegagalan dalam membina hubungan asmara.
Traumatis asmara ini menyebabkan pengalaman mental yang menimbulkan bayangan mental negatif dalam menjalani sebuah hubungan. Ini lebih kompleks dari permukaannya. Kondisi ini jelas memerlukan perawatan ahli jiwa.
 Nilai trust yang rendah antara pasangan akan menyebabkan pasangan itu mudah bubar di tengah jalan.
Dalam tata masyarakat individualistis, adanya fenomena media sosial juga menambah adanya saluran untuk saling berkomunikasi dan menerapkan SET antar individu.
  Jejaring sosial menyalurkan need of self actualization atau kebutuhan untuk menyalurkan aktualisasi diri masing-masing sehingga social media akan mendukung pula ego individualisme seseorang. Individualisme yang dipupuk hebat dapat menghasilkan pribadi egomania.
Rendahnya self esteem pada diri salah seorang pasangan memicu berkembangnya pola SET dalam sebuah hubungan. Jika yang satu lebih bergantung pada yang lain maka jelas pihak yang lebih berkuasa akan mampu menetapkan fate control atau kontrol akan nasib pasangan.
Jangan salah, self esteem yang tinggi bukan berarti narsistik, bahkan bisa sebaliknnya jika seorang narsistik bisa menandakan bahwa dia low self esteem, artinya narsis tidak berarti pede (percaya diri) dan pede juga berarti narsis. Orang narsis bisa jadi bahkan percaya dirinya rendah, terutama dalam sebuah pola hubungan asmara. Orang yang memiliki self esteem lebih rendah akan merasakan banyak makan hati dalam sebuah hubungan asmara, lebih banyak cemburunya, lebih banyak takut ditinggalin dan lain sebagainya.
Sedangkan pihak yang self esteemnya tingggi dia akan mengendalikan hubungan, bahkan mengendalikan nasib pasangannya (fate control). “Take me or leave me” yang berarti “ambil (bertahan) dengan aku atau tinggalkan aku”, merupakan pesan dari seorang yang lebih mapan dan dominan dalam sebuah hubungan. SET terutama mengkaji bahwa dalam satu titik tertentu orang akan memiilki pilihan : akan bertahan dengan pasangan atau meninggalkannya. Jika lebih banyak cost-nya maka hubungan pasti akan berakhir tapi bila ada reward yang di dapat secara simbiosa mutualis, maka hubungan akan berlanjut.
   Untuk itu biasanya orang-orang awam menilai dari siklus 5 tahunan usia sebuah pernikahan. Karena dimungkinkan dalam lima tahun pertama terjadi penerapan SET, dan pasangan akan mulai beradaptasi dan memikirkan antara cost dan reward, serta elemen-elemen dalam SET dalam hubungan asmara mereka. (*)
 (Oleh : Mung Pujanarko)

Selasa, 12 Juni 2012

Facebook Sebagai Seni Komunikasi Kontemporer

Facebook.com merupakan salah satu media massa non struktur redaksional. Karena di dalam channel situs  media Facebook.com tidak tercantum secara jelas, struktur hierarkis redaksional seperti : Pimred, Redpel, Wartawan dan Reporter seperti halnya struktur hierarkis media massa redaksional. Facebook.com tetaplah disebut sebagai media massa saja karena fungsinya sebagai media (channel) yang menghubungkan antar massa sebagai partisipan dan khalayak.
Jadi, karena bukan media massa redaksional, di mana tak ada Pimred sebagai penanggung jawab redaksi, maka para pengguna Facebook sendirilah yang merupakan penanggung jawab dari apa yang ditulisnya. Jadi penanggung jawab content bukan pada pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, melainkan pada para pengguna Facebook itu sendiri. Orang bisa dipidanakan  jika menulis fitnah di Facebook. Jadi, media massa Facebook bukan media massa konvensional, di mana awak redaksi bisa dipidanakan jika menulis fitnah atau libel.

Facebook lebih cocok diklasifikasikan sebagai media massa kontemporer, karena muncul sesuai tuntutan jaman di era informasi global sebagai genre new media. Sedangkan media massa klasik kita mengenal beberapa jenis, diantaranya media masa cetak yakni surat kabar, majalah,koran serta media massa elektronik yakni radio televisi.
Sedangkan pengertian ‘kontemporer’ itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Kata “kontemporer” yang berasal dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu).
Karena situs Facebook.com memuat pesan yang disampaikan oleh massa atau publik, maka layak Facebook juga dikategorikan sebagai media massa seperti halnya situs kaskus.com dan situs-situs blog di internet yang pada hakekatnya adalah media (channel) massa.
Saya juga menyebut media massa Facebook sebagai seni komunikasi kontemporer, karena menyangkut beberapa aspek. Pertama dalam pengertiannya, seni kontemporer merupakan salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Jadi, seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang.

Seni kontemporer juga berarti :
1.    Tiadanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, anarki, omong kosong, hingga aksi politik.
2.    Punya gairah dan nafsu “moralistik” yang berkaitan dengan matra sosial dan politik sebagai tesis.
3.    Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang fashionable. (sumber pengertian seni kontemporer : wikipedia)
Seseorang yang menggeluti seni memerlukan apresiasi. Inilah yang unik dalam Facebook, karena setiap status dan komentar bahkan tombol like  yang ditulis dalam wall atau dinding pribadi seseorang, para Facebooker (orang yang menggeluti atau tergabung dalam Facebook), bisa memancing apresiasi atau dengan kata lain dapat diapresiasi berupa komentar  oleh pengguna lainnya.  Komentar di dalam Facebook merupakan bentuk apresiasi. Apresiasi merupakan dorongan utama untuk memunculkan eksistensi diri seseorang, yang dapat terpenuhi sebagian ketika bergabung dalam situs facebook.
Untuk itu. motivasi orang yang menulis dalam Facebook umumnya masih dikaitkan dengan 5 teori kebutuhan Maslow.
    Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi.
   Kebutuhan Maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya.
   Lima (5) kebutuhan dasar Maslow – disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak terlalu krusial :
1. Kebutuhan Fisiologis
Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.
2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan
Contoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.
3. Kebutuhan Sosial
Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
4. Kebutuhan Penghargaan
Contoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
 Adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.

Dari lima kebutuhan tersebut, para Facebooker atau mereka yang bergabung dalam situs Facebook.com telah berusaha memenuhi 3 kebutuhan melalui komunikasi dalam situs Facebook.com. Diantaranya yakni: kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri.
1. Kebutuhan Sosial : Dengan jejaring Facebook dapat diperoleh jejaring sosial baru maupun lama yang bisa terus di up-date sesuai keinginan masing-masing Facebooker.
2. Kebutuhan penghargaan juga didapat oleh para Facebooker melalui respon apresiasi dari Facebooker lainnya, dengan kata lain eksistensi atau keberadaan diri telah terwakili melalui adanya saling berinteraksi dan ber-apresiasi yang bisa saling menunjang eksistensi diri. Ini mendorong alibi berupa reason for being dalam diri psikologis manusia
3. Eksistensi Diri erat kaitannya dengan kebutuhan aktualisasi diri dari para pengguna Facebooker itu sendiri.
Komunikasi dalam Facebook juga tergolong dalam sebuah seni, karena memerlukan adanya unsur apresiasi. Apresiasi di sini, disadari atau tidak tetap menjadi motivasi utama seseorang untuk bergabung dalam situs Facebook.
Sementara kebutuhan manusia untuk terus berkomunikasi pun pada hakekatnya masih terkait dengan 5 kebutuhan Maslow, terutama karena dengan komunikasi orang mampu mendapat rasa aman, memperoleh kegiatan bersosialisasi, memperoleh penghargaan, dan aktulisasi diri.
Jadi kalau kita berbicara tentang komunikasi, pada dasarnya motivasi orang berkomunikasi adalah untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam hidupnya di mana telah digambarkan oleh Abaraham Maslow. Apresiasi dalam Facebook menjadi unsur penunjang utama untuk didapatkannya 3 kebutuhan dasar di atas yakni ; sosial, penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri.
Karena itu saya menyebut komunikasi dalam Facebook merupakan jenis seni komunikasi kontemporer modern. Disebut seni karena memerlukan apresiasi dari orang  lain berupa komentar maupun kiriman-kiriman bentuk simbol komunikasi lain bisa berupa foto, gambar, ataupun simbol- simbol bahasa. Dan bisa dibayangkan alangkah sedih dan nelangsanya jika seorang Facebooker tidak pernah dikomentari atau berkomentar dalam dindingnya maupun pada dinding orang lain.
Disebut komunikasi, karena jelas merupakan alur pertukaran pesan (message) dari person to person atau group to group melalui channel serta adanya  feed back atau respon. Bedanya komunikasi dalam Facebook, saya katakan sebagai komunikasi kontemporer untuk era sekarang ini, karena sesuai dengan perkembangan jaman, seperti pengertian kontemporer di atas. Namun tetap mengacu pada kebutuhan primer manusia yang digambarkan oleh Abraham Maslow. Jadi, selamat ber-Facebook ria.

(Oleh : Mung Pujanarko, kini Pudek III FIKOM Jayabaya-Jakarta, Kepala Lab di FISIKOM UNIDA- Bogor.  Dahulu penah bekerja sebagai : wartawan SURYA Surabaya,  Redaktur Duta Masyarakat, anggota penyusunan Pedoman Pandemi Preparedness Komnas FBPI bagian Komunikasi Resiko, Wakil Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia –PPWI periode 2007-2012)
 


Senin, 11 Juni 2012

Sindrom Kecantikan

Saya punya rekan dulu di saat mahasiswa yang wajahnya kebetulan cantik. Karena cantik itu banyak pria rekan mahasiswa yang naksir dirinya. Karena dia tinggi, putih dan cantik. Saya sebagai pemerhati ilmu komunikasi menyadari bahwa wanita cantik secara alamiah memiliki beauty awareness atau sikap sadar bahwa dirinya cantik, dan dengan awareness itu dia sadar pasti mendapat perhatian banyak pria. Namun sikap awareness itu malah kebanyakan berujung pada Beautiful Women Syndrome (BWS).
Sindrom Wanita Cantik atau dikenal sebagai Beautiful Women Syndrome (BWS) adalah istilah yang diciptakan oleh Pick-Up Artists, untuk mengambarkan kondisi psikologis yang tidak diinginkan yang mempengaruhi orang-orang dengan penampilan luar biasa bagus. Istilah ini awalnya sebuah parodi. Karena tidak semua wanita cantik dilabeli dengan BWS.
Namun demikian, kebanyakan orang akan memiliki pertemuan dekat dengan seseorang yang menderita BWS. Serta paling tidak akan mengenali gejala-gejala, dan biasanya mereka tidak akan peduli sampai mereka secara pribadi terluka atau tersinggung oleh BWS-er.

Karakteristik Sindrom Wanita Cantik (BWS) :

 - Kadang sedikit sekali kadar intelektual pengembangan dan kepribadian. Mereka yang menderita sindrom tersebut digunakan untuk mendapatkan kehidupan dengan bertumpu hanya pada penampilan mereka sendiri. Karena mereka tidak pernah ditekan untuk mengembangkan kualitas pribadi, percakapan dengan seseorang yang menderita BWS adalah membosankan.
-  Penderita BWS akan merasa bahwa orang yang mereka anggap kurang menarik (less attractive) adalah seolah-olah lebih rendah dari BWS. Hubungan sosial, mayoritas dibangun terutama atau hanya dengan orang-orang yang menurut mereka semenarik mereka, atau dari kelas sosial yang sama.
-  Meskipun kurangnya pengembangan, akibat menganggap kualitas fisik mereka terlalu tinggi, maka BWS cenderung mengabaikan kualitas pribadi seperti kecerdasan, pesona keramahan, dan kerendah-hatian.
- Penderita BWS kebanyakan mengidap ketidakmampuan untuk menghargai sifat baik pada orang yang kurang menarik; keyakinan bahwa sifat hanya mengagumkan dalam diri seseorang adalah keindahan (atau uang / posisi sosial).
-  Tidak suka kerja keras atau kotor. Para BWS-er berpikir mereka berada di atas bahwa: orang lain harus membantu mereka atau memberikan apa yang mereka inginkan. BWS akan mencari pria penggemar untuk dimanfaatkan dalam mengerjakan pekerjaan atau tugas mereka.
-  Sedikit toleransi untuk perbedaan pendapat. The BWS-er secara samar menuntut bahwa orang lain kudu memperlakukan mereka dengan penuh kagum karena, well, mereka cantik dan jelas lebih unggul .

Jika kita menemukan seseorang yang menderita BWS, tindakan terbaik yang dapat dilakukan adalah memperlakukan mereka seperti Anda perlakukan mereka seperti orang lain. Jangan, terlalu menyanjung, jangan tersandung diri Anda dengan mencoba untuk mendapatkan perhatian mereka, atau memuji mereka berlebihan. Perilaku ini hanya menambah BWS dengan mengkonfirmasi kepada penderita BWS bahwa mereka memang sebagai luar biasa. Sindrom ini hanya bisa disembuhkan oleh BWS-er menyadari mereka adalah fana seperti orang lain.
 Maka kembali pada rekan saya dulu, seiring waktu 15 tahun berselang, kini saya melihat kawan saya yang mahasiswi cantik itu dulu, kini telah menjelang usia 40 tahun, dan terlihat jelas -betapa kini dalam foto di jejaring sosial-, secara alamiah memudar kecantikan dan kesegarannya. Namun, dari berbagai komentarnya pada jejaring sosial dia (BWS-er) masih membanggakan dirinya (atau mungkin ge-er) dengan menyindir banyak sesama kawan pria yang kini bertemu kembali dalam jejaring sosial, bahwa dia dulu dikejar oleh banyak pria rekan mahasiswa.
Komentar dalam jejaring sosial dalam langgam komunikasinya menunjukkan betapa dia masih sadar benar akan banyaknya rekan-rekannya yang dulu naksir dirinya, meski sekarang kawan-kawan pria sudah pada menikah.
 Saya melihat bahasanya pada rekan-rekan pria lain dalam jejaring sosial seperti ini : “Oh kamu kan dulu yang sering menguntit aku (stalker)”, kemudian, “Oh kamu harusnya bangga dong kemeja flanelmu pernah kupinjam, pasti kamu pajang di dinding”. Well, saya merasa geli, juga bercampur kasihan kepada sekumpulan rekan pria kami itu, yang dulu saat kuliah memang dikenal sebagai sekumpulan fans BWS-er itu. Geli dan juga kasihan karena kini 15 tahun berlalu, para rekan pria yang dulu sebagai sekumpulan fans si cantik dulu itu, kini rata-rata sudah berkeluarga. Komentar dari BWS-er itu jelas dan terbuka di jejaring sosial dan dapat dilihat oleh kami semua rekan-rekan sesama alumni. Proses encoding dan decoding message dalam wall  secara eksplisit memperlihatkan betapa dulu para fans pria itu hanya tertarik oleh kecantikan BWS-er.
Ya, memang BWS-er pada akhirnya setelah menjelang usia 40, cukup menggelikan. (*)


Selasa, 05 Juni 2012

Perencanaan Liputan Jurnalistik


Perencanaan Liputan Jurnalistik merupakan hal pokok yang wajib dilakukan oleh seorang jurnalis. Ada pepatah: “Gagal merencanakan, berarti merencanakan kegagalan”. Maka dari itu, untuk mencegah kegagalan ada hal-hal pokok yang yang harus dipersiapkan oleh seorang jurnalis. Yang pertama adalah :

1. Mental
Mental mencakup niatan yang kuat untuk mencapai sesuatu. Untuk melakukan liputan seorang wartawan/jurnalis haruslah memiliki mental yang siap. Dalam arti siap segala-galanya. Kadangkala dalam melakukan liputan ada seorang jurnalis yang belum siap mentalnya, maka saat dia menunggu selama berjam- jam lamanya di depan gedung KPK (Komisi Pemberantasana Korupsi) ataupun di depan Gedung Bundar Kejaksaan Agung, maka sang jurnalis tersebut sudah merasa tidak betah dan mengeluh.

Padahal, sepanjang pengalaman penulis selaku wartawan dan mengamati kinerja rekan wartawan yang lain, diketahui hampir 70 persen pekerjaan wartawan di lakukan di lapangan. Mencari berita seringkali mengharuskan kita menunggu berjam-jam di sebuah pos liputan yang ditentukan ataupun target target liputan yang sudah direncanakan bersama oleh kantor redaksi. Contoh: Menunggu berjam-jam di depan kantor Bareskrim Mabes Polri di Jl Trunojoyo, Jakarta sudah merupakan bagian dari keseharian tugas wartawan yang mendapat pos liputan di lingkungan Mabes Polri. Menunggu di depan kantor Bareskrim pada kenyataannya selalu lebih efektif daripada hanya menunggu berita sambil duduk-duduk santai di kantor Humas Mabes Polri. Karena baik tersangka, atau pengacara yang berkaitan dengan kasus besar selalu bisa ditemui.

Contoh yang lainnya adalah saat wartawan menanti masuk serta keluarnya para tersangka yang ditangkap oleh KPK. Sudah lazim apabila KPK memeriksa tersangka hingga 12 jam lamanya. Maka selama itu pula, apabila tidak ada pergantian shift- maka seorang jurnalis harus siaga di depan kantor KPK, agar tidak kehilangan momen penting. Kemudian contoh yang masih segar dalam ingatan kita, ketika ratusan wartawan menunggu dengan “harap-harap cemas” di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), saat mantan Presiden Soeharto sedang dalam kondisi kritis, hingga akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir. Tak ayal, semua hal itu membuat wartawan selalu siaga 24 jam. Karena berita mengejutkan bisa muncul pada waktu-waktu yang “berat”, seperti tengah malam hingga menjelang dini hari. Untuk itu dengan persiapan mental sebaik- baiknya dapat mendukung pula kesiapan fisik, untuk tugas yang tak terduga.

2.Materi People trail dan Paper trail
Dalam liputan jurnalistik ada dua materi bahan yang harus dicari yakni people trail (jejak orang) atau mencari nara sumber dan paper trail (jejak data dokumen) atau mencari data pendukung.
Dalam persiapan materi ini kemudian dapat disusun pertanyaan serta bahan-bahan pendukung untuk melakukan wawancara, dan mengajukan pertanyaan kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam penanganan sebuah masalah. Hindari mencari keterangan yang “asal dapat” dari orang-orang yang kurang kompeten seperti misalnya, kepada seorang staf yang kurang berpengalaman ataupun kepada orang-orang yang memang kurang paham terhadap situasi yang sedang berkembang. Misalnya saat wartawan menunggu di KPK, tentu saja tidak mungkin menanyai kepada staf-staf biasa KPK. Carilah orang-orang kunci yang berwenang memberi informasi.

3. Persiapan tool atau alat
Persiapan wartawan kini mencakup semua gadget yang diperlukan. Dari semua kecanggihan gadget yang ada, bisa dibagi menjadi  4 (empat) jenis.
1.Recorder data : (laptop, notebook, HP, kertas catatan )
2.Recorder voice :(Cassete recorder, MP3, voice recorder HP)
3.Recorder auvi :(camera handycam, mini divi, camera advance)
4.Picture Camera : (DSLR, pocket, prosumer)
Persiapan alat ini menjadi penting, apalagi kini di lapangan 90% wartawan adalah wartawan usia muda. Baru lulus kuliah dan mendapat tugas di lapangan. Jangan meremehkan kesiapan semua gadget anda. Dan hati-hati kehilangan gadget di tempat liputan karena banyaknya wartawan yang meliput serta orang-orang yang berkerumun, serta resiko kerusakan gadget di tempat liputan yang selalu sering terjadi.
 
4. Guiding Technique 
Jika akan meliput di tempat yang jauh misal luar kota atau luar negeri, maka ada persiapan-persiapan ekstra. Antara lain yang umum dilakukan adalah mendapatkan cetakan buku guide ataupun justru mendapatkan guide itu sendiri. Guide lazim diperlukan jurnalis, saat meliput di negri/ tempat asing yang rawan konflik. Biarpun tidak bisa menjamim aman 100 % dari resiko penyanderaan dan resiko lain, namun lebih baik ditemani pemandu daripada tidak sama sekali. Dengan pemandu, kendala bahasa, lokasi, dan nilai tukar uang bisa teratasi.

5. Conflict Area
Terutama untuk wartawan yang meliput konflik maka persiapan juga mencakup karakteristik kerawanan daerah (kakerda), P3K (emergency), dan mendapatkan pelatihan khusus untuk meliput di hostile area atau daerah rawan. Seringkali bahaya bisa berupa perang, kerusuhan, demontrasi, atau bahkan bencana alam semisal :tsunami, gempa bumi dan Gunung meletus. Contohnya ketika wartawan meliput kondisi siaga di Gunung Merapi, Jawa Tengah, maka karakteristik kerawanan Gunung bisa diperoleh dari pos pemantau dan hanya petugas yang profesional saja yang wajib didengar, kemudian mempersiapkan P3K guna mengantisipasi kondisi asap, -namun fatal sudah, bila terkena awan panas (wedhus gembel)- ini sama dengan mati. Beberapa wartawan asing senantiasa ingin mencapai titik terdekat dari kondisi bahaya. Namun hal ini harus pula disertai dengan akal sehat. Biarpun tidak ada yang berhak melarang seorang wartawan untuk nekat meliput hingga mendekati titik bahaya.
 
6. Safety
Persiapan yang keenam bagi jurnalis, yakni biasakan mencari safe passage in and out atau jalan masuk dan keluar yang cepat dan aman dalam setiap masalah. Bila kita meliput dalam sebuah gedung atau kantor maka hal tersebut bukan masalah, namun bila anda meliput sebuah kerusuhan atau konflik, maka carilah jalan masuk dan keluar yang aman dan sudah anda kenal sebelumnya. Jangan sampai terjebak pada situasi yang tidak menguntungkan. Ingat ada pepatah dalam jurnalisme yang berbunyi “Tidak ada sebuah berita yang terlampau bagus, jika wartawan harus mengorbankan nyawanya,” (BBC-Panduan Jurnalis 2001). Karena bisa-bisa wartawan itu sendiri yang menjadi bahan berita karena tewas saat meliput.
 
7. Life first
Jaman dahulu saking jarangnya wartawan, banyak wartawan yang nekat untuk mencari liputan hingga mengorbankan nyawa. Mengorbankan nyawa untuk karir wartawan tentu hal yang sangat glorius, heroic dan mengagumkan (amazing) bagi sejumlah perusahaan pers, karena berhasil mendidik wartawannya menjadi wartawan militan yang tak segan mengorbankan nyawa demi berita. Tapi cobalah untuk bijaksana. Lain halnya jika terkena kecelakaan namanya juga kecelakaan yang tidak bisa dihindari, lain ceritanya.
 Jadi, bijaksanalah, apalagi kebanyakan wartawan lapangan di Indonesia adalah wartawan muda usia, lajang, produktif, cerdas, dan berada dalam stamina fisik yang bagus. (*)

Minggu, 27 Mei 2012

99 Juta Orang Jawa

Sampai Juli 2011 menurut  "CIA - The World Factbook" ada sejumlah 40% orang dari etnis Jawa dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 245,613,043 (July 2011 est.). Lengkapnya demografi Indonesia yang terangkum dalam CIA - The World Factbook  adalah : Javanese 40.6%, Sundanese 15%, Madurese 3.3%, Minangkabau 2.7%, Betawi 2.4%, Bugis 2.4%, Banten 2%, Banjar 1.7%, other or unspecified ethnic 29.9% (2011 census).
Yang ingin saya kemukakan adalah; dalam pergaulan sehari-hari kini semakin banyak saja orang Jawa yang lupa Jawa-nya, bahkan malu dengan etnis ke-Jawa-an yang melekat dalam dirinya sebagai orang Jawa.
Dalam berbagai percakapan sehari-hari, saya dengar dan lihat sendiri, semakin banyak orang Jawa yang terlibat percakapan yang menjelek-jelekkan sukunya sendiri, dengan idiom-idiom bahasa yang bernuansa  stereotype yakni misalkan, "oh kalau orang Jawa itu, begini, begitu, suka begini, begitu” padahal yang terlibat aktif menjelek-jelekkan suku Jawa nya, ya dialah orang Jawa itu sendiri.
Orang Jawa yang ada di Jakarta misalkan banyak terlibat percakapan yang menjelek-jelekkan ciri khas Jawa ketika bercakap cakap dengan rekan-rekannya dari etnis suku lain, hanya karena ingin diterima dalam pergaulan kantornya, pergaulan lingkungannya.
Pepatah : "Wong Jowo lali Jawane" adalah pepatah yang telah dikumandangkan nenek moyang orang Jawa, saat membaca tanda-tanda akhir jaman. Tanda-tanda akhir jaman, berarti tidak adanya lagi sopan santun orang Jawa, tak ada lagi toleransi khas Jawa dengan ditandai dengan "Wong Jowo lali Jawane”
Tentu saja hal ini amat saya sayangkan, karena selama seumur hidup ini saya selalu berusaha bersikap toleran terhadap saudara-saudara saya yang berlainan etnis. Saya mencegah diri saya untuk tidak menjelek-jelekkan etnis lain dengan idiom dan sandaran stereotype, dan saya tidak pula (apalagi) menjelek-jelekkan suku Jawa dimana saya memiliki identitas etnis, apalagi berkata buruk tentang suku Jawa hanya supaya diterima di lingkungan yang non Jawa.
Dengan jumlah 99 juta jiwa, orang Jawa tentu saja signifikan mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam bidang politik saja, ada politikus capres (calon presiden 2014) non Jawa harus berjuang setegah mati dengan iklan-iklannya agar mencitrakan dirinya sebagai orang non Jawa namun dekat dengan orang Jawa. Misalnya dalam komunikasi komodifikasi iklan bernuansa etnis, ada Capres 2014 yang beriklan dengan  dialog : “Matur suwun bapak Capres”, dimana yang mengatakan matur suwun adalah orang Jawa kepada Capres 2014 yang nota bene adalah  bukan dari etnis Jawa. Saya meneliti sebentar, lho kok tidak dibalik saja dialognya yakni sang Capres 2014 yang non Jawa mengatakan pada orang Jawa pemeran iklan politiknya dengan  dialog :"Matur suwun poro sedulur". Jadi kenapa bukan dialog yang meletakkan diri sang Capres 2014 berterimakasih kepada etnis Jawa, dan bukan etnis Jawa yang harus berterimakasih kepada sang Capres 2014 itu. Ini kalau memang tujuan iklan itu adalah ingin mendapatkan dukungan penuh dari etnis Jawa dalam Pilpres 2014 mendatang, tapi kalau itu hanya iklan politik biasa saja tanpa meaning yang jelas, dan hanya ingin sang Capres 2014 dalam posisi diatas dan dipandang hebat oleh wong Jowo (di bawahnya), ya pakai saja dialog lama itu.
Dalam  harapan sang Capres 2014 (calon presiden) itu dengan menggambarkan orang Jawa matur suwun terhadap dirinya yang non Jawa maka otomatis orang Jawa yang jumlahnya 99 juta, yang sudah berusia pemilih, mau memilih dirinya sebagai orang yang bukan Jawa sebagai presiden Indonesia. Ini adalah tetap posisi siapa di atas dan siapa di bawah dalam sebuah posisi dialog dalam komunikasi iklan politik itu. Kemudian pada tahun 2013, Sang capres ini secara unik justru mengeluarkan jurus jargon baru yakni " Jika rakyat memberi kesempatan, maka kamipun rela berbagi". Hal ini bisa diartikan jika rakyat memberi kesempatan maka sang Capres pun rela berbagi, ini adalah politik transaksional yang telanjang, dimana ada timbal balik. Jelas sekali watak niagawannya. Ya sudah, tidak apa-apa kan ini semua juga hak asasi manusia, hak asasi dia. Terserah dia saja. Toh, pada tahun 2014 sejarah membuktikan tokoh ini gagal mencapreskan diri, ditambah mendapat kritikan pedas dari dalam partainya sendiri tentang perilakunya.

 Di sisi lain banyak pula iklan-iklan produk barang jasa yang juga sering menggunakan penanda dan petanda ciri-ciri Jawa dalam iklan produknya. Misalnya menggunakan bintang iklan dari Jawa, menggunakan event yang bernuansa Jawa, dan menggunakan busana atau kostum adat Jawa. Bahkan ada beberapa iklan yang menggunakan jargon bahasa Jawa. Ini semua karena memperebutkan jumlah konsumen signifikan sebanyak 99 juta orang Jawa.
 Namun, sekali lagi sayangnya kini banyak orang Jawa yang tergolong mayoritas elemen bangsa Indonesia ini yang malu, bahkan tidak mau mengaku sebagai orang Jawa. Alasannya beragam, ada alasan keamanan, misalnya etnis Jawa di sebuah daerah kerap menjadi sasaran kekerasan bahkan sasaran tembak (senjata) oleh etnis lokal setempat. 
Definisi muhajirin (orang yang berhijrah) dan anshor (lokal yang menolong) sudah tidak ada lagi. Yang penting ada pendatang yang terlihat maju sedikit maka akan ditembak mati, atau bila perlu di-parang.
Kalau begini terus maka dis-integrasi bangsa ini benar-benar di depan mata. Jumlah orang Jawa siginifikan sebanyak 40,6 % dari total populasi Indonesia sebanyak  245,613,043 jiwa orang Indonesia, yakni sejumlah 99.718.895  jiwa (dibaca sembilanpuluh sembilan koma tujuh juta jiwa).
Jika katakanlah bila terjadi pengusiran besar-besaran dari etnis pribumi terhadap pendatang yang etnis Jawa maka Indonesia akan mengalami disintegrasi bangsa. Dan menurut kacamata saya selaku pelajar ilmu komunikasi, potensi disintegrasi bangsa ini bukanlah isapan jempol, melainkan nyata adanya.
Bila dipetakan maka ada kemungkinan beberapa daerah yang berkeinginan merdeka, dan berdiri sebagai independent state. Indonesia pada dasarnya adalah  NKRI. Republik kesatuan yang sistem pemerintahannya terdiri dari kawasan-kawasan propinsi yang otonom. 
Demikian pula Amerika disebut United States pada terjemahan sebenarnya adalah negara-negara bagian yang bersatu (united states), negara kesatuan. Negara bagian di Amerika juga dipimpin oleh seorang Gubernur.
Potensi perpecahan dalam sebuah regional negara, baik united states mapun negara kesatuan republik (sebenarnya hanya beda istilah saja) potensi perpecahan itu tetap mungkin terjadi. Dikarenakan terutama meruncingnya masalah kesenjangan kesejahteraan ekonomi antara wilayah yang  makmur, dan wilayah yang tertinggal. Perbedaan ekonomi ini bisa symptom-nya (gejalanya) berwujud perselisihan antar etnis, antar ras dan antar agama. Symptoms (gejala-gejala) ini sebenarnya bukan penyakit utama, penyakit utamanya adalah kesenjangan ekonomi dan infrastruktur yang menyolok dari pusat dan daerah.
Amerika telah selesai dan tidak ada masalah antara pusat dan daerah, bahkan di ibu kota Washington DC (district columbia) tidak ada perbedaan dalam hal kualitas ekonominya dengan states lainnya yang bukan DC. Perselisihan antara pusat federal dan daerah (states lainnya) itu sudah diselesaikan duaratus tahun lampau pada saat civil war terjadi. Kini bahkan tak soal lagi mana pusat dan daerah di Amerika. Sedang di Indonesia issue / topik kesenjangan, perbedaan, dan kualitas infrastruktur pusat dan daerah masih selalu menghantui sampai puluhan tahun ke-depan, dan -bila korupsi berlanjut- ya sampai ratusan tahun ke-depan. (*)

Senin, 30 April 2012

Ojo Gumunan lan Ojo Kagetan Decoded

Orang Jawa yang telah jawa (mengerti) biasanya cukup berpesan pada orang-orang terdekatnya dengan sebuah frasa nasehat : “ojo gumunan lan ojo kagetan”.
Apa meaning dari message falsafah Jawa yang sudah berusia ribuan tahun ini ?
 Gumunan dalam bahasa Indonesia berarti adalah mengagumi atau suka/gampang terlalu mengagumi,-bisa gampang kagum pada seseorang atau pada benda-, dan kagetan berarti suka terkaget-kaget.
Falsafah Jawa ini sangat dalam mengupas kecenderungan hati manusia.
Bila kita teliti, frasa kalimat falsafah ini selalu didahului dengan frasa “ojo gumunan” terlebih dahulu, baru kemudian “ojo kagetan” yang mengikutinya. Frasa ojo gumunan diletakkan terlebih dahulu dari frasa ojo kagetan, ini decode-nya memiliki makna sebab-akibat.
Pada penanda ojo gumunan artinya jangan mudah terampasnya perhatian untuk kekaguman pada seseorang atau sesuatu. Gumunan atau mengagumi seseorang/sesuatu dapat mereduksi kesadaran diri akan kebesaran Yang Maha Kuasa, karena mengagumi kepada makhluk ciptaan-Nya.
Terlalu berat? Oke yang ringan saja ; jika kita kagum kepada seseorang pada hakekatnya juga melupakan potensi diri yang diciptakan sama oleh Sang Maha Pencipta. Memetik hikmah dari seseorang boleh, terlampau kagum, sebaiknya jangan.
 Dan kagetan adalah efek ketika yang dikagumi ternyata mengecewakan atau ternyata tidak sesuai dengan harapan yang mengagumi.
Bulan April 2012 ini ada contoh yang baik sekali ketika artis Justin Bieber asal Amerika tiba-tiba merendahkan Indonesia dengan pernyataannya “some random country” dan merendahkan kemampuan musik studio rekaman Indonesia dengan mangatakan “mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”.
Selanjutnya reaksi orang yang mengagumi Justin Bieber menjadi terkaget-kaget, "lho kok bisa ?", "Lho kok gitu?!" dan bahkan banyak yang balas menghujat artis muda Amerika ini di jejaring sosial.
 Dalam falsafah Jawa sebenarnya sikap atau reaksi yang datar-datar saja dari orang Indonesia bisa dicapai ketika orang tidak terlalu gumun kepada Justin Bieber, tidak teramat mengagumi, maka tidak akan terkaget-kaget ketika artis muda itu berkata bernada negatif. 
Menanggapinya datar, karena kita tidak gumun pada artis itu, maka tidak akan kaget dengan apa saja ucapan dan tindakannya sebagai sifat manusia biasa. Rasa sebal mungkin iya, tapi kaget bahkan shock tidak sama sekali.
Gumunan dan kagetan adalah dua sifat yang saling susul-menyusul, sebagai rangkaian dari sebab dan akibat. Setelah gumun pada seseorang, maka akan diikuti dengan kaget, ketika yang dikagumi meleset dari harapan. Jika beberapa waktu lampau ada marak khalayak gumun terhadap seorang penceramah yang berwajah tampan dan pandai bertutur kata dan pandai menyanyi, namun kemudian ketika penceramah tersebut melakukan poligami, maka khalayak menjadi kaget, tercengang.
Padahal kalau khalayak biasa-biasa saja dan hanya menyimak baik-baik apa yang didakwahkan, tanpa terlampau mengagumi sosok orangnya, maka dimungkinkan tidak akan terkaget-kaget ketika penceramah tersebut ternyata menikah lagi. Kita sebagai khalayak akan bersikap biasa saja, karena kita tidak mengagumi orangnya, melainkan hanya menyimak seruan Tuhan, dalam dakwahnya, tidak lebih dari itu.
Dalam penanda yang tertuang dalam frasa ojo gumuman lan ojo kagetan mengingatkan orang agar tidak mudah gumunan (mengagumi) seseorang atau mengagumi sesuatu, untuk kemudian tanpa rasa kaget ketika yang dikagumi ternyata ya manusiawi yang tidak luput dari sifat-sifat manusia biasa dan bendawi biasa yang mudah binasa.
Jadi begitulah ‘ojo gumunan lan ojo kagetan’ sebagai penanda dalam falsafah Jawa decoded. (*)

Minggu, 29 April 2012

Babahan Hawa Sanga Decoded


Hawa/Howo bahasa Jawa dapat berarti lubang, dan Hawa dalam bahasa Arab dapat pula berarti keinginan atau kehendak. Hawa nafs berarti keinginan jiwa (nafs = jiwa). Jiwa dalam ilmu jiwa (psikiatri) dibedakan dengan pengertian nyawa atau ruh. Jiwa adalah manifestasi kesadaran manusia dengan kecenderungan-kecenderungan yang dapat dipelajari baik secara kaidah ilmu ilmiah (psikiatri) dan kaidah ilmu psikologi.
Dari penanda dalam bahasa Jawa : Babahan Hawa Sanga, yang biasanya kalimat lengkapnya adalah sebuah nasihat : “Nutupi babahan hawa sanga” ini mari kita coba decode Babahan Hawa Sanga.
 Babahan Hawa Sanga artinya 9 keinginan jiwa (hawa nafs) yang harus diwaspadai agar tidak salah arah, akibat dibukanya secara tak terkendali 9 jendela lubang (howo) pemicu hawa (keinginan) dalam diri jiwani manusia.
Percaya atau tidak,  9 lubang  yang ada pada fisik manusia ini pada hekatnya juga mempengaruhi batiniah manusia.
Orang Jawa yang sudah jawa (mengerti) biasanya cukup berpesan kepada anak cucunya untuk sedapat mungkin menutupi babahan hawa sanga dalam arti berusaha tidak menyimpangi (mengerem dari menyimpangi) hawa nafs atau keinginan jiwa yang bersumber dari 9 lubang jendela dalam diri manusia.

Hawa (2-dua) pertama adalah mata kanan dan hawa kedua adalah mata kiri, penanda ini adalah perwujudan keinginan jiwa yang bersumber dari dibukanya jendela mata. Bisa dengan istilah gaul lapar mata. Keinginan jiwa (hawa nafs) yang berasal ketika jendela mata dibuka dengan ‘diafragma lebar’ dan membiarkan mata terpapar/tereksposure oleh pemandangan yang menyebabkan hati menjadi memiliki keinginan syahwati. Syahwati artinya bisa macam-macam, pemenuhan lubang jiwa, bisa punya keinginan untuk menikmati suatu hal, keinginan memiliki dan mencoba suatu hal dari sumber informasi ke otak dari hasil pandangan mata. Pandangan mata bila diarahkan ke hal-hal yang arrousal maka akibatnya bisa menjurus ke arah maksiat.
Pandangan mata mudah melekat pada lawan jenis, dan justru karena ini banyak yang ingin memuaskan pandangan matanya untuk menyaksikan eksplorasi tubuh lawan jenis. Jika ke istri/suami sendiri maka sah saja, tapi bila jendela mata dibuka lebar untuk menyimpang ke arah sajian baik yang live maupun media visual yang mengarahkan libido, maka ini lain halnya.

Hawa (2-dua) ketiga adalah lubang telinga kanan dan hawa keempat adalah lubang telinga kiri. Telinga kadang mendengar apa yang kita sukai saja, dan bila jendela telinga dibuka dengan ‘diafragma lebar’ untuk terpapar gosip, dengar asyik gunjing-menggunjing maka telinga akan semakin menikmati untuk mendengar yang tidak semestinya dibuka lebar untuk didengar, apalagi bila telinga suka digunakan untuk mendengar hal-hal yang mengarah pada persekongkolan jahat, dan yang mengarah ke perbuatan maksiat. Keinginan yang bersumber dari 2 jendela telinga dapat merasuk dalam jiwa (hawa nafs) berarti keinginan jiwa.

Hawa (2-dua) kelima adalah lubang hidung kanan, dan hawa keenam adalah lubang hidung kiri. Indra penciuman dapat merefleksikan sinyal kimiawi ke otak dan akan direspon dengan memicu aneka hormonal jika mencium sesuatu. Bila mencium bau yang wangi, misalkan wangi parfum maka akan benar bila dalam kondisi tidak dibangkitkan oleh hawa nafs atau keinginan jiwa yang menyimpang. Sebaliknya, keinginan jiwa (hawa nafs) yang menyimpang akan semakin mendapat dorongan jika pembukaan lebar lubang hidung diproses untuk mencium wangi atau aneka bau yang membangkitkan keinginan untuk melakukan maksiat, katakanlah mencium wangi parfum seorang pedagang seks, -tidak akan berakibat apapun pada orang yang tidak membiarkan keinginan jiwanya (hawa nafsnya) menyimpang-. Sebaliknya, jika telah ada goresan dalam hati untuk berbuat menyimpang menuju kemaksiatan, maka mencium wangi parfum pedagang seks atau  pasangan ilegal, akan dapat mengantarkan hawa jiwa lempang menuju ke arah yang menyimpang, yang memang diinginkan. Ada guyonan pada jaman edan ini : ‘hal-hal yang memang diinginkan’.

Hawa (1-satu) ketujuh adalah mulut. Banyak keinginan jiwa (hawa nafs) yang bersumber bila jendela mulut dibuka lebar, sehingga terpapar atau terekspose oleh hal-hal yang bersifat memenuhi unsur rakus (gluttony dalam seven deadly sins). Rakus adalah makan tanpa ingat orang yang lapar. Mulut juga merupakan salah satu jendela hawa sanga yang rawan untuk mengantarkan orang menuju ke kebinasaan. Mulut yang berkata bohong, mulut yang makan barang dilarang, dan yang diperoleh dari barang yang dilarang. Mulut yang mengeluarkan perkataan yang menyakitkan, dan yang mengeluarkan kata-kata yang rusak (alias cangkem letrek dalam bahasa Jawa kasar).
Hawa nafs atau keinginan jiwa memang bisa dipenuhi oleh mulut, namun orang Jawa yang telah jawa (mafhum) memandang harus sedapat mungkin menutup keinginan mulut, dan hanya membukanya untuk maksud-maksud yang baik saja.

Hawa (1-satu) yang kedelapan adalah lubang kemaluan. Banyak unsur keinginan jiwa (hawa nafs) yang bersumber dari dibukanya jendela lubang kemaluan menjadi terpapar atau terekspose hal-hal maksiat yang sejatinya merugikan. Ada orang yang bilang mengapa merugikan ?, kan menguntungkan bila dibuat maksiat?
Well, saya bukan orang yang suci, tapi setidaknya ada pengetahuan umum yang menyatakan kalau freesex pada akhirnya akan merugikan kesehatan mental, dan kesehatan fisik dan akhirnya merugikan kehidupan. Kalau tidak percaya ya jangan mencoba, hanya lihatlah saja gejala orang-orang di sekitar  yang menjalankan free sex.

Hawa (1-satu) kesembilan adalah lubang dubur. Keinginan yang bersumber dari lubang dubur ini adalah keinginan buta kaum Nabi Luth yang ada di kota Sodom dan Gomorah. Kedua kota (ancient city) ini telah hancur luluh dipecut (whiplas) oleh bencana alam. Kita memang tidak dapat menghakimi orang yang cenderung mengeksploitasi anal sebagai sumber kenikmatan hawa (keinginan) jiwa/ (hawa nafs) nya, tapi, logikanya kalau tidak murka, mengapa Sodom dan Gomorah dihancurkan oleh Nya ? Bukan hanya sekedar bencana alam kemudian bangun kembali seperti bencana jaman sekarang, tapi bencana yang membinasakan (total annihilation) dan hanya Nabi Luth atau Nabi Lot yang disisakan, kecuali perempuan tua yang menjadi istrinya yang suka akan tabiat menyimpang tersebut jadi abu.
Dewasa ini banyak terjadi sodomi oleh orang yang memiliki penyakit dalam hatinya terhadap anak-anak kecil, anak jalanan dan korban-korban yang rentan. Hal ini amat bahaya bila tidak ada pihak yang berbicara akan bahaya pengumbaran kejahatan ini.

Demikian “Nutupi Babahan Hawa Sanga” decoded. (9*)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons