cari kata

Rabu, 20 Maret 2013

Kiat Sederhana Untuk Sukses Berkomunikasi

Artikel  ini ditulis pertama pada Wednesday, November 14, 2007 9:21 PM

Komunikasi berasal dari pengertian dasar commune, communis, community, atau ‘komuni’ yang berarti masyarakat. Masyarakat saling berhubungan antara individu dengan cara verbal (bahasa) maupun non verbal (symbol dan tulisan), sehingga terbentuk istilah communication (komunikasi) atau proses hubungan. Pengertian dasar tersebut sangat sederhana. Namun yang kemudian acap menjadi sebuah kerumitan tatkala dalam proses komunikasi tersebut pesan yang disampaikan mendapat tanggapan keliru atau reaksi dan persepsi negatif dari si penerima pesan sehingga timbullah berbagai macam ketegangan.
 Komunikasi yang direkayasa negatif seringkali dibungkus dengan bahasa yang indah-indah untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
 Apalagi jika sang komunikan (sang penyampai pesan) sengaja mengunakan introduksi atau bahasa pembuka yang berbunga bunga, puitis dan halus untuk mempesona penerima pesan, agar maksudnya tercapai. Ini dinamakan pseudo communication atau komunikasi semu. Semu artinya tidak jelas dan tidak lugas bahkan tidak jujur, minimal jujur terhadap diri sang pemberi pesan sendiri. Untuk itu, agar kita semua meskipun mungkin anda bukanlah seorang pemerhati ilmu komunikasi, dapat memahami proses komunikasi dengan mudah, terdapat sebuah kunci sukses berkomunikasi yang mudah dipraktekkan sehari-hari.
 Yang pertama dalam berkomunikasi baik verbal mapun non verbal gunakanlah tiga tahap sebagai berikut, yang pertama yakni intro. Intro dalam bahasa pergaulan alamiah seringkali diisi dengan salam pembuka, seperti “Apa kabar?”, pujian, doa, atau kalimat pembuka pemancing percakapan. Dalam proses komunikasi non verbal ( surat, e-mail, sms, symbol) intro sebaiknya menjadi paragraf awal yang isinya adalah salam serta introduksi atau perkenalan awal. Gunakan intro untuk mengukur kedalaman minat orang yang diajak berkomunikasi. Intro amatlah penting karena dengan intro yang benar tidaklah sulit memasuki tahapan berikiutnya yakni content atau isi
Pada tahap berikutnya yakni Content (konten) atau isi adalah maksud pokok yang akan dikomunikasikan sehingga tercapai tujuan awal berkomunikasi, yakni saling memahami. Acap kali orang yang memulai proses komunikasi merupakan orang yang mempunyai kebutuhan kepada orang yang diajak berkomunikasi. Untuk itu biasakan dalam menyampaikan konten memakai 6 kaidah dalam ragam Bahasa Indonesia Jurnalistik (BIJ) seperti tertulis dalam kamus besar Bahasa Indonesia yakni Singkat, Padat, Sederhana, Lugas, Menarik, dan Jelas (SPSLMJ).
 Bila sudah dicapai satu kondisi saling memahami antar individu yang melakukan komunikasi maka suasana yang lebih rileks dapat dicapai tanpa menggunakan sarana lain seperti tempat pertemuan yang disetting, maupun tanpa suguhan yang bisa dianggap oleh sebagian orang terutama kalangan barat bisa “melemaskan lidah”  semisal minuman beralkohol, wine, dan rokok.
  Kemudian tahapan yang ketiga yakni closing (penutup). Closing amatlah penting dalam proses komunikasi verbal maupun non verbal. Closing yang bagus akan menghantarkan pada proses komunikasi pada kesempatan yang lebih erat lagi. Untuk itu selalu pahami bahwa sebelum memulai proses komunikasi inter-personal atau antara individu sebaiknya dalam diri anda terlebih dahulu terbangun proses komunikasi intra-persona atau komunikasi dengan diri sendiri yang baik, serta ada pemahaman yang positif terhadap kelebihan dan kekurangan diri yang proporsional serta berimbang, sehingga tercapai rasa jujur pada diri sendiri. Hal ini bisa mewujudkan rasa percaya diri yang bagus.
Inilah seklumit tulisan tentang kiat berkomunikasi yang sangat sederhana yang bisa dipakai oleh siapa saja. Karena sekarang ini seiring dengan gaya hidup individualistis yang makin berkembang dalam masyarakat kita, sedikit demi sedikit mulai terbangun jurang komunikasi yang lebar, baik antar tetangga, kerabat, maupun antara individu itu sendiri. Penyebabnya bisa macam macam mulai dari tekanan hidup yang kian berat, sampai pengejaran terhadap materi yang menghallakan segala cara, dan mengorbankan sikap kejujuran. (*)

Gaya Komunikasi Jalanan

Artikel 
Ditulis pertama pada Wednesday, November 14, 2007 9:23 PM

Saat ini kita sering melihat, mendengar dan merasakan cara masyarakat berkomunikasi yang bisa dibilang didominasi oleh gaya “komunikasi jalanan" atau street gang communications style. Gaya komunikasi jalanan ini makin tumbuh subur seiring tayangan hiburan di televisi dan media massa tertentu terutama acara-acara humor di televisi yang sering menggunakan makian dan istilah olok-olok. Mengapa disebut gaya komunikasi jalanan ?, karena gaya komunikasi ini cenderung kasar, sering mengetengahkan bahasa-bahasa yang mengandung unsur kekerasan, makian, penghinaan pada harkat manusia, sarkastik dan bahkan sadistik yang kerap muncul dari para penggunanya. Bila komunikasi jalanan ini awalnya hanya digunakan oleh kelompok dalam masyarakat tertentu sepreti : preman, anak jalanan, dan komunitas terminal yang memang sering bergelut dan berinteraksi dengan gaya komunikasi jalanan ini. Maka kini gaya komunikasi ini kini mulai merambah pada gaya pergaulan semua kalangan terutama kalangan menengah yang secara sosiologis cukup cendekia dan educated di dalam srtuktur masyarakat kita.
     Ungkapan-ungkapan bernada kekerasan, sarkasatik, bahkan sadis pun menjadi “wajib” dalam percakapan- percakapan sehari hari kita, baik itu di kantor, di mall, maupun di tempat-tempat masyarakat kelas menengah -yakni pelajar, mahasiwa dan profesional -biasa berkumpul. Akrab di telinga kita tiba- tiba mereka yang berpenampilan necis, dandy dan modis tiba- tiba terceletuk dari mulutnya ucapan semacam :“Santai aje bos, ntar juga kelaar kerjaannya, kalau nggak dia akan saya habisin deh”, atau, tiba- tiba sosok wanita berbusana sopan dan berpenampilan bak peragawati tiba tiba berucap dengan gaya ‘premanwati’ : “(kata Makian...), siapa die? gile juga, dasar perek, ngakunya sekretaris tapi boss juga diembat.” atau sekelompok mahasiswa yang setiap hari bergulat dengan ilmu-ilmu luhur tiba-tiba bak preman baru menjelma saling mengumpat,“Bangs…t, anj.... kita hajar aja, kalau berani macam- macam, sudah stress nih..”. 

Masya Allah ungkapan-ungkapan bernuansa kasar, slang, dan sakastik yang biasanya hanya memenuhi ruang publik marjinal seperti terminal, pasar, sudut- sudut lampu merah, kini mulai mendapat ‘tempat yang layak” di kampus, kantor baik negri dan swasta, bahkan rumah sakit.
Seolah nilai yang berlaku di era reformasi ini adalah nilai semi premanisme bahkan pure premanisme yang menggejala di segala bidang. Boleh jadi berlaku dalam benak masyarakat, sebuah adagium dengan berbahasa semakin kasar, keras, dan bergaya sadis maka akan semakin dihormati dan disegani orang tesebut dalam lingkup sosialitasnya.
 Bila dibiarkan gejala semacam ini merebak di kalangan masyarakat kelas menengah kita yang nota bene agent of change, maka dikhawatirkan change of cultural behaviour yang kurang santunlah yang akan diwariskan pada generasi berikut. Budaya komunikasi ini mencerminkan kepribadian kita sebagai sebuah bangsa yang mulai kehilangan jati dirinya, terutama akibat budaya barat impor. Generasi baru bangsa mengalami degradasi kemampuan berkomunikasi antar masyarakat secara patut.
 Relasi antara manusia dibangun melalui komunikasi, melalui komunikasi pula kita dapat mengenal pribadi orang, dan sebaliknya kita juga dikenal oleh orang lain. Cara memilih kata -kata yang digunakan merupakan cerminan perumusan pemikiran orang tersebut, (Mulder, Niels : Individual dan Society, Interpretation of Social Change, Illinois 1982). Dari sinilah arti penting komunikasi yang sehat dapat dibangun. Komunikasi yang sehat berarti menggunakan gaya bahasa yang jernih dan didasari dari pesan yang berasal dari hati nurani. Dengan demikian masing-masing individu dapat memberikan rasa respek dan penghargaannya pada individu lainnya -dalam proses komunikasi itu- secara wajar, tanpa di dasari oleh status sosial.
Di sini penulis ingin mengulas bagaimana awalnya masyarakat kita, terutama yang nota bene kaum intelektual dan kelas menengah mulai mengadaptasi budaya komunikasi jalanan atau gaya premanisme tersebut. Awalnya, dalam sejarah perkembangan kebudayaan Indonesia , kelas masyarakat yang terpelajar mendapat sebutan khusus diantaranya, kalangan pegawai, priyayi dan gedongan, (Koentjaraningrat, 1980). Pada jaman Belanda orang tepelajar jaman dahulu masih memperhatikan etikanya sebagai sebuah etika kepatutatn dalam berkomunikasi karena menunjukkan’kelas kepriyayian’. Namun seiring dengan pergeseran nilai moral dan etika pergaulan dari jaman ke- jaman, etika dalam berkomunikasi pun makin kabur dan tak memiliki standar kepatutannya lagi. Dewasa ini dalam pergaulan, cara berkomunikasi yang sesuai dengan etika kepriyayian jaman dulu cepat dianggap sebagai sebuah bentuk kelemahan. Karena jaman kapitalis yang serba keras dan kompetitif ini menilai alur berkomunikasi secara halus dianggap sebagai bentuk komunikasi yang feminin. Dan dianggap tidak mewakili bahasa maskulin yang sarat dengan saling mengirim pesan yang bertujuan saling mengukur kekuatan baik itu kekuatan financial serta kekuatan kekuasaan. Sebenarnya bentuk komunikasi ini secara tidak langsung didapatkan oleh berbagai kalangan dari gaya dialog film yang sering dilihat dan didengar oleh masyarakat. Umpatan, makian, dan sumpah serapah dalam film tersebut tertanam dalam benak anak muda dan dianggap cool.

 Di wilayah negara Barat sendiri menyumpah disebut dengan swear  atau curse , yang berarti kutukan dalam bahasa Indonesia. Soal sumpah serapah ada sedikit perbedaan antara Indonesia dan Barat. Kalau di Barat yang dikatakan menyumpah serapah itu adalah jenis kata- kata makian semisal “son of a….”. namun menyumpahi dalam budaya timur berarti mendoakan buruk atau mengutuk pada lawan bicara. Derasnya gaya bahasa ala barat yang diserap oleh publik kita ini sejatinya merupakan cross culture communication atau komunikasi lintas budaya, karena ada perbedaan cultural yang mendasar. Kebudayaan komunikasi ala Hollywood didasari pada gaya bahasa awal mula terbentuknya koloni-koloninya, yakni masyarakat miskin imigran dari Eropa sebagai penduduk awal, berkembang menjadi gaya bahasa cowboy, yang menekankan sumpah serapah agar terkesan macho.
Sementara itu sebagai bangsa yang berbudaya timur, gaya komunikasi masyarakat kita dari berbagai suku bangsa diadaptasi dari kelas menengah yang terpelajar yang dekat dengan sumber kebudayaan baik itu istana raja, keraton, kesultanan, kemudian nilai etika itu mengalir pada kelas di bawahnya. Seperti gaya bahasa yang dipakai oleh para bangasawan, pujangga, semacam syair-syair bernuansa religius, yang mementingkan unsur estetika dalam berkomunikasi. Namun sayangnya pada kenyataan yang sedang berlangsung, kemampuan menyusun unsur estetika dalam berkomunikasi ini mulai meluntur dalam masyarakat kita di semua kelas pergaulan, seiring dengan menguatnya nilai-nilai premanisme di segala bidang. (*)

Senin, 04 Maret 2013

Diklat Jurnalistik FKW oleh PPWI Penyegaran bagi Wartawan



FKW (Forum Komunikasi Wartawan) Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan bekerja sama dengan PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) mengadakan Diklat Jurnalistik untuk memberikan wawasan dan pembelajaran bagi para anggotanya terutama di bidang Jurnalistik.

Diklat ini berlangsung di Hotel New Idola, Jl Pramuka Raya, Jakarta pada tanggal 4-6 Maret 2013.  Tujuan diadakan pelatihan ini yang pertama adalah untuk menjalin tali silaturhami antar anggota FKW dan PPWI dan kedua adalah untuk menimba pengetahuan terbaru di bidang jurnalistik.

Dalam pelatihan ini dititikberatkan bahwa para anggota FKW harus mampu mengadapatasi cara jurnalistik terbaru yakni Quick News dan  etika jurnalsitik.

Tampil sebagai pembicara adalah ketua umum PPWI  yakni Wilson Lalengke, dan juga pembicara pengajar jurnalistik yakni Mung Pujanarko.  Dalam diklat ini menurut para peserta sangat membantu  dalam  menimba  ilmu jurnalistik. “Dalam diklat ini saya merasakan adanya penyegaran dalam bidang kewartawanan, dan banyak hal yang kita dapatkan di sini” ujar Gusti, Pimred tabloid  X-Kasus, Tanah Bumbu.

Sedangkan bagi peserta lain yakni Muaz selain silaturahmi adalah kebanggaan bagi daerah, karena wartawan yang memiliki banyak karakter bisa berkumpul dan belajar bersama,”papar Muaz selaku wartawan harian media kalimantan.

Nanang Rusmani Ketua FKW Tanah Bumbu (kiri-pakai baju bergaris), Mung Pujanarko (kanan-baju biru)

 Ketua FKW (Forum Komunikasi Wartawan) Tanah Bumbu- Kalimantan Selatan, Nanang Rusmani menyatakan bahwa pihaknya mendukung penuh agar para wartawan dan insan pers di Tanah Bumbu Kalimantan Selatan agar mau masuk dalam organisasi profesi.
 Pada kesempatan Diklat Jurnalistik yang digagas oleh FKW Tanah Bumbu di Hotel New Idola, Jakarta Timur, pada hari senin (4/3) Nanang Rusmani menyatakan bahwa wartawan adalah profesi strategis bagi perkembangan daerah dan bagi otonomi daerah. “Untuk itu saya pribadi mendukung  agar wartawan di Tanah Bumbu yang belum ada perkumpulan organisasi untuk nantinya masuk ke dalam organisasi profesi yang resmi misal FKW, PPWI atau PWI, untuk mendukung keberadaan wartawan itu sendiri,” papar Nanang Rusmani.
Dirinya juga mengatakan bahwa di Tanah Bumbu, keberadaan wartawan juga dibutuhkan untuk mengangkat potensi daerah Tanah Bumbu. “Kami dari FKW, bukan merupakan corong Bupati, namun sebagai warga Tanah Bumbu, kami juga memiliki kewajiban untuk mengangkat kebaikan dan potensi Tanah Bumbu,” lanjutnya.
Dengan begitu, menurutnya, tingkat independensi wartawan Tanah Bumbu bisa terjaga dan tidak diintervensi oleh pihak manapun. “Contohnya dengan pelaksanaan Diklat Jurnalistik FKW bekerja sama dengan PPWI pusat, maka inipun sebagai kerja keras untuk melaksanakan independensi wartawan Tanah Bumbu, saya pribadi berterimakasih  kepada PPWI yang telah memberikan motivasi, dan penambahan wawasan serta silaturahmi yang baik kepada FKW Tanah Bumbu,” urai Nanang Rusmani.  (*)

Senin, 11 Februari 2013

Refraksi Pesan Komunikasi Politik



Tulisan ini merupakan ide (hasil olah pikir) saya mengenai adanya fenomena pesan dalam ranah komunikasi politik yang kerap disalah-artikan oleh publik sebagai receiver (penerima) pesan, sehingga terjadi : Refraksi Pesan Komunikasi Politik
Refraksi (Refraction)

Saya analogikan sebagai peristiwa dalam pembiasan sebuah pensil yang dimasukkan air dalam gelas sehingga terlihat pensil itu bengkok. Peristiwa pembiasan atau refraksi (refraction) ini dikarenakan adanya benda dari intensitas kerapatan medium rendah masuk ke dalam intensitas kerapatan tinggi maka benda tersebut terlihat mengalami pembiasan.  Hal ini dijelaskan dalam hukum ke-II Snellius berbunyi “ Jika sinar datang dari medium kurang rapat ke medium lebih rapat (misalnya: dari udara ke air atau dari udara ke kaca), maka sinar dibelokkan mendekati garis normal. Jika sebaliknya, sinar datang dari medium lebih rapat ke medium kurang rapat maka sinar di belokkan menjauhi garis normal".

Dalam analogi refraksi pesan pada Komunikasi Politik saya contohkan kasus adanya seorang pemimpin majelis tinggi parpol (High Court Party) yang mengomunikasikan politik kepada publik dengan mengambil alih pimpinan sebuah partai politik dari tangan ketua umum. Sementara sang ketua umum tetap menjabat sebagai ketua umum, namun tupoksi sang ketua umum beralih kepada pemimpin majelis tinggi partai (high court party) ini.

Dalam analogi refraksi pesan,  pesan (message) adalah pensil yakni : pesan dari kalangan elite politik yang menggunakan segala bahasa komunikasi politik, dari lingkungan yang analoginya adalah elit partai atau segelintir elit partai (kerapatan rendah) dan masuk ke dalam air - analoginya sebagai publik, massa - karena memiliki kerapatan yang jauh lebih tinggi. 

Terjadi refraksi (pembiasan) pesan karena publik awam melihat bahwa pensil (message) ini telah bengkok (refraksi) akibat kesulitan kalangan awam untuk mencerna (decode) apa maksudnya ada dua pemimpin utama dalam satu partai (kelompok) ? Penduduk desa kan tahunya kepala desa cuma satu.

Refraksi dalam pesan politik acapkali terjadi karena pihak pengirim pesan tidak secara terang-terangan mengungkapkan apa maksudnya. Sampai beberapa waktu lamanya, publik hanya bisa menebak-nebak, apakah bertujuan sedang menyelamatkan partai ?, menyelamatkan orang-orang tertentu ?, atau justru menyelamatkan sang ketua umum non aktif yang sedang terindikasi terlibat masalah korupsi ? Politik, jika ingin publik mendukung (sebaiknya) dikomunikasikan secara jelas, karena publik tahunya politik itu siasat demi siasat. Dan sejak jaman Majapahit, publik tahunya politik  itu muslihat demi muslihat yang lihay. “Minteri orang,” kata orang desa. Pintar dan 'memintari' bagi orang desa itu lain artinya.

Refraksi sering ditangkap oleh publik selaku awam, bahkan awam sekali karena tingkat pendidikan yang sangat rendah. Publik di tingkat amat bawah (jurang massa) tepat pada tingkat bottom atau dasar sekali, mayoritas sedikit sekali pemahamannya pada politik. Publik hanya tahu kalau ada oknum-oknum di partai politik tertentu yang terlibat bahkan divonis korupsi.  Dan, karena kasusnya terlanjur jelas bagi publik, maka komunikasi politik pada publik juga (sebaiknya jelas), agar publik mengerti. 

Publik adalah simpel, kalau pesan tidak simpel, berbelit-belit sulit dimengerti, pakai majas eufimisme,  misal pakai istilah ‘konspirasi’ dll, segala macam istilah yang sulit-sulit, istilah-istilah strata akademik yang hanya biasa dalam ranah akademik, dan tak bisa ditebak publik (sebaiknya jangan) dikomunikasikan pada publik. Kalau toh tetap dipaksakan untuk menimbulkan refraksi pesan, ya... itu bisa dianggap sebagai Hak Asasi Manusia pelaku komunikasi politik. (*)

Oleh : Mung Pujanarko
Pudek III FIKOM Universitas Jayabaya

Selasa, 29 Januari 2013

Resepsi Publik atas Aktivitas Selebritis

 Resepsi berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas yaitu, pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga memberikan respon terhadapnya.

Publik selalu tertarik dengan aktivitas selebritis, karena selebritis adalah role model atau cerminan karakter dari setiap bagian individu pada masyarakat.

Adanya informasi media yang senantiasa mengangkat aktivitas selebritis, selalu dinanti oleh masyarakat, terutama berita terbaru mengenai aktivitas selebritis.

Jadi, jika publik kemudian mengetahui ada aktivitas selebritis yang memakai jenis narkoba baru, atau narkoba yang lama tapi baru dikenal, dalam satu kasus penangkapan selebritis, maka publik langsung mengarahkan spot light nya ke kasus selebritis ini.

Selebritis ini kemudian juga ikut mengangkat nama narkoba jenis baru, yang padahal bukan sebuah hal yang baru. Dalam blog saya ini saya telah menulis pentingnya komunikasi dengan para penyalah guna narkoba, termasuk penyalahgunaan beberapa jenis designer drug atau narkoba jenis baru yang selalu dibuat (di design) untuk memenuhi permintaan pemadat terutama untuk mengecoh hukum.

Hukum, yakni segala UU Narkotika dan lampirannya, telah mengatur hampir segala jenis narkotika dan hukuman bagi penyalah-gunaannya, namun yang namanya orang mau toxicated atau mau have fun dengan pakai obat, maka akan terus mencari narkotika baru yang bisa menjadi stimulan bagi penyalah gunaannya.

Saya juga pernah menulis di blog ini di http://mung-pujanarko.blogspot.com/2012/04/komunikasi-internal-pemakai-narkoba.html tentang gawatnya narkotikan jenis designer drug antara lain jenis cathinone, yang juga baru-baru ini turut ‘dipopulerkan’ oleh kasus penangkapan selebriti.

Tanaman Catha edulis (khat) sumber foto : http://ekhat.org

Tanaman Catha edulis, juga untuk 'on' para junkies, sumber foto :
http://somalilandtimes.net
Cathinone, atau benzoylethanamine (dipasarkan sebagai nama Hagigat di Israel), adalah alkaloid monoamina ditemukan di tanaman semak  Catha edulis  (Khat) dan secara kimiawi mirip dengan amfetamin efedrin, Katin dan lainnya. Cathinone membuat efek stimulan dari sifat Catha edulis. Cathinone berbeda dari amfetamin lain bahwa ia memiliki kelompok fungsional keton. Amfetamin lain yang berbagi struktur ini termasuk antidepresan bupropion dan methcathinone stimulan.

Secara internasional, cathinone adalah obat di bawah Konvensi tentang Psikotropika. DEA (Drug Enforcement Agency) menambahkan cathinone ke Jadwal Controlled Substances Act I.

Jadi dengan adanya message yang diterima oleh publik bahwa ada selebritas yang digerebek, dikaitkan dengan adanya narkotika Cathinone (katinona) yang baru dikenal publik, juga jenis Methylone, yang juga dikenal sebagai sebutan "M1" rumus kimia 3,4-methylenedioxy-N-methylcathinone, maka publik akan segera menangkap pesan ini, terutama sisi selebritasnya, juga sisi narkotika yang masih 'asing' bagi publik. Padahal sejatinya,  jenis narkotika Cathinone (katinona) dan turunan-turunannya sudah jelas diatur dalam Lampiran 1 UU Narkotika No 35 tahun 2009.  Lengkapnya adalah dalam Lampiran 1 (satu) UU Narkotika No 35 tahun 2009 adalah :

Lampiran 1 (satu)  Daftar Narkotika Golongan 1 (satu) :

Nomer  35. KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon
Nomer 39. METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on

Ketentuan hukumannya diatur menurut Pasal 112 UU Narkotika Nomer 35 tahun 2009 :

Pasal 112
 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
 -------------------------------------------------------------------------------------------------------

Begitulah ketentuan hukuman orang yang pakai narkotika jenis cathinone (katinona), dan derivat nya disebut methylone yang diproses dari tanaman Khat. Ini penting diketahui khalayak umum karena memang sampai kiamat pun saya kira akan selalu ada jenis narkotika baru dari tanaman apa saja, karena kalau orang hanya mau mendapat stimulan baik teler atau euphoria dari obat, maka junkies akan selalu menemukan jalannya.

Cathinone sintetik juga sering digunakan sebagai bahan utama obat narkotika rekreasi campuran umumnya dikenal sebagai 'garam mandi' (bath salt) di Amerika Serikat.

Jadi designer drug atau obat-obat narkotika yang didisain khusus untuk mengecoh hukum agar bisa digunakan untuk have fun akan selalu ada di Dunia Fana ini sampai kiamat. Maka itu pesan bagi orang-orang terdekat kita adalah : jika ingin have fun maka jangan pakai obat dan segala macam stimulan penyalahgunaan narkotika. Karena kalau mau have fun maka masih banyak caranya selain pakai obat-obatan. Olah raga juga have fun. Nonton stand up comedy malah sangat have fun menurut saya. Sedangkan pacaran adalah have fun yang beresiko : hamil, kehilangan keperjakaan, kehilangan selaput dara, juga resiko tertular penyakit seksual dan penyakit mematikan lainnya.

Tapi saya juga merasakan bahwa susah memang memberitahu manusia tentang cara yang lebih baik untuk have fun karena Mo Limo yang juga saya tuls di blog ini yakni : madat, madon, minum, main, maling semuanya adalah ‘have fun’ juga menurut syaithan yang membisik-bisikkan cara have fun yang paling 'asyik' bagi manusia. Akhinya para ahli komunikasi harus kembali pada filsafat komunikasi yang memberitahukan terutama pada manusia bahwa have fun harus punya tanggung jawab sosial (social responsibility) dan individual responsibilty.

Resepsi publik demikian intens pada kasus selebritas, sehingga apapun yang dilakukan selebritas cenderung menjadi inspirasi publik, baik secara alam bawah sadar publik, atau terang-terangan ingin seperti idolanya.
Memang selebritas yang kemudian merusak dirinya akan segera diresepsikan sebagai tindakan yang 'cool' dimata para fansnya. Apa mau dikata, karena sebagian orang merasa punya hak untuk merusak diri sendiri. Namun merusak diripun pada akhirnya juga menyusahkan masyarakat. Jika self destruction ini terjadi pada jaman 20.000 tahun yang lalu, saat manusia sudah kenal pakai narkotika jenis jamur psylocibin, maka jika ada orang yang kerjaannya have fun pakai magic mushroom (psylocibin) melulu, tak mau berburu, tak mau bekerja untuk komunitas manusia, maka sang ancient junkies itu diumpankan saja pada serigala, maka bereslah urusan dan beban komunitas. (*)

Lautan kesengsaraan penyalahgunaan narkoba (meski jenis baru) tak bertepi, meskipun narkoba bisa kuat sex, kuat kerja, dan kuat senang-senang (have fun), menepilah sebelum terlambat.
Mung Pujanarko

                       

Kamis, 24 Januari 2013

Jurnalistik Berkembang


Kamis, 24 Januari 2013 19:09 
Jurnalistik sebagai Ilmu berjenjang hingga tingkat pasca strata tiga, bukanlah ilmu statis. Suatu ketika ada the old journalist angkatan pers tahun 60-an mengatakan pada saya “Oh Dik, jurnalistik itu ya dari dulu sampai sekarang ya 5W 1H itu, gak ada lagi, sama dik sampeyan kayak saya, saya tahun 1960-an juga belajar teori Harold Laswell itu, habis itu ya tinggal ketik berita kita, bereslah,“ ujar The Oldman itu kepada saya dengan raut wajah senior.

Saya buru-buru menganggukkan kepala sambil nyengir kuda, karena biar bagaimanapun beliau adalah tokoh sepuh jurnalistik Indonesia. Jadi yang yunior atau usia di bawah harus hormat agar kita tak 'kualat' sama orang tua. Apalagi Teori Harold Laswell sudah ada sejak Laswell meluncurkan karya klasik yang ditulisnya pada tahun 1948 yang berjudul "The Structure and Function of Communication in Society".

Sebenarnya jurnalistik sebagai sebuah ilmu jurnal lekat dengan Teori Framing. Teori Framing dikenal oleh kalangan penggiat Keilmuan Jurnalistik dengan 4  (empat) teori besar yakni  Teori Framing Murray Edelman (Constable Catagories and Public Opinion (Edelman, 1993), kemudian Teori Framing Robert N Entman dalam “Framing : Toward Clarification and Fractured Paradigm (Entman, 1993), Kemudian Teori Framing milik Wiliam A Gamson  yang pasti oleh pelajar jurnalistik dikenal sebagai Agregat Frame, Consensus Frame dan Collective Action Frame. Dan yang paling banyak pengikutnya (termasuk saya) adalah  teori Framing Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki atau kerap disebut teori Framing ‘Pan-Kosicki’.

Dalam konsep framing yang kerap saya jadikan acuan ini, saya suka Framing 'Pan-Kosicki' karena lebih cocok dengan alur jurnalisme Asia terutama alur jurnalisme Indonesia yang reasoning-nya berbeda dengan alur Jurnalisme barat.

Dalam framing devices Pan dan Kosicki detail story jelas sekali dibedah dalam 4 (four) devices framing Pan-Kosicki yang tentunya sudah sangat dihafal oleh mahasiswa Jurnalistik berjenjang, yakni : Struktur  Sintaksis,  Struktur Skrip, Struktur Tematik dan Struktur Retoris, dalam hafalan mahasiswa jurnalistik biasaya disingkat SSTR. Dalam struktur sintaksis, skrip, tematik dan retoris ini bisa ditandai dengan catchphrase dalam story (news / feature).

Dalam jurnalistik yang berkembang sering dengan berkembanganya teknologi informasi, kini dengan framing devices, jurnalis dapat terbantu dalam menggunakan alur yang lebih taktis dalam menyusun sebuah berita atau artikel, tergantung pada media jenis apa berita itu akan dimuat (ex: cetak, audio, auvi, dotcom).

Sebelum saya lanjutkan mungkin pembaca ada yang lebih suka dan cocok menggunakan teknik framing selain Pan Kosicki, mungkin Entman, oke saja,  hanya saja saya lebih suka teknik framing Pan-Kosicki. Dalam frame Pan-Kosicki dengan mudah dijelaskan bahwa jurnalis, akan mudah mengorganisasikan ideologi teks, ke dalam struktur story (bisa news atau feature).

Teknik Framing juga dapat dipergunakan oleh jurnalis untuk dengan mudah menggabungkan 5W 1H nara sumber pertama (atau biasa disebut dengan Source 1), dengan 5W 1H nara sumber kedua (Source 2) tanpa ada ‘gronjalan’ (Jawa : ganjalan) dalam tulisan. Menggabungkan dua alur narasumber (bisa saksi berita, bisa alur peristiwa) dengan mulus  sehingga terjadi multiple 5W1H secara terkontekstual  dalam sebuah story, dapat dibuat dengan membuat Konjungsi. Dalam Jurnalistik, Konjungsi adalah kata yang menghubungkan kata dengan kata, frase (phrase) dengan frase, ataupun kalimat dengan kalimat.

Dimana dalam ilmu jurnalistik dipelajari mendalam tentang konjungsi dan jenis-jenis konjungsi, sebagai pelengkap pemahaman framing. Misalnya jenis-jenis konjungsi : Konjungsi koordinatif, adalah konjungsi yang menggabungkan dua klausa yang memiliki kedudukan setara. Dan empat jenis konjungsi lain (dalam Jurnalistik sekali lagi dikenal adanya 5 Konjungsi), yakni, Konjungsi Antar Kalimat ; Konjungsi Antarparagraf ; Konjungsi Korelatif : Konjungsi Korelatif adalah konjungsi yang menggabungkan dua kata , frase atau klausa dan hubungan kedua unsur itu memiliki derajat yang sama.
Dan Konjungsi Subordinatif, yakni menggabungkan dua klausa atau lebih yang memiliki hubungan bertingkat.

Adalah benar bahwa 5W 1H memang teori dasar Harold Laswell yang dikenal dengan nama 'Formula Laswell', selebihnya ilmu jurnalistik selaku ilmu sosial berkembang mengikuti arah society itu sendiri berkembang, jika society sekarang menuju ke arah perkembangan teknologi komunikasi (pertekkom) terkini dan senantiasa updating, maka dari perangkat-perangkat ilmu jurnalistik terutama Framing dan Semiotika akan menyesuaikan secara alamiah (ilmu adalah natural) bahkan membantu memberikan formula yang pas bagi para jurnalis (terutama jurnalis yang memang berasal  dan berlatar belakang pendidikan jurusan ilmunya kompeten yakni : Ilmu Jurnalistik) dengan kemajuan jaman teknologi informasi. (*)

Mung Pujanarko, M.Ikom : Alumnus FISIP Universitas Negeri Jember (UNEJ), Alumnus Program Magister Jurnalistik IISIP Jakarta, Pudek III FIKOM Universitas Jayabaya, Pimred dan Co Founder situs www.suararakyatindonesia.com, Penasehat situs www.newsflashjakarta.com, Anggota PPWI, Dewan Redaksi http://www.pewarta-indonesia.com, Instruktur Jurnalistik Organisasi PPWI, Dosen tidak tetap pada Jurusan Jurnalistik Universitas Bung Karno (UBK),  STIKOM Indonesia Maju (STIKOM-IMA) Jakarta, Jurusan Jurnalistik Univ Djuanda-Bogor.
Next >

Selasa, 22 Januari 2013

Menyambut Era Kemunculan Solo Jurnalis Indonesia

Dari metamorfosis Citizen Jurnalis pelan-pelan namun pasti akan menjadi bibit-bibit Solo Jurnalis Indonesia. Solo Jurnalis (SoJo) Indonesia harus memenuhi pengetahuan yang lebih dalam tentang kode etik jurnalisme, terutama yang telah dikeluarkan oleh  Dewan Pers, yakni :



Isi :



PERATURAN DEWAN PERS

Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008

Tentang

PENGESAHAN SURAT KEPUTUSAN DEWAN PERS

NOMOR 03/SK-DP/III/2006 TENTANG KODE ETIK JURNALISTIK SEBAGAI PERATURAN DEWAN PERS



Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk

menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran

Cara-cara yang profesional adalah:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b. menghormati hak privasi;

c. tidak menyuap;

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran

a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran

a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran

a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran

a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.

c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran

a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum

mengetahui secara jelas.

b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran

a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain

yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran

a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.

b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran

a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

(sumber : dewan pers.org)



Kemudian selain 11 Kode Etik Dewan Pers, Jurnalis juga harap dibekali dengan pengetahuan tentang UU Pers no 40 tahun 1999 yang kemungkinan akan segera direvisi dan diamandemen ulang, karena alasan yang pertama sekarang sudah era tahun 2000-an yang kental diwarnai dengan media sosial dan gadget-gadet yang mendukung. Selanjutnya agar selamat, Solo Jurnalis juga harus mengetahui  UU ITE.  UU ITE yang telah menjerumuskan Prita Mulyasari ini bisa dibaca sendiri di berbagai sumber.

Para Solo Jurnalis Indonesia nantinya adalah mereka yang tadinya menyuarakan beritanya kepada situs-situs berita yang bernama besar yang mewadahi aktivitas citzen jurnalis yang tanpa ada imbalan bagi para CJ. Tadinya, motivasi utama para CJ yang mengirimkan beritanya ke situs-situs bernama besar adalah dengan harapan awal : nama CJ ybs (yang bersangkutan) juga ikut besar dan terkenal. Minimal ingin terkenal lewat media terkenal (katut terkenal gitu), namun lambat laun setelah memposting ratusan artikel dan foto karya sang CJ, kok ya tetap saja yang besar adalah nama media yang telah besar itu.



Jadi jika para CJ bisa punya media sendiri meskipun itu blog atau pun dotcom independen, maka siapa yang bisa memberangusnya ? Apakah bikin media online di Indonesia harus punya SIUPP dulu kayak bikinan Orde Baru, kalau pun ditetapkan demikian oleh desakan kapitalisme media besar, maka sama saja dengan monopoli informasi, monopoli media.



Monopoli informasi atau kartel informasi telah lama diramalkan oleh pakar media Dennis McQuail dalam banyak bukunya, bisa dibaca sendiri terutama “Mass Media Theory, (2005)”. Isinya bagus yakni pakar-pakar media setingkat Dennis McQuail telah meramalkan bahwa kelak media-media independen atau media gurem bakalan rontok karena monopoli dari kartel-kartel media besar, karena sifat kapitalis yang memang begitu (serakah sebagai sifat alami manusia dan cenderung monopoli). Namun untungnya jika media online milik individu nantinya bakalan diregulasi habis-habisan hingga tak tersisa dotcom independen yang bukan milik media mogul (kaisar media), maka untungnya masih  ada blog.



Jika blog juga nantinya rontok oleh keserakahan kartel media informasi, yang mendesakkan regulasi kepemilikan media kepada penguasa,  maka untungnya masih ada media sosial.  Intinya nantinya para solo jurnalis ibarat lapak kecil yang diharapkan masih bisa berdagang meksipun di sampingnya ada hyper market (media raksasa), supermarket (media holding milik raksasa juga) dan mini market (media lebih kecil tapi masih dalam grup raksasa juga). Karena ibarat pasar, saya pernah melihat pedagang kebetulan orang yang ulet, dia dapat berdagang buah jambu meskipun di seberang jalannya ada supermarket yang juga jual jambu.  Katanya bijak : "Lho Tuhan kan kasih rejeki sesuai kehendak-Nya".

Mungkin juga sedikit utopia bagi kalangan pesimistis yang menyangsikan dapatkah Solo Jurnalis timbul di Indonesia, karena kartel media besar di Indonesia demikian rambahannya ke semua lini kekuasaan ekonomi, sosial dan politik.

Utopia atau tidak utopia, SoJo telah berkembang di dunia negara maju yang kapitalis medianya lebih dashyat dari Indonesia.

Maka nantinya para CJ Indonesia yang telah  paham jurnalistik terutama 6M : Mencari, Memperoleh, Mengelola, Menyimpan, Menyajikan dan menyampaikan informasi yang akurat, maka akan mendorong era muncunya Solo Jurnalis Indonesia.

Solo Jurnalis akan muncul secara alamiah, sebagai konsekuensi berkembangnya kebebasan informasi. Solo Jurnalis yang muncul dalam fase pertama di Indonesia adalah para Solo Jurnalis yang mencari pemasukan dari liputan-liputan ringan namun diminati oleh pembaca seperti promo kuliner, promo wisata dan promo traveling, dengan kepastian sang SoJo nya punya hubungan baik  dengan agency-agency tempat usaha itu.

Pada fase berikutnya tidak menutup kemungkinan para Solo Jurnalis Indonesia akan menerjunkan diri mereka ke liputan-liputan yang bersifat tersendiri (special interest) yang dikuasai benar medan dan situasinya oleh para Solo Jurnalis yang kelak akan bertumbuhan setelah era pewarta warga indonesia (Citizen Jurnalis Indonesia) mencapai puncaknya.



Meskipun ada Bos Media besar yang dengan pongahnya berkata : "Mana sih ada Solo Jurnalis di Indonesia yang dapet duit, sebutkan," jawabnya : "Ada namun jika kami sebutkan maka pasti akan engkau rampas pula  'lapak'nya,".

Maka tengok saja para SoJo yang telah memiliki nama di Amerika Serikat, mereka benar-benar menguasai bidangnya, dan pemasukan materi mereka pun banyak didapat dari iklan. Karena satu hal : para pengiklan itu tahu bahwa para solo jurnalis yang telah profesional tidak akan berbuat satu hal : dusta. SoJo di Amerika terkenal karena mereka tak pernah dusta.

Kejujuran, dan liputan apa adanya tanpa ada presensi dan pretensi bias politik menjadi daya tarik liputan Solo Jurnalis di Amerika.

Karena di mana saja para pemilik media adalah: menjadi mesin politik, atau aktor politik, serta berpolitik baik politik nasional maupun klik politik internasional yang lebih panjang dan luas visi dan misnya, juga didekati kekuatan politik di negara mana saja. Pemilik media (media mogul) dan politik ibarat sisi koin mata uang yang tak bisa dipisahkan. Mungkin saja seorang pemilik media tak berpolitik secara nasional, tapi sebenarnya visinya adalah pan-internasional, dengan visi dan misi yang jauh melebihi sekadar batas negara semata. (*)

Mung Pujanarko

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons