Saya baru
saja -belum setahun- belajar menggunakan media chat sosial. Saya tidak memiliki
akun FB atau twitter (tidak aktif).
Saya
mengikuti grup chat di Whatsapp saja. Mulai dari grup wa smp, sma hingga grup kawan
kuliah dulu.
Kesamaan
primordial membuat saya nyaman mengikuti grup chat. Karena kesamaan pernah satu
sekolah, satu organisasi.
Juga
rata-rata orang yang satu grup chat itu, sudah saya kenal
sebelumnya.
Siaran chat
dalam grup yang saya amati selalu ada orang yang memulai melempar topik, dan ada
yang menimpali.
Dalam sehari di grup-grup Whatsapp berdasarkan satu ikatan primordial yang saya ikuti, biasanya di pagi hari saat mulainya aktivitas, ada saja teman yang melakukan opening salam. Ini juga saya sebut sebagai wacana yang dilempar atau disajikan di grup percakapan (chat).
Kemudian barulah ada pihak-pihak atau kawan-kawan sebagai penanggap wacana tersebut.
Wacana bisa berbentuk teks, foto, video, animasi dan lain sebagainya bentuk pesan.
Wacana-wacana ini kemudian ada yang mendapat respon atau tanggapan ada pula yang tidak, melainkan hanya dibaca saja.
Responnya juga ada yang umpan balik positif ada pula yang umpan balik negatif.
Tidak jarang sampai ada yang keluar dari grup.
Alasan keluar dari grup chat ini beragam. Rata-rata berkaitan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk rasa aman, atau rasa puas, sebagai piramida kebutuhan sosial.
Setidaknya ikatan primordial ini juga belum cukup kuat sebagai ikatan yang membentuk sebuah grup chat.
Juga ada yang diam atau silent reader.
Paling tidak
dengan mengikuti chat grup yang primordial bagi saya seperti mengikuti siaran
dialog. Dialog dari kawan-kawan dan orang yang relatif sudah saya kenal.
Meski saya jarang aktif namun rasanya cukup terhibur dengan mengikuti rangkaian chat dialog.
Cukup
membuat saya nyaman sebagai makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan sesama.
Hanya saja
mengubah bahasa tutur seketika menjadi bahasa tulis memang tidak seketika
otomatis.
Karena dalam bahasa tulis, teks yang kita ketik tidak diikuti oleh gesture
dan intonasi ucap yang mendukung komunikasi.
Namun tetap
saja menarik untuk terus diamati dan dipelajari bagaimana membuat bahasa tulis menjadi sederhana meski kurangnya rasa emosional di dalam bahasa teks itu. Emotico karena terbatas juga dirasa sulit mewakili emosi yang tersirat oleh jiwa.
Bagi
anak-anak usia belajar sudah saatnya anak-anak juga dibekali dengan kemampuan
menulis teks sebagai bahasa tulis yang baik untuk dipergunakan dalam percakapan
di media sosial. (*)
0 komentar:
Posting Komentar