Tulisan ini saya ketik, ketika sedang menunggu jadwal masuk kelas. Biasanya waktu luang 10-15 menit saya isi dengan membaca atau menulis.
Inipun adalah jurnal saya pribadi, karena saya yakin bahwa tulisan-tulisan saya, bila saya baca ulang kelak akan menyegarkan ingatan saya kembali.
Saya
berusaha mengingat-ingat kembali
pengalaman saya memakai media sosial (medsos).
Media sosial
tidak banyak saya gunakan.
Akun FB (facebook) saya tidak punya.
Akun Twitter, saya punya, namun tidak aktif.
Akun
Whatsapp punya, karena memang untuk mempermudah berkomunikasi seputar pekerjaan.
Saya lebih suka memilih bentuk media seperti whatsapp obrolan kelompok, karena homogenitas kesamaan dan ikatan primordial sesama anggota kelompok / grup yang saya anggap cocok bagi saya (subyektif).
Saya
mengikuti beberapa grup whatsapp diantaranya grup alumni smp, alumni sma hingga alumni di bangku
universitas.
Semuanya memiliki kesamaan ikatan primordial.
Juga ada grup w.a yang saya ikuti karena selera humor yang relatif sama, kesamaan minat.
Ada yang
unik ketika saya ikut dalam grup obrolan atau dikatakan grup komunikasi antar anggota yang ada di beberapa grup.
Di grup obrolan kelompok ada pengguna yang cenderung diam yang biasa dinamakan 'silent reader'.
Ada juga
yang biasa mengunggah atau memposting teks, gambar serta video.
Posting yang
biasa diunggah adalah seputar informasi umum seputar lowongan, dll.
Bisa juga
informasi yang lucu-lucu atau humor.
Namun,
memang komunikasi tulis ini merupakan ketrampilan yang sejatinya tidak semua orang pandai
menguasainya.
Masyarakat
sejak sewindu belakangan ini mulai asyik menggunakan bentuk komunikasi verbal secara tertulis untuk mengekspresikan perasaan dan
mengekspresikan pesan.
Komunikasi
tulis ini menurut saya memiliki kekurangan dan kelebihan.
Komunikasi tertulis
yang kini banyak digunakan masyarakat luas secara intens untuk mengobrol dan berkomunikasi
dalam grup, saat berkomunikasi interaktif dengan dua, tiga empat dan lebih orang sekaligus tidak ditunjang dengan komunikasi non verbal seperti gesture atau bahasa
tubuh.
Komunikasi lebih efektif apabila ada dua unsur :
- Komunikasi verbal
-Komunikasi non verbal
Mimik wajah gerak tubuh sebagai bentuk komunikasi non verbal amat menunjang komunikasi verbal.
Jadi ketika komunikator mengucapkan kata yang diiringi
dengan gesture akan lebih efektif ditangkap oleh komunikan secara sirkuler timbal balik.
Namun dalam komunikasi kelompok antar pengguna aplikasi ngobrol atau chat,
kurangnya emoticon yang tersedia menjadi kekurangan aplikasi komunikasi kelompok.
Kekurangan varian emoticon ini terkadang kerap kendala tersendiri.
Jika mengobrol langsung, manusia biasa menggunakan bahasa tubuh seperti gerak, dan mimik untuk melancarkan isi pesan.
Namun dalam bentuk komunikasi tertulis yang diketikkan dengan bahasa tulis, tak jarang ada yang saling tersinggung ketika bahasa ucap berusaha seketika dirubah menjadi bahasa tutur tulisan, yang kekurangan makna gesture (non verbal) di dalamnya.
Berkomunikasi dengan tulisan (teks) tanpa menggunakan bantuan mimik wajah, intonasi, atau bahasa tubuh seperti halnya gerakan, memang tidak semudah seketika merubah bahasa ucapan lisan, seketika dalam bahasa tutur tulisan.
Kekurangannya ada pada 'sense', ada 'rasa' pada makna unik yang hanya bisa didapat ketika seseorang menggunakan bahasa verbal dan non verbal secara saling menunjang.
Maka kadang dalam pola komunikasi yang dituangkan dalam teks terutama ada medsos chat atau pada media teks interaktif, seringkali kehilangan rasa makna yang hendak disiratkan.
Karena tidak semua yang hendak ingin disiratkan bisa tersuratkan.
Tidak semua yang dapat tersirat dalam bentuk komunikasi langsung tatap muka secara langsung bisa seketika disuratkan.
Untuk itulah jaman dahulu ada ilmu surat menyurat guna menyusun surat.
Siratan pesan dalam tulisan verbal dan non tulisan (non verbal) bisa berbeda maknanya seperti halnya pada yang tersurat.
Bahasa tutur dengan makna yang lebih kekinian dengan banyak varian intonasi dan varian idiom akan lebih sulit untuk seketika dirubah menjadi bahasa tulis.
Meski tidak mutlak, melainkan relatif namun bentuk perubahan seketika atau dipaksa-nya bentuk bahasa ucap populer yang seketika diubah menjadi bahasa tulis, ini
banyak membuat miskomunikasi dalam sebuah obrolan di dalam kelompok.
Maka itu banyak orang (lebih banyak) yang memilih menjadi 'silent reader' atau pembaca diam dan tidak
ikut jenjang obrolan karena enggan untuk berpikir dan menimbang beberapa unsur : unsur kepatutan/ kesopanan, juga unsur tenggang rasa, takut salah persepsi dalam menyusun kalimat, guna menyusun pesan yang tersurat.
Ketrampilan tulisan ini memang seyogianya dilatih dengan seringnya mengungkapkan ekpresi pesan melalui tulisan, sehingga berkomunikasi via tulisan akan
menjadi hal yang mudah.
Belum lagi ketika perasaan emosi yang berbeda antara individu dalam menanggapi atau menerjemahkan isi pesan tulisan.
Dalam memahami perasaan ini akan lebih mudah saling memahami ketika komunikasi ditunjang dengan tatap muka langsung, menggunakan bahasa non verbal.
Namun demikian satu dekade belakangan ini masyarakat harusnya menjadi lebih pandai menggunakan bahasa tulis sebagai kebiasaan, karena lebih banyak membaca teks yang bersliweran di medsos. (*)