Saya benar-benar terpesona ketika berpapasan dengan Kapal Pinisi yang melintas di muara ketika saya berkesempatan bepergian ke pelabuhan Amamapare, Timika, Papua beberapa waktu lalu.
Kapal Pinisi ini adalah bukti keahlian bidang pelayaran maritim nenek Moyang bangsa Indonesia.
Pinisi adalah kapal layar tradisional Indonesia yang lazimnya memiliki dua tiang layar (
two masted sailing ship).
Pinisi terutama dibangun di Sulawesi Selatan dan sebagian besar digunakan oleh orang Bugis Makassar.
Lambung kapal tampaknya mirip dengan kapal ‘dhow Arab’ sementara tali pengikat depan dan belakang mengingatkan pada sekunar bagian luar, meskipun mungkin lebih tepat disebut menyerupai 'kapal ketch', karena tiang depan lebih besar.
Pinisi bisa berukuran 20 sampai 35 meter dan berukuran berat 350 ton. Tiang kapal bisa mencapai 30 meter menjulang di atas dek.
Jenis Pinisi
Ada dua tipe umum Pinisi :
* Lamba atau lambo. Pinisi yang panjang dan ramping dibangun, memiliki buritan lurus. Pinisi jenis inilah yang saat ini masih bertahan dengan versi bermotornya.
* Palari. Pinisi yang lebih tua dengan lengkung buritan dan lunas.
Sejarah
Kapal Pinisi pertama disebut sebagai "Pinas" yang yang menurut catatan sejarah dilihat di Nusantara oleh V.O.C. yang berlayar ke Nusantara sekitar tahun 1600.
Jenis "kayu" modern 'Pinisi' berasal dari kerajinan tangan yang telah digunakan di Indonesia selama beberapa abad. Menurut beberapa sumber, tipe serupa sudah ada sebelum tahun 1500-an di Nusantara, mirip seperti kapal 'Dhow Arab'.
Pinisi sebagai kerajinan lokal Indonesia di masa lalu sering menggunakan kemudi kembar, satu di setiap kuartal buritan.
Digunakan sebagai transportasi dan sebagai kapal kargo, kerajinan yang kita sebut 'Pinisi' (Pinissi, Pinisiq, atau Phinisi) yang banyak dieja secara tradisional dibangun di pantai, dimana kayu berasal dari hutan-hutan di Sulawesi dan Kalimantan, lalu diangkut ke lokasi pembuatan kapal.
Secara historis, ada beberapa ritual dan upacara tradisional yang menarik ketika saat membangun kapal Pinisi, dimulai dengan memilih pohon yang tepat untuk bagian-bagian penting dari struktur.
Sama seperti dengan bangunan kapal kayu tradisional di berbagai tempat lainnya, lazimnya berbagai ritual berlanjut sepanjang proses pembangunan untuk memulai dan memasang setiap tahap, seperti peletakan bagian-bagian penting dari setiap bagian kapal.
Tradisi 'Pinisi'
Pembangun: Meskipun pembangun kerajinan ini biasanya tergabung dalam kategori masyarakat Bugis, ada empat sub-set kapal, dari pembuat kapal yang bisa dibedakan secara terpisah di Sulawesi Selatan (sesuai tulisan Horst Liebner).
Kelompok utama adalah Suku Konjo pesisir di ujung selatan Sulawesi Selatan (dari dekat kota Ara, Bira, dan Tanah Biru), Mandar Sulawesi Barat di utara Makassar, kemudian orang Bugis dari daerah dekat Wajo di pantai timur, Para pembuat kapal dari Teluk Bone (jurang tengah antara dua bagian Sulawesi), dan Pembuat kapal asal orang Makassar dari daerah sekitar kota Makassar.
Berdasar keterangan literatur, di antara kelompok-kelompok ini, Suku Konjo pesisir Sulawesi Selatan tampaknya memiliki peran utama dan paling berpengaruh sebagai pembangun kapal Pinisi.
(*)