cari kata

Selasa, 23 Juli 2013

Etika Komunikasi di Internet


Komunikasi yang dilakukan menggunakan internet sebagai saluran, bisa dengan verbal dan non verbal. Saat menggunakan bahasa di ranah internet, maka memang tidak ada aturan yang mewajibkan harus menggunakan Bahasa Indonesia yang baku. Kalaupun dalam forum chat ada aturan bahasa, maka biasanya tidak wajib pakai EYD dan hal tersebut tergantung pada aturan main Sang Admin dari forum tersebut.
Apalagi pada sosial media, faktor anonimity masih sangat tinggi, juga tulisan yang diketikkan kadang dengan se-santai mungkin, jadi bahasa yang digunakan juga tidak dapat terlalu diharapkan menggunakan EYD- ejaan yang disempurnakan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Style komunikasi yang ada dalam internet adalah mengikuti idiom-idiom yang trend atau disebut gaul.
Trend istilah ini timbul dan tenggelam, jadi istlah idiom kata yang digunakan juga kerap berganti-ganti, misal sekarang menggunakan kata 'Gan' atau 'Agan' yang berarti juragan, kemudian di masa datang mungkin marak menggunakan kata 'Sob' yang berarti sobat, ini semuanya hanya mengikuti trend saja yang diciptakan oleh para pelaku komunikasi di internet atau netter. Belum lagi dengan ribuan singkatan yang hanya diri sendiri yang tahu, misalkan.
Yang menarik adalah faktor intelektualitas seseorang ketika menggunakan saluran forum di internet untuk menjalin komunikasi. Komunikasi menunjukkan siapa anda, artinya bahasa tidak hanya menunjukkan bangsa namun, -oleh para profiler-, bahasa yang digunakan, kata yang digunakan dapat menjadi referensi yang valid untuk mengkategorikan diri individu secara intelektual, emosional, dan faktor psikis lainnya.
Para profiler yang membaca postingan-postingan individu di internet dapat segera menentukan seberapa intelektual individu secara empiris, ketika individu mulai mengunggah bahasa di sebuah forum atau sosial media.
Rata-rata pengguna internet memiliki kecerdasan nalar yang cukup untuk memahami bahasa, dan memiliki kecerdasan yang cukup untuk menggunakan gadget teknologi untuk berkomunikasi, artinya : kecerdasan nalar mayoritas netter bukan di bawah rata-rata.
 Hal ini pernah saya survey menggunakan metode kuesioner pada 30 responden secara acak, dalam populasi di lokasi terbatas, dengan tingkat pendidikan minimal SMP dan maksimal sarjana.
Dari tingkat pendidikan responden yang saya bagikan quesioner sederhana secara faktual, adalah lulus SMP. Ini pertanda memilki kecerdasan yang cukup, artinya mampu berkomunikasi secara normal dan memahami baca tulis hitung (calistung)
Hasilnya adalah
 Dengan hasil bahwa sekitar 90% responden mampu memilih saluran komunikasi dalam internet, apakah itu memakai forum chat, email, social media dan media cakap langsung.
Survey ini selain berisi data klasifikasi pribadi, pertanyaan pokoknya antara lain adalah apakah anda sering berkomunikasi menggunakan internet ?, baik itu forum, chat, email jejaring sosial atau media lain sebutkan ?.
Dan pertanyaan penting lainnya adalah : apakah anda mengerti Netiket atau etika komunikasi di internet ?.

Dari survey simpel itu, 87% responden belum sepenuhnya paham apa itu Netiket.

Secara sederhana dan common sense, etika dalam berkomunikasi secara verbal (tulisan) di internet adalah dalam taraf praksis mengikuti etika penulisan, dan karakter huruf (font). Misal, secara etika penulisan jurnalistik, tidak lazim menggunakan huruf besar semua sama, (all capital letter) karena sama dengan berteriak terus menerus pada pembaca. Penggunaan huruf dalam tulisan ini saya yakin sudah diajari para guru SD kita dahulu. Misal :

1. Penggunaan huruf kapital semua = berteriak, tidak sopan, dst
2. Penggunaan huruf kecil semua = santai, datar, equal, dst
3. Penggunaan kaidah awal huruf besar untuk penulisan, nama, tempat, gelar = resmi
4.Penggunaan emoticon dan symbol emosi = akrab

Sedangkan secara teoritis umum berkomunikasi di internet ada dua (2)
1. Komunikasi formal
2. Komunikasi informal
Teori ini juga umum sekali, banyak mahasiswa sudah paham pula.

Ketika saluran komunikasi di internet sedang panas-panasnya atau hangat hangatnya muncul booming jejaring sosial, booming saluran komunikasi yang dapat mengunggah gambar dan tulisan, mendadak banyak penggunanya maka intensitasnya juga tinggi. Namun seperti trend yang lain, trend ini perlahan juga surut. Seperti penggunaan popular social media yang mulai dalam gelombang turunnya. Dan diganti dengan generasi baru jenis sosial media lainnya. Satu jenis sosial media yang pernah populer surut, lain jenis sosial media di ranah internet naik.
Juga, karena puncak kebutuhan tertinggi manusia adalah aktualisasi diri, menulis di media sosial tentang diri pun ada batasannya. Jika semua sudah dipamerkan (dikemukakan) kepada sanak rekan dan handai tolan, baik itu sebagai teman, pengikut atau jaringan, dan sudah mendapat respon, ya masak sih ya mau pamer terus, yang baca pameran status juga bosen, yang bikin pameran tentang aktualisasi dirinya sendiri lama-kelamaan juga pasti bosan.
Aktualisasi diripun sampai pada tahap tertentu juga ada batasannya.

Pada sisi lain, pada tataran intelektualitas yang lebih tinggi, orang akan lebih kerap berkomunikasi dengan dirinya sendiri secara intra personal, meski orang awam menganggap aneh, karena banyak diamnya, karena untuk berkomunikasi dengan orang lain hanya dalam tahapan yang esensial dan pada hal penting saja. Anomali ini sungguh boring (membosankan) bagi khalayak ramai.
Paradigmanya :
-    Average people talk about another people (banyak ngrasani, dan aneka perkataan yang sia-sia)
-    Middle people talk about thing, (misal : tentang benda-benda, aneka topik obrolan tentang berbagai benda yang update dan latest)
-    Shadow people talk about idea, disebut shadow, karena dari 6 milyar orang, hanya sedikit (only few) jumlahnya
-    Very shadow people (pemikir, perenung, banyak diam kadang menyepi untuk merefleksikan diri) talk with universe inside and out side - Ini terus terang agak bahaya... karena bila tak sampai, bukan tidak mungkin pikirannya bisa ‘off side’ bukan out side, he he he...

Jadi itulah sebabnya etika berkomunikasi di internet (Netiket) atau harus begini – harus begitunya, hanya dapat dirumuskan berdasar (tergantung) pada daya kemampuan intelektual dan kecerdasan emosional seseorang, intelektualitas netter- per netter atau intelektual individu per individu. Sedangkan untuk kaidah hukum maka sudah jelas ada UU (Undang-undang) yang mengaturnya. (*)

Jumat, 10 Mei 2013

Kekerasan terhadap Wartawan/ Jurnalis Indonesia

Prolog

Pertama-tama saya mengucapkan bela sungkawa untuk jurnalis yang telah tewas dalam bertugas, semoga segala amal perbuatan baik mendapat rahmat di sisi Tuhan Yang Maha Esa.

Sedangkan, untuk istilah sebutan profesi bagi saya sama saja dan tak menimbulkan perdebatan, apakah itu disebut : jurnalis atau wartawan, karena artinya secara etimologi kedua kata tersebut adalah sama : journalist. Baik Jurnalis atau Wartawan hanya beda kata saja, sedangkan artinya adalah : Orang Pers, orang yang bekerja sebagai reporter di media massa. Jadi saya tidak ikut-ikutan bingung dalam kelompok yang getol memperdebatkan istilah jurnalis dan wartawan, yang perdebatannya sendiri amatlah kontraproduktif dan membuang waktu.

Kekerasan pada Jurnalis

Kekerasan yang dialami oleh jurnalis sudah seringkali kita membaca di media, dan kekerasan ini masih saja terjadi.  Contohnya, pada hari ini saya membuat tulisan artikel ini, seorang jurnalis diberitakan mendapat penganiayaan dari  orang tak dikenal. Pada hari Kamis tanggal 9 Mei 2013 dinihari, Muhammad Ardiansyah jurnalis Trans TV di Makassar luka parah akibat ditikam (ditusuk) orang tak dikenal setelah meliput  keributan di jalan AP. Pettarani, Makassar. Pelaku penikaman diduga adalah anggota geng motor yang kerap melakukan balapan liar dan keributan di jalan raya (detiknews.com).

Padahal baru saja tanggal 3 Mei 2013 kita memperingati Hari Pers Internasional, yang bertema  Global : “Hari Kebebasan Pers Sedunia 2013 “Aman untuk Berbicara : Memastikan Kebebasan Berpendapat di Semua Media"

Berdasarkan data yang telah dirilis oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)  kekerasan terhadap Jurnalis/Wartawan Indonesia tergolong sadis, bahkan sampai membunuh wartawan.

Berikut data wartawan/jurnalis Indonesia yang yang tewas dibunuh terkait dengan pemberitaan, di Indonesia  sepanjang tahun 1996 -2010 :


  • Pada tahun 1996 silam, seorang wartawan bernama Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin (32), wartawan  Harian Bernas Yogyakarta meninggal pada tanggal 16 Agustus 1996. Tiga hari sebelumnya Udin diketahui diserang dan dianiaya oleh orang tak dikenal di rumahnya di Bantul. Sebelum dianiaya dan akhirnya tewas dibunuh,  Udin memberitakan pemberian uang Rp1 miliar pada Yayasan Dharmais oleh Sri Roso Sudarmo, Bupati Bantul kala itu.


  • Setahun kemudian pada tahun 1997, pembunuhan juga dialami Muhammad Sayuti Bochari, jurnalis Pos Makassar. Sayuti ditemukan tergeletak tak sadarkan diri pada 9 Juni 1997 di sebuah jalan di desa Luwu, sekira 480 kilometer di utara Makassar. Anggota keluarga dan teman-teman Sayuti mengatakan bahwa luka-luka Sayuti menunjukkan dia telah dipukuli. Sayuti tewas dua hari kemudian di rumah sakit. Pembunuhan Sayuti diduga kuat terjadi karena beritanya tentang korupsi di tingkat lokal. Dia juga melaporkan pencurian kayu yang melibatkan kepala desa. Pemimpin Redaksi Pos Makassar, Andi Tonra Mahie, mengatakan bahwa kematian Sayuti adalah hasil dari laporannya mengenai korupsi lokal, namun polisi setempat mengatakan penyebabnya karena kecelakaan lalu lintas.
  • Masih pada tahun 1997 silam, kematian tragis nan mengenaskan dialami  oleh almarhum Naimullah, jurnalis Sinar Pagi. Pada 25 Juli 1997, tubuhnya ditemukan tewas termutilasi di jok belakang mobilnya yang terparkir di Pantai Penibungan, sekira 90 kilometer di utara kota Pontianak. Kematian almarhum diduga terkait tulisan Naimullah tentang jaringan pembalakan liar di Kalimantan. Sejauh ini, kasus kematian tragis wartawan ini tak pernah terselesaikan
  • Kemudian tahun 1999 lalu,  Agus Mulayawan (26), koresponden  Indonesia untuk Asia Press (Jepang), tewas di tengah meliput konflik bersenjata di Timor Timur di dekat Los Palos.25 September. Jenazah ditemukan di dasar Sungai Verukoco, Apikuru, Kabupaten Lautem, 26 September.
  • Pada tahun 2003 Muhammad Jamaluddin juru kamera TVRI Aceh ditemukan tewas pada 17 Juni 2003 dengan berbagai dugaan. Ada yang mengatakan ia dibunuh kelompok GAM, ada pula yang menuduh pada oknum aparat di Aceh yang menculiknya karena motif tertentu.
  • Masih pada tahun 2003 Sori Ersa Siregar (52), wartawan RCTI, tewas ditengah meliput konflik bersenjata di Aceh. Almarhum tewas pada 29 Desember 2003, saat tengah terjadi baku tembak yang sengit antara  pasukan TNI dengan GAM di Kuala Maniham, Simpang Ulim
  • Kemudian pada tahun 2005, Elyudin Telambanua wartawan Berita Sore, koresponden Pulau Nias Sumatera Utara diculik dan tak pernah kembali dalam keadaan hidup. Para saksi dan keluarga mengatakan Elyudin diculik sekelompok orang tak dikenal di Teluk Dalam, 24 Agustus 2005, setelah memberitakan kecurangan pilkada di Kabupaten Nias Selatan. Semenjak diculik, Elyudin sang wartawan hilang, dan keluarga tak pernah melihatnya lagi. Berdasarkan penuturan saksi yang diceritakan kembali oleh keluarga Elyuddin, sang wartawan dibawa oleh sejumlah OTK (Orang tak Dikenal)  ke Desa Bawoganowo. Di sana Elyuddin dianiaya sekelompok orang hingga sekarat dan disaksikan oleh penduduk desa, kemudian Elyuddin diseret ke belakang sebuah rumah yang berada di pinggir laut. Setelah itu, tak seorangpun mengetahui keberadaan Elyuddin baik hidup atau meninggal.


  • Tahun 2006 Herliyarto, wartawan ‘Jember News’ dan kontributor lepas  Radar Surabaya di Probolinggo, Herliyanto ditemukan tewas pada 29 April 2006 di tengah hutan jati Probolinggo-Jawa Timur. Polisi memastikan kematian Herliyanto akibat bacokan senjata tajam. Almarhum Herliyanto dibunuh oleh sekelompok penyerang saat mengendarai sepeda motornya di jalanan berhutan yang menghubungkan desa Tulupari dan Tarokan di daerah Banyuanyar, provinsi Jawa Timur. Herliyanto mengalami luka tikam di perut, leher, dan kepala. Pembunuhan Herliyanto diduga kuat karena beritanya yang mengungkap korupsi proyek pembangunan jembatan di desa Reijing. Berita Herliyanto mengungkap bahwa dana infrastruktur lokal senilai Rp 120 juta rupiah telah dikorupsi. Polisi kemudian berhasil menangkap tersangka pembunuhnya. Namun Pengadilan Negeri Sidoarjo membebaskan dua pelaku sebab tak cukup bukti dan satu tersangka dianggap gila.


  • Yang paling tragis dan sadis adalah peristiwa pembantaian Anak Agung Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali, pada tahun 2009. Anak Agung Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali itu tewas di Pelabuhan Padang Bai, 16 Februari 2009. Aparat Polda Bali berhasil menangkap 10 tersangka terkait pemberitaan kasus korupsi dana pendidikan yang melibatkan adik Bupati Bangli. Para pelaku menghabisi nyawa korban dengan amat sadistik, dipukul menggunakan balok, para pelaku akhirnya divonis penjara seumur hidup oleh PN Denpasar dengan hukuman maksimum.


  • Pada Tahun 2010 Muhammad Syaiullah (43), kepala Biro Kompas Kalimantan Timur, meninggal di rumahnya di Balikpapan, 26 Juli. Pihak penyidik mengatakan, ia meninggal karena sakit. Namun sempat muncul adanya kecurigaan almarhum meninggal diracun oleh mereka yang tak menyukai beritanya di harian Kompas tentang rusaknya hutan di Kalimantan oleh pembalakan liar.


  • Masih pada tahun 2010, Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi  juga wartawan Merauke TV, tewas pada 29 Juli di Gudang Arang, Sungai Maro, Merauke, Papua dengan penuh luka. Pembunuhan Matrais diduga karena beritanya. Namun Polres Merauke yakin Ardi tewas tenggelam. Tak ada penyelidikan lebih lanjut soal ini.


  • Juga pada tahun 2010, wartawan bernama Alfrets Mirulewan tewas di Pelabuhan Pulau Kisar, Maluku Tenggara Barat 18 Agustus 2010.  Alfrets, Pemred Tabloid Pelangi, bersama Leksi Kikilay tengah menginvestigasi kelangkaan BBM di Kisar yang diduga melibatkan oknum aparat. Polisi menyatakan Alfrets dibunuh, tetapi semua tersangka mencabut BAP (Berita Acara Pemeriksaan).


  • Masih pula di tahun  2010, Ridwan Salamun, kontributor ‘Sun TV’ di Tual, Maluku Tenggara tewas dikeroyok  sekelompok warga saat meliput bentrokan warga kornpleks Banda Eli melawan warga Dusun Mangun, Desa Fiditan, Kota Tual, 20 Agustus. Hakim PN Tual membebaskan para tersangka karena tekanan massa. Saodah, istri almarhum, kini menunggu keputusan kasasi MA.


Begitulah data yang telah dirilis oleh lembaga AJI (Aliansi Jurnalis Independen), juga oleh CPJ (Comittee to Protect Journalist) atas kematian wartawan-wartawan Indonesia yang tewas dibunuh, dan tewas secara misterius terkait dengan profesinya dan produk jurnalistiknya, baik berita ataupun tayangan. Tentu saja dibantainya para wartawan ini adalah peristiwa sangat barbarik dan biadab (non-adab). Sangat barbar di tengah semangat kebebasan informasi yang berguna bagi masyarakat, terutama kebebasan informasi untuk melawan korupsi dan kriminalitas yang meresahkan dan merugikan kehidupan masyarakat luas. (*)


Rabu, 20 Maret 2013

Kiat Sederhana Untuk Sukses Berkomunikasi

Artikel  ini ditulis pertama pada Wednesday, November 14, 2007 9:21 PM

Komunikasi berasal dari pengertian dasar commune, communis, community, atau ‘komuni’ yang berarti masyarakat. Masyarakat saling berhubungan antara individu dengan cara verbal (bahasa) maupun non verbal (symbol dan tulisan), sehingga terbentuk istilah communication (komunikasi) atau proses hubungan. Pengertian dasar tersebut sangat sederhana. Namun yang kemudian acap menjadi sebuah kerumitan tatkala dalam proses komunikasi tersebut pesan yang disampaikan mendapat tanggapan keliru atau reaksi dan persepsi negatif dari si penerima pesan sehingga timbullah berbagai macam ketegangan.
 Komunikasi yang direkayasa negatif seringkali dibungkus dengan bahasa yang indah-indah untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
 Apalagi jika sang komunikan (sang penyampai pesan) sengaja mengunakan introduksi atau bahasa pembuka yang berbunga bunga, puitis dan halus untuk mempesona penerima pesan, agar maksudnya tercapai. Ini dinamakan pseudo communication atau komunikasi semu. Semu artinya tidak jelas dan tidak lugas bahkan tidak jujur, minimal jujur terhadap diri sang pemberi pesan sendiri. Untuk itu, agar kita semua meskipun mungkin anda bukanlah seorang pemerhati ilmu komunikasi, dapat memahami proses komunikasi dengan mudah, terdapat sebuah kunci sukses berkomunikasi yang mudah dipraktekkan sehari-hari.
 Yang pertama dalam berkomunikasi baik verbal mapun non verbal gunakanlah tiga tahap sebagai berikut, yang pertama yakni intro. Intro dalam bahasa pergaulan alamiah seringkali diisi dengan salam pembuka, seperti “Apa kabar?”, pujian, doa, atau kalimat pembuka pemancing percakapan. Dalam proses komunikasi non verbal ( surat, e-mail, sms, symbol) intro sebaiknya menjadi paragraf awal yang isinya adalah salam serta introduksi atau perkenalan awal. Gunakan intro untuk mengukur kedalaman minat orang yang diajak berkomunikasi. Intro amatlah penting karena dengan intro yang benar tidaklah sulit memasuki tahapan berikiutnya yakni content atau isi
Pada tahap berikutnya yakni Content (konten) atau isi adalah maksud pokok yang akan dikomunikasikan sehingga tercapai tujuan awal berkomunikasi, yakni saling memahami. Acap kali orang yang memulai proses komunikasi merupakan orang yang mempunyai kebutuhan kepada orang yang diajak berkomunikasi. Untuk itu biasakan dalam menyampaikan konten memakai 6 kaidah dalam ragam Bahasa Indonesia Jurnalistik (BIJ) seperti tertulis dalam kamus besar Bahasa Indonesia yakni Singkat, Padat, Sederhana, Lugas, Menarik, dan Jelas (SPSLMJ).
 Bila sudah dicapai satu kondisi saling memahami antar individu yang melakukan komunikasi maka suasana yang lebih rileks dapat dicapai tanpa menggunakan sarana lain seperti tempat pertemuan yang disetting, maupun tanpa suguhan yang bisa dianggap oleh sebagian orang terutama kalangan barat bisa “melemaskan lidah”  semisal minuman beralkohol, wine, dan rokok.
  Kemudian tahapan yang ketiga yakni closing (penutup). Closing amatlah penting dalam proses komunikasi verbal maupun non verbal. Closing yang bagus akan menghantarkan pada proses komunikasi pada kesempatan yang lebih erat lagi. Untuk itu selalu pahami bahwa sebelum memulai proses komunikasi inter-personal atau antara individu sebaiknya dalam diri anda terlebih dahulu terbangun proses komunikasi intra-persona atau komunikasi dengan diri sendiri yang baik, serta ada pemahaman yang positif terhadap kelebihan dan kekurangan diri yang proporsional serta berimbang, sehingga tercapai rasa jujur pada diri sendiri. Hal ini bisa mewujudkan rasa percaya diri yang bagus.
Inilah seklumit tulisan tentang kiat berkomunikasi yang sangat sederhana yang bisa dipakai oleh siapa saja. Karena sekarang ini seiring dengan gaya hidup individualistis yang makin berkembang dalam masyarakat kita, sedikit demi sedikit mulai terbangun jurang komunikasi yang lebar, baik antar tetangga, kerabat, maupun antara individu itu sendiri. Penyebabnya bisa macam macam mulai dari tekanan hidup yang kian berat, sampai pengejaran terhadap materi yang menghallakan segala cara, dan mengorbankan sikap kejujuran. (*)

Gaya Komunikasi Jalanan

Artikel 
Ditulis pertama pada Wednesday, November 14, 2007 9:23 PM

Saat ini kita sering melihat, mendengar dan merasakan cara masyarakat berkomunikasi yang bisa dibilang didominasi oleh gaya “komunikasi jalanan" atau street gang communications style. Gaya komunikasi jalanan ini makin tumbuh subur seiring tayangan hiburan di televisi dan media massa tertentu terutama acara-acara humor di televisi yang sering menggunakan makian dan istilah olok-olok. Mengapa disebut gaya komunikasi jalanan ?, karena gaya komunikasi ini cenderung kasar, sering mengetengahkan bahasa-bahasa yang mengandung unsur kekerasan, makian, penghinaan pada harkat manusia, sarkastik dan bahkan sadistik yang kerap muncul dari para penggunanya. Bila komunikasi jalanan ini awalnya hanya digunakan oleh kelompok dalam masyarakat tertentu sepreti : preman, anak jalanan, dan komunitas terminal yang memang sering bergelut dan berinteraksi dengan gaya komunikasi jalanan ini. Maka kini gaya komunikasi ini kini mulai merambah pada gaya pergaulan semua kalangan terutama kalangan menengah yang secara sosiologis cukup cendekia dan educated di dalam srtuktur masyarakat kita.
     Ungkapan-ungkapan bernada kekerasan, sarkasatik, bahkan sadis pun menjadi “wajib” dalam percakapan- percakapan sehari hari kita, baik itu di kantor, di mall, maupun di tempat-tempat masyarakat kelas menengah -yakni pelajar, mahasiwa dan profesional -biasa berkumpul. Akrab di telinga kita tiba- tiba mereka yang berpenampilan necis, dandy dan modis tiba- tiba terceletuk dari mulutnya ucapan semacam :“Santai aje bos, ntar juga kelaar kerjaannya, kalau nggak dia akan saya habisin deh”, atau, tiba- tiba sosok wanita berbusana sopan dan berpenampilan bak peragawati tiba tiba berucap dengan gaya ‘premanwati’ : “(kata Makian...), siapa die? gile juga, dasar perek, ngakunya sekretaris tapi boss juga diembat.” atau sekelompok mahasiswa yang setiap hari bergulat dengan ilmu-ilmu luhur tiba-tiba bak preman baru menjelma saling mengumpat,“Bangs…t, anj.... kita hajar aja, kalau berani macam- macam, sudah stress nih..”. 

Masya Allah ungkapan-ungkapan bernuansa kasar, slang, dan sakastik yang biasanya hanya memenuhi ruang publik marjinal seperti terminal, pasar, sudut- sudut lampu merah, kini mulai mendapat ‘tempat yang layak” di kampus, kantor baik negri dan swasta, bahkan rumah sakit.
Seolah nilai yang berlaku di era reformasi ini adalah nilai semi premanisme bahkan pure premanisme yang menggejala di segala bidang. Boleh jadi berlaku dalam benak masyarakat, sebuah adagium dengan berbahasa semakin kasar, keras, dan bergaya sadis maka akan semakin dihormati dan disegani orang tesebut dalam lingkup sosialitasnya.
 Bila dibiarkan gejala semacam ini merebak di kalangan masyarakat kelas menengah kita yang nota bene agent of change, maka dikhawatirkan change of cultural behaviour yang kurang santunlah yang akan diwariskan pada generasi berikut. Budaya komunikasi ini mencerminkan kepribadian kita sebagai sebuah bangsa yang mulai kehilangan jati dirinya, terutama akibat budaya barat impor. Generasi baru bangsa mengalami degradasi kemampuan berkomunikasi antar masyarakat secara patut.
 Relasi antara manusia dibangun melalui komunikasi, melalui komunikasi pula kita dapat mengenal pribadi orang, dan sebaliknya kita juga dikenal oleh orang lain. Cara memilih kata -kata yang digunakan merupakan cerminan perumusan pemikiran orang tersebut, (Mulder, Niels : Individual dan Society, Interpretation of Social Change, Illinois 1982). Dari sinilah arti penting komunikasi yang sehat dapat dibangun. Komunikasi yang sehat berarti menggunakan gaya bahasa yang jernih dan didasari dari pesan yang berasal dari hati nurani. Dengan demikian masing-masing individu dapat memberikan rasa respek dan penghargaannya pada individu lainnya -dalam proses komunikasi itu- secara wajar, tanpa di dasari oleh status sosial.
Di sini penulis ingin mengulas bagaimana awalnya masyarakat kita, terutama yang nota bene kaum intelektual dan kelas menengah mulai mengadaptasi budaya komunikasi jalanan atau gaya premanisme tersebut. Awalnya, dalam sejarah perkembangan kebudayaan Indonesia , kelas masyarakat yang terpelajar mendapat sebutan khusus diantaranya, kalangan pegawai, priyayi dan gedongan, (Koentjaraningrat, 1980). Pada jaman Belanda orang tepelajar jaman dahulu masih memperhatikan etikanya sebagai sebuah etika kepatutatn dalam berkomunikasi karena menunjukkan’kelas kepriyayian’. Namun seiring dengan pergeseran nilai moral dan etika pergaulan dari jaman ke- jaman, etika dalam berkomunikasi pun makin kabur dan tak memiliki standar kepatutannya lagi. Dewasa ini dalam pergaulan, cara berkomunikasi yang sesuai dengan etika kepriyayian jaman dulu cepat dianggap sebagai sebuah bentuk kelemahan. Karena jaman kapitalis yang serba keras dan kompetitif ini menilai alur berkomunikasi secara halus dianggap sebagai bentuk komunikasi yang feminin. Dan dianggap tidak mewakili bahasa maskulin yang sarat dengan saling mengirim pesan yang bertujuan saling mengukur kekuatan baik itu kekuatan financial serta kekuatan kekuasaan. Sebenarnya bentuk komunikasi ini secara tidak langsung didapatkan oleh berbagai kalangan dari gaya dialog film yang sering dilihat dan didengar oleh masyarakat. Umpatan, makian, dan sumpah serapah dalam film tersebut tertanam dalam benak anak muda dan dianggap cool.

 Di wilayah negara Barat sendiri menyumpah disebut dengan swear  atau curse , yang berarti kutukan dalam bahasa Indonesia. Soal sumpah serapah ada sedikit perbedaan antara Indonesia dan Barat. Kalau di Barat yang dikatakan menyumpah serapah itu adalah jenis kata- kata makian semisal “son of a….”. namun menyumpahi dalam budaya timur berarti mendoakan buruk atau mengutuk pada lawan bicara. Derasnya gaya bahasa ala barat yang diserap oleh publik kita ini sejatinya merupakan cross culture communication atau komunikasi lintas budaya, karena ada perbedaan cultural yang mendasar. Kebudayaan komunikasi ala Hollywood didasari pada gaya bahasa awal mula terbentuknya koloni-koloninya, yakni masyarakat miskin imigran dari Eropa sebagai penduduk awal, berkembang menjadi gaya bahasa cowboy, yang menekankan sumpah serapah agar terkesan macho.
Sementara itu sebagai bangsa yang berbudaya timur, gaya komunikasi masyarakat kita dari berbagai suku bangsa diadaptasi dari kelas menengah yang terpelajar yang dekat dengan sumber kebudayaan baik itu istana raja, keraton, kesultanan, kemudian nilai etika itu mengalir pada kelas di bawahnya. Seperti gaya bahasa yang dipakai oleh para bangasawan, pujangga, semacam syair-syair bernuansa religius, yang mementingkan unsur estetika dalam berkomunikasi. Namun sayangnya pada kenyataan yang sedang berlangsung, kemampuan menyusun unsur estetika dalam berkomunikasi ini mulai meluntur dalam masyarakat kita di semua kelas pergaulan, seiring dengan menguatnya nilai-nilai premanisme di segala bidang. (*)

Senin, 04 Maret 2013

Diklat Jurnalistik FKW oleh PPWI Penyegaran bagi Wartawan



FKW (Forum Komunikasi Wartawan) Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan bekerja sama dengan PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia) mengadakan Diklat Jurnalistik untuk memberikan wawasan dan pembelajaran bagi para anggotanya terutama di bidang Jurnalistik.

Diklat ini berlangsung di Hotel New Idola, Jl Pramuka Raya, Jakarta pada tanggal 4-6 Maret 2013.  Tujuan diadakan pelatihan ini yang pertama adalah untuk menjalin tali silaturhami antar anggota FKW dan PPWI dan kedua adalah untuk menimba pengetahuan terbaru di bidang jurnalistik.

Dalam pelatihan ini dititikberatkan bahwa para anggota FKW harus mampu mengadapatasi cara jurnalistik terbaru yakni Quick News dan  etika jurnalsitik.

Tampil sebagai pembicara adalah ketua umum PPWI  yakni Wilson Lalengke, dan juga pembicara pengajar jurnalistik yakni Mung Pujanarko.  Dalam diklat ini menurut para peserta sangat membantu  dalam  menimba  ilmu jurnalistik. “Dalam diklat ini saya merasakan adanya penyegaran dalam bidang kewartawanan, dan banyak hal yang kita dapatkan di sini” ujar Gusti, Pimred tabloid  X-Kasus, Tanah Bumbu.

Sedangkan bagi peserta lain yakni Muaz selain silaturahmi adalah kebanggaan bagi daerah, karena wartawan yang memiliki banyak karakter bisa berkumpul dan belajar bersama,”papar Muaz selaku wartawan harian media kalimantan.

Nanang Rusmani Ketua FKW Tanah Bumbu (kiri-pakai baju bergaris), Mung Pujanarko (kanan-baju biru)

 Ketua FKW (Forum Komunikasi Wartawan) Tanah Bumbu- Kalimantan Selatan, Nanang Rusmani menyatakan bahwa pihaknya mendukung penuh agar para wartawan dan insan pers di Tanah Bumbu Kalimantan Selatan agar mau masuk dalam organisasi profesi.
 Pada kesempatan Diklat Jurnalistik yang digagas oleh FKW Tanah Bumbu di Hotel New Idola, Jakarta Timur, pada hari senin (4/3) Nanang Rusmani menyatakan bahwa wartawan adalah profesi strategis bagi perkembangan daerah dan bagi otonomi daerah. “Untuk itu saya pribadi mendukung  agar wartawan di Tanah Bumbu yang belum ada perkumpulan organisasi untuk nantinya masuk ke dalam organisasi profesi yang resmi misal FKW, PPWI atau PWI, untuk mendukung keberadaan wartawan itu sendiri,” papar Nanang Rusmani.
Dirinya juga mengatakan bahwa di Tanah Bumbu, keberadaan wartawan juga dibutuhkan untuk mengangkat potensi daerah Tanah Bumbu. “Kami dari FKW, bukan merupakan corong Bupati, namun sebagai warga Tanah Bumbu, kami juga memiliki kewajiban untuk mengangkat kebaikan dan potensi Tanah Bumbu,” lanjutnya.
Dengan begitu, menurutnya, tingkat independensi wartawan Tanah Bumbu bisa terjaga dan tidak diintervensi oleh pihak manapun. “Contohnya dengan pelaksanaan Diklat Jurnalistik FKW bekerja sama dengan PPWI pusat, maka inipun sebagai kerja keras untuk melaksanakan independensi wartawan Tanah Bumbu, saya pribadi berterimakasih  kepada PPWI yang telah memberikan motivasi, dan penambahan wawasan serta silaturahmi yang baik kepada FKW Tanah Bumbu,” urai Nanang Rusmani.  (*)

Senin, 11 Februari 2013

Refraksi Pesan Komunikasi Politik



Tulisan ini merupakan ide (hasil olah pikir) saya mengenai adanya fenomena pesan dalam ranah komunikasi politik yang kerap disalah-artikan oleh publik sebagai receiver (penerima) pesan, sehingga terjadi : Refraksi Pesan Komunikasi Politik
Refraksi (Refraction)

Saya analogikan sebagai peristiwa dalam pembiasan sebuah pensil yang dimasukkan air dalam gelas sehingga terlihat pensil itu bengkok. Peristiwa pembiasan atau refraksi (refraction) ini dikarenakan adanya benda dari intensitas kerapatan medium rendah masuk ke dalam intensitas kerapatan tinggi maka benda tersebut terlihat mengalami pembiasan.  Hal ini dijelaskan dalam hukum ke-II Snellius berbunyi “ Jika sinar datang dari medium kurang rapat ke medium lebih rapat (misalnya: dari udara ke air atau dari udara ke kaca), maka sinar dibelokkan mendekati garis normal. Jika sebaliknya, sinar datang dari medium lebih rapat ke medium kurang rapat maka sinar di belokkan menjauhi garis normal".

Dalam analogi refraksi pesan pada Komunikasi Politik saya contohkan kasus adanya seorang pemimpin majelis tinggi parpol (High Court Party) yang mengomunikasikan politik kepada publik dengan mengambil alih pimpinan sebuah partai politik dari tangan ketua umum. Sementara sang ketua umum tetap menjabat sebagai ketua umum, namun tupoksi sang ketua umum beralih kepada pemimpin majelis tinggi partai (high court party) ini.

Dalam analogi refraksi pesan,  pesan (message) adalah pensil yakni : pesan dari kalangan elite politik yang menggunakan segala bahasa komunikasi politik, dari lingkungan yang analoginya adalah elit partai atau segelintir elit partai (kerapatan rendah) dan masuk ke dalam air - analoginya sebagai publik, massa - karena memiliki kerapatan yang jauh lebih tinggi. 

Terjadi refraksi (pembiasan) pesan karena publik awam melihat bahwa pensil (message) ini telah bengkok (refraksi) akibat kesulitan kalangan awam untuk mencerna (decode) apa maksudnya ada dua pemimpin utama dalam satu partai (kelompok) ? Penduduk desa kan tahunya kepala desa cuma satu.

Refraksi dalam pesan politik acapkali terjadi karena pihak pengirim pesan tidak secara terang-terangan mengungkapkan apa maksudnya. Sampai beberapa waktu lamanya, publik hanya bisa menebak-nebak, apakah bertujuan sedang menyelamatkan partai ?, menyelamatkan orang-orang tertentu ?, atau justru menyelamatkan sang ketua umum non aktif yang sedang terindikasi terlibat masalah korupsi ? Politik, jika ingin publik mendukung (sebaiknya) dikomunikasikan secara jelas, karena publik tahunya politik itu siasat demi siasat. Dan sejak jaman Majapahit, publik tahunya politik  itu muslihat demi muslihat yang lihay. “Minteri orang,” kata orang desa. Pintar dan 'memintari' bagi orang desa itu lain artinya.

Refraksi sering ditangkap oleh publik selaku awam, bahkan awam sekali karena tingkat pendidikan yang sangat rendah. Publik di tingkat amat bawah (jurang massa) tepat pada tingkat bottom atau dasar sekali, mayoritas sedikit sekali pemahamannya pada politik. Publik hanya tahu kalau ada oknum-oknum di partai politik tertentu yang terlibat bahkan divonis korupsi.  Dan, karena kasusnya terlanjur jelas bagi publik, maka komunikasi politik pada publik juga (sebaiknya jelas), agar publik mengerti. 

Publik adalah simpel, kalau pesan tidak simpel, berbelit-belit sulit dimengerti, pakai majas eufimisme,  misal pakai istilah ‘konspirasi’ dll, segala macam istilah yang sulit-sulit, istilah-istilah strata akademik yang hanya biasa dalam ranah akademik, dan tak bisa ditebak publik (sebaiknya jangan) dikomunikasikan pada publik. Kalau toh tetap dipaksakan untuk menimbulkan refraksi pesan, ya... itu bisa dianggap sebagai Hak Asasi Manusia pelaku komunikasi politik. (*)

Oleh : Mung Pujanarko
Pudek III FIKOM Universitas Jayabaya

Selasa, 29 Januari 2013

Resepsi Publik atas Aktivitas Selebritis

 Resepsi berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas yaitu, pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga memberikan respon terhadapnya.

Publik selalu tertarik dengan aktivitas selebritis, karena selebritis adalah role model atau cerminan karakter dari setiap bagian individu pada masyarakat.

Adanya informasi media yang senantiasa mengangkat aktivitas selebritis, selalu dinanti oleh masyarakat, terutama berita terbaru mengenai aktivitas selebritis.

Jadi, jika publik kemudian mengetahui ada aktivitas selebritis yang memakai jenis narkoba baru, atau narkoba yang lama tapi baru dikenal, dalam satu kasus penangkapan selebritis, maka publik langsung mengarahkan spot light nya ke kasus selebritis ini.

Selebritis ini kemudian juga ikut mengangkat nama narkoba jenis baru, yang padahal bukan sebuah hal yang baru. Dalam blog saya ini saya telah menulis pentingnya komunikasi dengan para penyalah guna narkoba, termasuk penyalahgunaan beberapa jenis designer drug atau narkoba jenis baru yang selalu dibuat (di design) untuk memenuhi permintaan pemadat terutama untuk mengecoh hukum.

Hukum, yakni segala UU Narkotika dan lampirannya, telah mengatur hampir segala jenis narkotika dan hukuman bagi penyalah-gunaannya, namun yang namanya orang mau toxicated atau mau have fun dengan pakai obat, maka akan terus mencari narkotika baru yang bisa menjadi stimulan bagi penyalah gunaannya.

Saya juga pernah menulis di blog ini di http://mung-pujanarko.blogspot.com/2012/04/komunikasi-internal-pemakai-narkoba.html tentang gawatnya narkotikan jenis designer drug antara lain jenis cathinone, yang juga baru-baru ini turut ‘dipopulerkan’ oleh kasus penangkapan selebriti.

Tanaman Catha edulis (khat) sumber foto : http://ekhat.org

Tanaman Catha edulis, juga untuk 'on' para junkies, sumber foto :
http://somalilandtimes.net
Cathinone, atau benzoylethanamine (dipasarkan sebagai nama Hagigat di Israel), adalah alkaloid monoamina ditemukan di tanaman semak  Catha edulis  (Khat) dan secara kimiawi mirip dengan amfetamin efedrin, Katin dan lainnya. Cathinone membuat efek stimulan dari sifat Catha edulis. Cathinone berbeda dari amfetamin lain bahwa ia memiliki kelompok fungsional keton. Amfetamin lain yang berbagi struktur ini termasuk antidepresan bupropion dan methcathinone stimulan.

Secara internasional, cathinone adalah obat di bawah Konvensi tentang Psikotropika. DEA (Drug Enforcement Agency) menambahkan cathinone ke Jadwal Controlled Substances Act I.

Jadi dengan adanya message yang diterima oleh publik bahwa ada selebritas yang digerebek, dikaitkan dengan adanya narkotika Cathinone (katinona) yang baru dikenal publik, juga jenis Methylone, yang juga dikenal sebagai sebutan "M1" rumus kimia 3,4-methylenedioxy-N-methylcathinone, maka publik akan segera menangkap pesan ini, terutama sisi selebritasnya, juga sisi narkotika yang masih 'asing' bagi publik. Padahal sejatinya,  jenis narkotika Cathinone (katinona) dan turunan-turunannya sudah jelas diatur dalam Lampiran 1 UU Narkotika No 35 tahun 2009.  Lengkapnya adalah dalam Lampiran 1 (satu) UU Narkotika No 35 tahun 2009 adalah :

Lampiran 1 (satu)  Daftar Narkotika Golongan 1 (satu) :

Nomer  35. KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon
Nomer 39. METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on

Ketentuan hukumannya diatur menurut Pasal 112 UU Narkotika Nomer 35 tahun 2009 :

Pasal 112
 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
 -------------------------------------------------------------------------------------------------------

Begitulah ketentuan hukuman orang yang pakai narkotika jenis cathinone (katinona), dan derivat nya disebut methylone yang diproses dari tanaman Khat. Ini penting diketahui khalayak umum karena memang sampai kiamat pun saya kira akan selalu ada jenis narkotika baru dari tanaman apa saja, karena kalau orang hanya mau mendapat stimulan baik teler atau euphoria dari obat, maka junkies akan selalu menemukan jalannya.

Cathinone sintetik juga sering digunakan sebagai bahan utama obat narkotika rekreasi campuran umumnya dikenal sebagai 'garam mandi' (bath salt) di Amerika Serikat.

Jadi designer drug atau obat-obat narkotika yang didisain khusus untuk mengecoh hukum agar bisa digunakan untuk have fun akan selalu ada di Dunia Fana ini sampai kiamat. Maka itu pesan bagi orang-orang terdekat kita adalah : jika ingin have fun maka jangan pakai obat dan segala macam stimulan penyalahgunaan narkotika. Karena kalau mau have fun maka masih banyak caranya selain pakai obat-obatan. Olah raga juga have fun. Nonton stand up comedy malah sangat have fun menurut saya. Sedangkan pacaran adalah have fun yang beresiko : hamil, kehilangan keperjakaan, kehilangan selaput dara, juga resiko tertular penyakit seksual dan penyakit mematikan lainnya.

Tapi saya juga merasakan bahwa susah memang memberitahu manusia tentang cara yang lebih baik untuk have fun karena Mo Limo yang juga saya tuls di blog ini yakni : madat, madon, minum, main, maling semuanya adalah ‘have fun’ juga menurut syaithan yang membisik-bisikkan cara have fun yang paling 'asyik' bagi manusia. Akhinya para ahli komunikasi harus kembali pada filsafat komunikasi yang memberitahukan terutama pada manusia bahwa have fun harus punya tanggung jawab sosial (social responsibility) dan individual responsibilty.

Resepsi publik demikian intens pada kasus selebritas, sehingga apapun yang dilakukan selebritas cenderung menjadi inspirasi publik, baik secara alam bawah sadar publik, atau terang-terangan ingin seperti idolanya.
Memang selebritas yang kemudian merusak dirinya akan segera diresepsikan sebagai tindakan yang 'cool' dimata para fansnya. Apa mau dikata, karena sebagian orang merasa punya hak untuk merusak diri sendiri. Namun merusak diripun pada akhirnya juga menyusahkan masyarakat. Jika self destruction ini terjadi pada jaman 20.000 tahun yang lalu, saat manusia sudah kenal pakai narkotika jenis jamur psylocibin, maka jika ada orang yang kerjaannya have fun pakai magic mushroom (psylocibin) melulu, tak mau berburu, tak mau bekerja untuk komunitas manusia, maka sang ancient junkies itu diumpankan saja pada serigala, maka bereslah urusan dan beban komunitas. (*)

Lautan kesengsaraan penyalahgunaan narkoba (meski jenis baru) tak bertepi, meskipun narkoba bisa kuat sex, kuat kerja, dan kuat senang-senang (have fun), menepilah sebelum terlambat.
Mung Pujanarko

                       

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons