Berkomunikasi dengan pecandu narkoba acap menghasilkan result yang tidak logis, karena daya nalar pecandu terkadang selip menjadi nalar yang tidak logis dan pernyataan-pernyataan pecandu ini sering kontradiktif. Dalam arti setiap respon pecandu Narkoba terhadap konselor sering ngelantur. Oleh karena itu beberapa teori dalam Ilmu Komunikasi kemudian kerap digunakan konselor, dan orang yang berkomunikasi dengan pengguna narkoba. Antara lain, harus mengggunakan ‘teori daun bawang’ atau nama lainnya adalah Social Penetration Theory (SPT) oleh Irwin Daltman dan Dalmas Taylor (2008). Bila tidak mempan, maka saat kita berkomunikasi dengan pemakai narkoba kita juga menggunakan Teori Dialogis, dimana dijelaskan oleh Michael Bakhtin (2006) empunya teori ini, bahwa harus ditimbulkan “reason and alibi for being” dari diri si penderita. Jika dialog mandeg maka yang tertinggal dalam diri pengguna narkoa adalah “there is no alibi for being” dan menjurus ke self destructions dan putus asa.
Sejak putus asa adalah favorit Iblis, maka kita harus memerangi rasa putus asa ini. Seorang kemudian susah payah harus pula mengembangkan seni komunikasinya dengan menggunakan teori Relational Dialectic Theory atau RDT, oleh Leslie Baxter dan Barbara Montgomery (2008), yang bila dijalankan secara baik maka bisa menimbulkan percakapan yang menyenangkan, namun efeknya jika konselor yang memakai teori ini pergi maka akan timbul lagi krisis ‘out of sight, out of mind' alias jauh di mata jauh di hati dan muncul lagi keputus-asaan dari penderita. Pokoknya repotlah kalau komunikasi dengan pecandu narkoba ini.
Pecandu Narkoba bila masih dalam tahap coba-coba atau tahapan awal, ditemukan tidak sedikit merupakan anak yang cerdas, aktif dan berani. Dalam arti dia sudah memiliki keberanian di atas rata-rata anak sebayanya. Bahkan sebelum terjerumus, tak jarang anak tersebut termasuk aktif, suka akan tantangan, dan petualangan.
Namun yang saya lihat, efektivitas komunikasi untuk pecandu Narkoba, dengan menjalani sesi komunikasi grup, atau face to face dengan konselor sulit mendapatkan hasil efektif.
Prinsip komunikasi tadi digunakan untuk membantu agar pecandu Narkoba sadar akan akibatnya. Tapi dalam most case pecandu Narkoba akan sia-sia mendengarkan ceramah. Karena itu prinsip komunikasi dengan pemakai Narkoba haruslah memakai tayangan visual atau melalui buku-buku komik yang dibuat khusus sebagai cerita yang menyentuh sanubari, dan membuat miris penderita penyalah guna narkoba.
Mendengarkan orang bicara (ceramah) bagi pecandu Narkoba bisa menjadi efek yang menyiksa dirinya, karena ada kegagalan membayangkan ucapan menjadi imagi (gambar) di benaknya, karena itu dia seolah-olah malah ingin mencoba lagi barang haram tersebut untuk memperkuat imagi benaknya.
Namun alangkah efektifnya komunikasi dengan pecandu narkoba jika kita memakai tayangan visual, yakni film-film (auvi) yang dibuat khusus yang mengisahkan kisah tragis yang amat dramatis tentang nasib pilu pecandu narkoba.
Misalnya tayangan itu dimulai dengan tayangan tentang seorang profil anak remaja yang mapan/kaya dan profil anak remaja yang miskin, keduanya memakai narkoba. Tayangan ini haruslah dibuat seperti layaknya film India, yang sarat air mata. Alurnya dibuat dua alur. Yang pertama mengisahkan seorang anak kaya yang memakai narkoba untuk eksis dan anak miskin yang memakai narkoba juga untuk gaya dan eksis. Melihat gambar lebih mudah daripada membayangkan gambar.
Alasan memakai narkoba di kalangan anak muda dalam taraf early drug abuser atau pemakai mula adalah untuk eksis dalam lingkup pergaulan. Jadi piramida kebutuhan Maslow dibalik. Aktualisasi diri menjadi kebutuhan mendasar bagi teenager (lihat piramida hierachy of need-nya Maslow). Biasanya demi kemauan eksis ini, anak-anak baik pemuda dan pemudi yang awal memakai narkoba pada awalnya adalah diajak teman, dikenalkan oleh teman sebaya yang telah menggunakan terlebih dahulu dan kelihatan keren serta cool. Untuk alasan agar eksis, cool dan mendapat respek inilah maka anak-anak remaja mencoba merokok, menikmati miras dan akhirnya menyalah gunakan narkoba. Eskalasi dari rokok-miras-narkoba ini adalah trilogi umum dan dipahami oleh banyak orang tua.
Setelah eksis, maka tahap yang kedua anak ini akan merasakan fly atau teler. Getting high atau fly atau teler ini adalah sensasi baru yang menyenangkan bagi anak-anak remaja pemakai mula narkoba. Nakoba yang pertama kali digunakan biasanya adalah narkoba jenis pil telan.
Jenis pil oral/telan ini umumnya adalah berefek penenang syaraf, atau obat resep untuk penderita gangguan jiwa yang disalah-gunakan. Asalkan obat tersebut menimbulkan efek sedatif (bius) dan opiat (penenang) membuat sensasi ‘cool’ maka akan rawan disalah-gunakan.
Biasanya dengan dorongan peer group/ kawan-kawan sebaya kelompok ini, setelah menikmati pil telan yang bersifat sedatif, maka dia akan mencoba memakai yang jauh lebih beresiko dengan misalnya saja daun cannabis/ganja.
Pemakaian cannabis ini menimbulkan efek delirium yang luar biasa yang menimbulkan efek euphoria berlebihan. Pengguna mula biasanya belum tahu kalau hukuman pemakai ganja adalah hukuman seumur hidup penjara. Maka dengan santainya pengguna mula ini mencobanya. Kalau dalam taraf ini, maka otak pemakai sudah diracuni dengan keinginan mencoba yang lebih merusak lagi seperi methampetamine (meth), crystal derivatif (shabu), synthetic derivatif (putauw), dan lain-lain jenis yang amat merusak organ tubuh, dan hukumannya puluhan tahun penjara sampai seumur hidup.
Sampai di sini jelas kita prihatin. Sampai tahap ini harusnya pihak orang tua dan guru sudah bisa mendeteksi kecenderungan anak pemakai narkoba. Maka satu sekolah sejak dini harus diberi komunikasi tentang bahaya narkoba, namun komunikasi haruslah yang efektif. Mohon maaf jika sudah tahap ini Bimbingan dan Penyuluhan dengan cara "dipanggil Guru BP" tidaklah efektif.
Komunikasi efektif untuk pemakai narkoba adalah dengan visual. Ini saya ketahui setelah beberapa kenalan menyerah setelah berkomunikasi dengan anaknya, namun setelah saya tunjukkan tayangan sederhana berjudul serial “1000 ways to die” yang ada di sebuah channel TV kabel, anak kenalan itu shock melihat bahwa efek narkoba ini sungguh jahat dan merusak jasmani rohani sampai mati, karena ada visualisasi bahan kimia narkoba itu masuk mulut, tenggorokan, lambung, tercerna, terbawa darah ke jantung otak dll. Di Indonesia sayangnya pembuatan film tentang kenyataan pahit pengguna narkoba dengan subyek film orang Indonesia sendiri, selaku pelaku yang menjadi korban, belum banyak dibuat produk film penyuluhan ini.
Sementara di Amerika, pembuatan film yang menggambarkan nasib seorang pengguna narkoba mulai dari remaja hingga orang dewasa sudah kerap dibuat dengan amat banyak judul sehingga dapat ditayangkan, kita bisa melihatnya di tayangan TV kabel, BBC, Fox TV dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan AIDS, saya pernah melihat tayangan film tentang Pasutri yang mengidap AIDS, di mana seorang ayah yang pecandu narkoba suntik menderita AIDS, kemudian menularkan kepada istrinya, kemudian istri menularkan kepada bayinya, akhirnya komplit sekeluarga terkena AIDS. Kemudian ayah meninggal setelah obat ARV (anti retroviral) gagal menyelamatkan nayawanya. Kisah ini sungguh gripping sangat mencekam dengan pengambilan gambar yang bergeser-geser (tematik).
Efek teori komunikasi Hypodermis Needle Theory sangat terasa karena tayangan dikemas secara apik dan diharapkan dapat membuat pemirsa tidak dapat atau sulit melupakan tayangan ini. Saya yang melihat tayangan ini 3 tahun yang lalu juga tidak dapat melupakannya, terutama di saat sang ayah yang tadinya ganteng gagah menjadi pecandu yang kena AIDS kurus, kering dan mati. Kemudian dimana pasangan keluarga ini akhirnya harus berjuang antara hidup dan mati melawan penyakit AIDS yang disebabkan oleh drug abuse. Obat anti retroviral memang menjadi penyokong hidup, tapi bila ginjal tidak kuat ya, pasti mati pula.
Saya juga pernah melihat di TV kabel, tentang remaja-remaja perempuan Amerika yang hamil dan melahirkan anak hasil hubungan seks bebas pada usia 16 tahun, judulnya “The Young Mother”. Amerika telah sadar bahwa satu atau dua generasi bisa rusak parah akibat kemaksiatan. Seharusnya kita, apalagi bangsa kita memiliki nasihat-nasihat leluhur (Jawa) tentang bahaya Molimo (madat, madon, minum, main, maling) yang harusnya bisa difilmkan. Atau saya pernah melihat serial di BBC menayangkan film seven sins (7 deadly sin), antara lain yang saya ingat dalam bahasa latin 7 sins ini adalah SALIGIA : superbia/ Pride, avaritia/Greed, luxuria/Lust, invidia/ Envy, gula/Gluttony, ira/Wrath, acedia/ Sloth .
Sebagai pembelajar ilmu komunikasi, tentu saja saya inginkan agar pemerintah melalui lembaganya yang bermacam-macam bisa segera membuat banyak judul-judul film (audio visual) atau tayangan yang menceritakan beragam kisah tragis, memilukan dan mencekam (gripping) bak horror pocong -(tapi jangan dibuat film dengan judul :”pocong pemabuk atau the stoned pocong, pocong high dll”)-, tetang penderita pecandu Narkoba. Kemudian bisa kisah tentang tragisme seks bebas yang berujung AIDS. Bila judulnya cukup beragam dengan metode film dokumenter atau kisah nyata dengan pelaku yang nyata yang akhirnya mati atau tobat (tobat or die), maka bisa diputar di sekolah-sekolah. Kisah ini memang sebaiknya dokumenter atau semi dokumenter agar ada efek kenayataannya.
Saya hanya pernah membaca kisah- kisah PSK yang akhirnya mati mengenaskan karena AIDS atau over dosis, tapi film dokumenternya tidak ada, upaya ini haruslah dibuat oleh sineas muda Indonesia, baik secara independen atau institusional.
Karenanya pemerintah atau NGO yang bekerja sama dengan pemerintah harus memiliki beragam tema film /tayangan yang bersifat nyata secara film dokumenter atau film-film lepas yang mengisahkan kisah-kisah tragis para pelaku penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dan kenakalan remaja, bukan hanya film sinetron sahaja. Film dokumenter tentang siswa-siswa korban tawuran yang mati dengan usus terburai,cacat seumur hidup, menjadi tak berguna di dunia kerja, atau korban tawuran berseragam SMU yang tewas mengenaskan,/atau siswa kriminal yang dipenjara di LP anak, pelaku kebut-kebutan motor yang kepalanya pecah, pecandu narkoba yang tobat atau mati/dipenjara khusus, atau pecandu yang jadi korban traficking dan lain sebagainya, ini semua haruslah difilmkan meskipun bila dokumenter sulit, maka semi dokumenter, bila masih sulit ya buatlah yang ilustrasi, tapi ada efek darah (blood), and death, dan bila perlu ada efek membuat mual-muntah seperti aliran sineas Hongkong. Maka bentuk komunikasi dengan pecandu narkoba atau kita sebut dengan narkobawan dan narkobawati ini secara efektif dalam Ilmu Komunikasi sejalan dengan The Hypodermis Needle Theory dan sejalan dengan paradigma sosiopsikologi, paradigma sosiokultural, dan paradigma kritis. (*)
Membangun Masyarakat dan Bangsa Terbebas dari Candu Narkoba
Manusia adalah asset kehidupan. Apalagi jika manusia itu masih muda dan produktif, tentu dirinya dapat menjadi asset kehidupan bangsa dan negara, serta pastinya berguna dalam kehidupan keluarga masing-masing.
Namun jika yang namanya narkoba (zat narkotika, psikotropika yang amat-sangat berbahaya jika disalah gunakan) telah merasuki dalam kehidupan manusia, maka yang ada adalah perasaan kecanduan (addicted).
Di atas, ada artikel yang saya tulis tentang pentingnya komunikasi bagi pecandu narkoba. Kecanduan adalah sebuah perasaan yang mungkin tidak akan pernah dipahami bagi mereka yang tak tahu bagaimana menggambarkan kecanduan itu dengan kata-kata. Apalagi menggambarkan bagaimana penderitaan, sakit, dan gelisah, nervous, akibat kecanduan, itu dengan kata-kata. Orang bijak mengatakan bahwa :
“Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan sebuah penderitaan akibat kecanduan”.
Kalau ada orang mengatakan bahwa kecanduan adalah hal yang menyenangkan, dan tak masalah, no big deal. Well, maka tahap pemahamannya memang baru segitu.
Kecanduan yang pasti adalah masalah psikis yang amat serius dan perlu segera penanganan yang holistik, apalagi perilaku kecanduan terhadap narkoba, ini perlu terapi medis dan non medis.
Semua pihak juga perlu sedikit pengetahuan bagaimana menanggulangi kecanduan yang menimpa keluarga dekat atau sahabat.
Kecanduan adalah akibat dari kebiasan otak yang telah biasa merasakan sebuah efek yang memberi rasa gembira, tenang, luar biasa, semangat, dan aneka rasa yang menyenangkan lainnya, yang didapat dari zat addiktif. Perasaan tenang, semangat, gembira, luar biasa dari zat addiktif, adalah perasaan yang menyenangkan bagi para penyalah-guna zat addiktif tersebut.
Inilah (akibatnya) ketika seorang telah membiasakan diri untuk mengasupi atau memberi makan otaknya dengan zat addiktif yang memberi rasa nikmat, tenang dan senang, bahkan semangat luar biasa melalui zat adiktif dan, maka otak akan senantiasa menagih hal itu.
Komunikasi yang terjalin dalam diri seseorang pecandu adalah komunikasi neuron otak yang minta atau nagih ingin terus diasupi oleh zat adiktif yang memberi aneka efek luar biasa tersebut.
Otak pecandu akan terus nagih / minta zat yang memberikan sensasi yang luar biasa, secara kontinyu.
Apalagi jika korban kecanduan telah membiasakan otak dan tubuhnya untuk mengasup zat addiktif secara kontinyu, maka semakin sulit untuk lepas dari rasa kecanduan.
Ciri-ciri kecanduan, antara lain : Bila putus dari addiktif maka nervous yang amat sangat, gelisah, keringat dingin, jantung berdebar, perasaan yang tak menentu, yang tentunya kata-kata amat terbatas untuk menggambarkannya.
Bila otak telah menagih, maka bila putus dengan zat addiktif badan lemas lesu, emosional, limbung, terasa kaku, dll yang berkaitan dengan gangguan sistem syaraf tubuh.
Kecanduan benar-benar tidak mudah untuk dihilangkan, penderita kecanduan zat addiktif atau psikotropika, narkotika atau zat adiktif lainnya jelas butuh pertolongan baik medis maupun non medis.
Dari segi komunikasi intra personal maka ini lebih sulit, bagi penderita utuk mengatasinya dengan komunikasi intra personalnya.
Dalam komunikasi intra personal yang dibangun dalam diri penderita maka penderita haruslah mampu melawan perasaan sakit, perasaan gelisah dan juga seribu perasaan panic - paranoid lainnya ketika tubuh dan otak mulai menagih zat yang telah biasa membuat otak merasakan efek yang luar biasa, semangat dll, melalui zat addiktif.
Penderita harus diajari cara melihat dirinya sedniri adalah sebagai korban miskomunikasi dalam otaknya sendiri yang menuntutnya untuk senantiasa mengasupi dirinya dengan drugs atau narkoba.
Perasaan takut, gelisah, mual, sakit sampai teriak-teriak kerap terlihat saat pecandu putus dengan zat yang menjadi asupannya.
Dari segi non medis maka penanganan juga bisa ditempuh. Biasanya terapi spiritual, tapi sekali lagi ini tak mudah langsung ces pleng, semudah membalik telapak tangan, acapkali pecandu akan butuh lebih banyak terapi medik.
Dalam komunikasi, yang pertama-tama dibangun adalah komunikasi intra personal yang kuat pada diri penderita yang menyadarkan diri pecandu bahwa dirinya adakah telah menjadi korban dari miskomunikasi otak ((neuron brain)) yang menagih terus akan sensasi zat addiktif itu.
Penderita kecanduan harus dibuat sadar bahwa dirinya adalah korban dari ketagihan yang disbebabkan otaknya telah terbiasa diasupi zat addiktif, maka diharapkan diri pecandu sadar bahwa dia telah membuat miskomunikasi dengan otaknya sendiri.
Pada waktu–waktu dimana penderita kecanduan biasa menggunakan zat addiktif, maka, bila pada waktu tersebut tidak ada asupan, tak ayal menjadi waktu yang sangat menyiksa bagi diri pecandu.
Untuk itu pecandu harus diajak melihat bahwa dirinya lebih besar dari kecanduan itu. Meskipun hal ini tidak mudah, karena perasaan gelisah, sakit yang akut, mendadak dan bertahan dalam beberapa waktu lamanya akan menjajah diri sang pecandu karena otaknya telah menagih zat addiktif tersebut.
Sungguh memang kecanduan itu pada akhirnya akan membuat manusia terbelenggu dan tergantung pada zat addiktif yang tadinya telah memberinya efek sensasi yang tadinya terasa luar biasa, namun jika mendadak putus asupannya maka sensasi ini akan berbalik menjadi sebuah penderitaan yang mengerikan, sakit dan gelisah yang tak terperikan.
Maka wajib bagi manusia untuk melawan setiap kecanduan yang dideritanya. Wajib bagi manusia untuk menolong kerabatnya dari kecanduan narkoba. Maka itu sebaiknya memang pencandu narkoba apabila telah parah tingkat kecanduannya, maka pecandu tidak dipenjara di LP biasa. melainkan di penjara yang lebih merupakan sebuah assylum, sebuah rumah sakit, sebuah panti rehabilitasi dengan maksimum sekuriti, syukur BNN sudah punya, tapi jumlah panti rehab narkoba tetap kurang banyak.
Perlu diingat mereka para pecandu ini memang telah sakit secara psikis, juga sakit secara sosial. Sakit secara sosial, karena pecandu akan bersedia melakukan apa saja, sekali lagi -a p a s a j a-, termasuk berbuat jahat kriminal, melacur, mencuri, merampok, bahkan membunuh, untuk dapat membeli narkoba. Ini jelas mengerikan bagi kehidupan bangsa. Pengedarnya harus dihukum berat. (*)
Note : adiktif, addiktif, dari kata addict, akar kata add (tambah), yakni ingin senantiasa menambah dosis narkoba (illegal drugs), hingga dosis (dose) itu terlalu tinggi bagi tubuhnya hingga tubuhnya mati dan nyawanya meninggalkan raganya menuju dimensi lain, menuju alam lain, katakanlah begitu.
Oleh : Mung Pujanarko, aktivitas belajar-mengajar Ilmu Komunikasi.
0 komentar:
Posting Komentar