Menulis tentang
pengalaman trip atau perjalanan wisata kita, tentu tidak semua orang mampu
menuliskannya.
Kebanyakan
orang akan menjawab :
"Untuk apa sih saya repot amat menulis perjalanan wisata
saya? Toh upload ke medsos saja seperti instagram atau bbm atau whatsapp dll sudah
beres? Ngapain lagi kok susah kita menuliskan, yang penting pamer kan ?"
Itulah yang
agak keliru ketika kita hanya mengupload foto wisata kita hanya sekedar untuk
menunjukkan pada lingkaran seputar teman-teman kita.
Pula pada saudara kita dan handai tolan kita, mungkin para fans penggemar anda, yang nama-namanya sudah ada dalam daftar kontak whatsapp group, sudah ada nama-nama kontaknya dalam lingkaran pertemanan medsos kita.
Bahwa kemudian kita mengupload foto wisata sambil menuliskan sebaris (sebaris saja) teks yang mengumumkan kita sudah wisata ke mana saja.
Pula pada saudara kita dan handai tolan kita, mungkin para fans penggemar anda, yang nama-namanya sudah ada dalam daftar kontak whatsapp group, sudah ada nama-nama kontaknya dalam lingkaran pertemanan medsos kita.
Bahwa kemudian kita mengupload foto wisata sambil menuliskan sebaris (sebaris saja) teks yang mengumumkan kita sudah wisata ke mana saja.
Karena dalam
media sosial seperti : whatsapp, line, bbm, instagram dll yang melihat
aktivitas kita kan hanya relatif terbatas pada group, dan nama kontak handai tolan
sahaja.
Namun kalau
di web log seperti ini, maka yang mengakses adalah bukan hanya sekadar relasi
kita saja, bahkan mungkin relasi handai tolan, teman-teman kita tidak akan melihatnya,
karena mereka tidak tahu kalau kita menulis pengalaman kita saat wisata.
Sebaliknya, yang
melihat tulisan kita adalah orang yang mencari lewat kata kunci mungkin, atau,
hanya kesasar mampir di blog karena faktor LSI atau Latent Symantex Index
semata.
Tadinya tidak ingin menuju mencari informasi berdasar kata kunci, namun
mesin pencari tetap mengindeks tulisan kita karena ada hubungan index saja.
Saya,
misalkan menulis perjalanan saya bukan hanya sekadar bahwa nanti teman-teman
saya atau saudara akan melihatnya, tidak sama sekali. Karena mereka semua tidak
tahu kalau saya memiliki blog untuk menulis.
Lagipula saya juga bukan peserta
medsos yang aktif. Saya bukan aktivis medsos. Kalau aktivis web log seperti ini mungkin iya, sebulan
nulis satu-dua tulisan saja.
Kalau di
medsos kesan pamer kepada para handai-tolan semesta, teman setaman semasa smu, teman
setaman semasa sd atau semasa smp, semua itu adalah audiens-captive kita yang
kita ciptakan lingkaran audiens itu ketika kita bergabung dalam sebuah grup
pertemanan, keluarga atau handai tolan.
Massa yang
captive exclusive seperti hanya terbatas pada teman, handai tolan dan hanya
saudara-saudara sahaja sepert kawan sepermedsosan atau seperti saudara
seperinstragraman saja.
Orang yang mengejar snsasi hanya bisa berharap jika pesan atau foto itu viral, dan nantinya dibahas di media massa.
Maka kesan
pamer akan kuat berlangsung.
Karena pula
sejak kecil kebanyakan orang sudah diasuh dengan pola asuh yang mendorong kompetitif
dalam segala hal.
Dari semenjak masa kecil sudah dibanding-bandingkan
dengan anak teman, anak saudara, anak family, anak-anak handai tolan seumuran
yang lain, maka hal ini akan kebawa sampai usia dewasa secara psikologis.
Ketika sudah
dewasa maka dengan laten orang akan terus dalam suasana kompetitif yang kental.
Teman
sekantor dianggap kompetitor, teman semasa sd semasa smp dan semasa smu juga masih
dianggap sebagai kompetitor sejati pesaing saja, bukan sekadar teman belaka.
Jiwa ini ingin terus melakukan pembuktian, karena mungkin merasa inferior pada
jaman SD, SMP atau SMUnya, dulu belum punya apa-apa, kurang mampu bergaul,
introvert, juga mungkins tipis memendam
envy perlahan pada para teman yang dianggap lebih populer, maka setelah dewasa,
dengan ajang alasan teman sepermedsossan atau kawan seperinstagraman, maka
kesempatan balas dendam pamer akan mudah dilampiaskan.
Diantaranya
adalah dengan mengupload secara serial foto-foto wisata, mungkin untuk eksistensi, mungkin untuk pembuktian diri kepada orang lain, untuk menutup lubang
kekosongan jiwa yang memang harus menuntut untuk ditambal setiap hari dengan
aktualisasi diri.
Hal ini
didasari atau tidak masih melekat dalam jiwa.
Jadi ketika
kita mengupload foto-foto wisata kita, di sebuah group medsos yang massa
audiens-nya sudah diciptakan secara captive, tercipta secara circle limited,
sebatas pada group teman, handai tolan dan saudara ini, kebaynakan juga masih
ada terbalut suasana kompetitif.
Maka yang
muncul dalam benak kawan, handai tolan, saudara anda adalah : “Oh dia sudah ke
wisata itu, oh dia sudah ke sana, wah sukses mapan nih anak, aduh aku ga mau
kalah ah kapan nanti akan aku balas, aku juga bisa wisata seperti dia, di
tempat itu, nanti pasti akan aku balas upload di medsos, tunggu saja.”
Jiwa
kompetitif-jiwa persaingan yang sudah dikondisikan mendarah-daging semenjak
masa kanak-kanak, yang dipacu harus bersaing dengan teman sekelas, bahkan sejak
teman sekelas TK, bahkan banyak ibu-ibu rela nyogok agar anaknya jadi juara
kelas TK / PAUD...bayangkan, agar dapat rengking di sekolahnya, nyogok lagi
agar keterima sekolah favorit, padahal ya sama saja kuliahnya pun harus
bersaing lagi, dan hal ini masih berlanjut di kantornya harus bersaing dengan
rekan-rekan sekerja.
Kondisi persaingan hidup ini secara alam bawah sadar akan
terbawa pula saat berwisata.
Terjadilah
persaingan halus saling upload foto wisata karena nuansa persaingan, ajang
saling unggul-unggulan.
Hal ini
tentu akan disambut hangat para travel biro yang memang jualan sensasi wisata,
bahwa jika anda suka upload foto di medsos akan segera ditangkap sebagai
kesempatan bagi travel biro untuk jualan.
Kini paket wisata yang laku adalah yang menawarkan spot foto yang indah yang akan bergengsi ditampilkan di medsos.
Kini paket wisata yang laku adalah yang menawarkan spot foto yang indah yang akan bergengsi ditampilkan di medsos.
Jadinya,
karena hanya sibuk ber selfie dan unggah foto saja jadi justru tidak nulis
perjalanan apa-apa malah yang penting hanya foto di tempat wisata karena dengan
satu tujuan: Ingin terlihat sudah wisata di tempat yang eksotis, apalagi jika
komentarnya para teman yang dulunya mungkin tidak melirik anda, adalah : “Wuihh
kerenn, aduh jengg... pingin juga aku ke sana...” atau “ Aduh jengg... bikin
iri saja, aduh mantap loh....” disertai icon jempol like dari handai tolan.
Woow hati ini serasa melayang... serasa mendapat
charge energi penuh, padahal dulu jangankan menyapa, melirik anda pun kawan
anda itu enggan.
Dan foto
anda itu secara telak menunjukkan pada lingkaran perkawanan anda kalau anda sudah
ke sana tempat wisata itu, dan yuppp.... anda jadi perbincangan hangat pada
medsos pada lingkaran handai tolan-teman dan sanak saudara saja.
Esensi wisata
jadi melenceng.
Menurut saya
pribadi (Mung Pujanarko) saya tidak perlu mengutip siapapun juga, dan anda juga
tidak perlu mengutip saya.
Esensi wisata adalah :
Esensi wisata adalah :
Wisata dalam
bahasa sansekerta adalah sebuah makna peziarahan diri untuk memaknai kehidupan
di tempat visata atau wisata yang sedang dikunjungi, esensi kehidupan di tengah
waktu anda saat itu. Keheningan diri, adalah esensi wisata.
Tapi aduh
jengg... jaman kekinian ini siapa mau hening diri sihh... sedangkan ibadah
religius ke luar negeri saja sudah marak berubah jadi ajang pembuktian
kesuksesan materialis duniawi diri, jadi ajang mencari like dan sensasi
kekaguman sanak saudara, teman dan handai tolan.
Lah terus
dimensi ‘afterlife’ setelah kehidupan dunia ini, apa berpengaruh dan
terpikirkan ?
Maka itu
ketika saya ketik pengalaman perjalanan ini dengan niat bahwa saya ingin tetap
menyimpan (keeping) memory ini karena semuanya karena keterbatasan saya yang tidak mampu lagi
mengingat secara rinci apa saja yang sudah saya lalukan di masa lampau.
Karena
faktor usia diri ini jadi mudah lupa.
Saya tulis
ini ya untuk saya baca sendiri, tentang pengalaman saya, karena saya jika saya
tidak mengetikkan pengalaman saya maka saya mudah lupa akan pengalaman saya.
Mungkin jika
ada pembaca yang daya ingatnya tajam, ya saya sarankan tidak perlu repot
menulis dan memotret wisata anda karena dengan ingatan fotografis anda yang luar
biasa, saya yakin anda akan ingat segala-galanya tanpa repot-repot menulis dan
memoret lagi. Untuk apa ? Kalau ingatan saya memang harus ditopang dengan tulisan yang kelak bisa saya baca sendiri.
Kalau saya
ya, ini tulisan perjalanan memang saya perlukan, untuk memback-up memory saya
yang terbatas sebagai manusia biasa.
-
Esensi
wisata adalah saving time dan time keeping.
Kebalikan dari wasting time, yang berarti membuang waktu, wisata bagi
saya adalah saving time dan keeping time.
Menyimpan waktu.
Kebisaan dan kebiasaan menulis, merekam dan mengunggah dalam website online pengalaman wisata kita akan berguna bagi diri sendiri, keluarga dan orang lain.
Dengan review kita pada tempat wisata, kemudian kita bisa menerangkan
rute, jalan, akomodasi dan hal-hal penting lainnya, maka informasi tentang
wisata ini akan tersimpan oleh mesin pencari, tersimpan di web log kita
masing-masing.
(Mung
Pujanarko)
0 komentar:
Posting Komentar