Melihat gambar data di atas, dengan total penduduk hampir 260 juta jiwa, pengguna internet diperkirakan antara 40- 80 juta jiwa, perkiraan kasarnya. timbul lintasan pemikiran saya, yang segera saya tangkap dan langsung tulis, biar tidak lupa ingatan.
Karena jika ada yang mengklaim bahwa pengguna internet 80 juta jiwa, selalu saya asumsikan 50%nya yang benar-benar aktif.
Karena saya tak tahu maksud data di atas diunggah untuk apa.
Dunia teknologi informasi akan sangat berkembang, dan hal ini mendukung bisnis eknomomi kreatif untuk berkembang memanfaatkan teknologi informasi.
Dunia kreatif, jelas membutuhkan orang yang rajin.
Rajin menulis dalam ranah ilmu jurnalistik dapat membantu seseorang yang menekuni dunia jurnalistik untuk selalu mengunggah informasi terutama di ranah new media dan media online.
Saya berpesan pada para mahasiswa ilmu jurnalistik bahwa yang membedakan pelakon ilmu jurnalistik dengan ilmu lainnya adalah jika praktisi ilmu jurnalistik ini mau tak mau diharapkan lebih rajin menulis dan mengunggah informasi baik teks, audio atau video lebh dari mereka yang tidak belajar jurnalistik.
Jurnalis Online biasa mengunggah sekitar 8 artikel perhari, jika 10 artikel per hari, maka dia sudah luar biasa.
Dalam ilmu jurnallstik, sering saya berikan tips menulis dengan cepat untuk melawan rasa malas menulis.
Pada akhirnya orang yang banyak menulis, bahkan hingga 20 tulisan per hari, adalah orang yang luar biasa menurut saya, karena saya hingga sekarang belum bisa mencapai angka tulisan 20 tulisan per-harinya.
Menulis dalam media online memiliki sejumlah kelebihan, diantaranya adalah informasi kita akan mudah diakses orang, lebih banyak dan sering dari jika kita hanya menulis di media cetak saja.
Untuk itu bila Anda mampu menulis hingga 20 artikel perhari, untuk generasi muda apalagi, maka saya anggap sebagai hal yang bagus dan luar biasa.
Karena stamina anda sebagai jurnalis yang mampu mengunggah artikel di media online dengan jumlah yang cukup banyak seperti halnya anda menebar kail yang banyak atau jala yang lebar.
Teman saya ada yang mengatakan : "Mas kalau kita sebagai jurnalis cetak, kita gak mau dipatok kuantitatf jumlah tulisan, karena yang kita pentingkan adalah kedalaman fakta dan data, jadi kalau jurnalis cetak itu satu tulisan per bulan atau perminggu kalau itu mendalam dan news in depth, maka itu lebih kami cari mas..." tukasnya.
Iyalah, terserah jika Anda di media cetak karena kapasitas daya tampung media cetak meski harian amat terbatas pada lembaran koran yang hari itu diterbitkan, juga majalah kertas, jadi in depth itu penting.
In depth di mana-mana penting.
Namun perhatikan dalam ranah media online, yang berkaitan dengan lintasan informasi, maka semakin banyak konten artikel yang dinaikkan atau diunggah-terbitkan oleh sebuah media online maka lebih baik bagi meda online itu, karena demi mengejar traffic dan hit stattstic atau jumlah viewer.
Bila In depth, tapi....bila cuma sekadar dalam, namun di mata masyararakat banyak tak penting, dan tak menarik, ya ibarat danau angker... dalam, tapi massa khalayak ramai enggan berkunjung ke situ.
Mungkin ada juga yang tertarik yang biasanya tingkat intelektualnya lebih tinggi dari rata-rata untuk mencerna in depth report tadi.
Namun secara hukum alam yang tingkat intelektualnya tinggi selalu lebih sedikit dalam jenjang piramida sosial.
Lain halnya bila bukan danau dalam yang angker, tapi bila itu kolam-kolam renang yang murah meriah dan meriah benar di dalamnya maka dimungkinkan khalayak banyak bisa suka mengunjunginya.
Pengunjung media online di Indonesia rata-rata masih belajar untuk menyukai media online, karena mungkin baru saja punya smartphone selama 2-3 tahun belakangan.
Juga mereka mungkin tak akan membuang kuota pulsa dan waktunya untuk sebuah in depth reportase yang bahasanya membuat kening berkerut,... mikir negara-mikir negara lagi, mikir politik lagi, aduh ini kasus korupsi yang sudah ngoyo ditulis indepth, ujung-ujungnya hanya pengadilan saja yang memutuskan,...biasanya juga koruptor hukuman 4 tahun, potong masa tahanan, potong remisi 17-an, remisi idul fitri, 2 tahun kurang sudah jalan-jalan ke mall lagi.
Sudah kasus korupsinya ditulis indepth -inipun jarang, karena jurnalisnya kadang gamang juga-, kecuali liputan in depth di beberapa majalah, -yang harga majalahnya juga amat mahal untuk ukuran masyarakat banyak, - ya mereka memang jualan in depth news.
Kadang saya lihat kalau di online hanya iklan potongan tulisan in depth ini saja, maunya masyarakat jangan baca di online secara gratis tapi beli majalahnya.
Terus masyarakat bertanya, kalau nggak baca liputan in depth di majalah itu gimana? ya ga apa-apa kan ? ya lihat televisi saja yang gratis, di mana kadang ada juga mata acara yang cukup in depth yang tayang, dengan banyak iklannya.
Jadi angka 88 juta pengguna internet di atas memang membuka peluang besar bagi praktisi ilmu jurnalistik, mau nulis in depth atau mau nulis ikut selera pasar saja, ya itu kan hukum penawaran dan permintaan saja.
Ngotot mau nulis in depth aja deh, ya kalau in depth kan sebulan mungkin satu tulisan, karena harus mengikuti people trail dan menyusuri paper trail, investigasi mendalam, selama berhari-hari baru jadi tulisan indepth sepanjang 5000 kata.
Lha terus kasus yang ditulis itu sudah disidangkana atau belum ? Kalau belum masuk ranah hukum, ya resiko bagi sang jurnalis itu sendiri.
Kalau sudah masuk ranah hukum, ya masyarakat pastinya sudah lihat televisi pula.... juga sudah punya keyakinan bahwa koruptor itu paling hukumannya tipis, rata-rata 4 tahun diskon ini-itu, dengan fasilitas penjara yang bukan napi biasa.
Kan begitu ?