cari kata

Rabu, 28 Maret 2012

Silent Majority dan Floating Mass

Sebagai pelajar ilmu komunikasi massa,  harus mempelajari lebih dalam tentang massa itu sendiri. Massa, publik, rakyat secara singkat adalah sekumpulan individu yang memiliki resepsi kognitif beragam namun dapat terpola.
Pada saat dulu jaman orde baru, silent majority dikenal, karena slogan  : ‘politik no, pembangunan yes’. Dengan manajemen orde baru yang militeristik,  rakyat  cenderung memilih sikap silent atau diam. Identitas politik individu pada rakyat tidak terlalu ditonjolkan oleh rakyat, dan rakyat memilih kemapanan hidup, stabilitas ekonomi keluarga dengan cara mengejar ekonomi dan bekerja untuk memenuhi nafkah masing-masing.
Romantika revolusi yang dibawa orde lama tidak ada lagi setelah benturan besar dua ideologi massa saat itu, yakni yang menganut paham sosialis dan menganut paham kapitalis, saling bertabrakan dashyat sehingga korban jiwa jutaan berjatuhan.
 Kemudian rakyat yang tertegun menjadi silent (diam) karena melihat konflik berdarah  yang menghancurkan (devastating)  secara mengerikan dari konflik dua ideologi fundamental di masa geo politik terbagi menjadi dua kutub sosialis dan kapitalis. Di pedesaan terjadi konflik berdarah berbasis tanah, kebetulan tuan tanah pemilik kapital tanah luas adalah  berlatar religi, sementara yang berharap dibagi tanah adalah abangan yang diklaim sebagai pemihak sosialis.
Setelah rakyat melihat betapa mengerikannya benturan dua ideology yang mengacu pada geo politik saat itu, maka saat orde baru mengambil alih kekuasaan, silent majority mulai terbentuk. 
Silent majority ini adalah rakyat yang tidak secara terang-terangan menyatakan sikapnya memihak pada partai politik tertentu. Mayoritas rakyat Indonesia saat orde baru menjadi diam untuk mencari selamat.
Saat orde baru jatuh karena problem moneter serius dan tidak lagi mendapat kepercayaan lembaga finansial internasional,  maka seolah-olah rakyat telah bangkit dari tipologi floating mass menjadi fundamental mass. Padahal bukan. Rakyat pada saat orde baru jatuh sebenarnya tetap menjadi floating mass.
 Orde baru pada hakekatnya jatuh karena uangnya habis, anggaran morat-marit akibat tergerus fluktuasi kurs moneter.  US Dollar yang dibutuhkan untuk membayar hutang luar negeri pemerintah dan swasta melambung  karena, di pasar uang supply US dollar menurun dan demand  untuk US dollar guna membayar hutang meningkat.  Di sisi lain yang mudah terlihat di media massa adalah kiprah mahasiswa menjatuhkan orde baru. Pada hakekatnya ada peran dari mahasiswa, namun peran utama kejatuhan orde baru adalah karena negara-negara donor dan lembaga keuangan internasional tidak lagi memberi kepercayaan pada Orde Baru, pasar keuangan merespon negatif, dan menghargai rupiah murah karena hutang luar negeri yang jatuh tempo harus dibayar dengan US Dollar.
Kini silent majority sebenarnya masih ada. Siapakah  kini silent majority di Indonesia ? jawaban saya adalah : silent majority di Indonesia yang paling mudah terlihat adalah kaum hawa, kaum ibu-ibu dan kaum perempuan yang jumlahnya adalah relatif fifty- fifty dengan kaum laki-laki.  Dalam pemilu misalnya, kaum ibu-ibu ini memiliki mind set sendiri, yang khas mind set wanita secara natural. Wanita menginginkan kemapanan, mendambakan stabilitas keamanan (piramida maslow) dan impian untuk kondisi keluarga yang lebih baik. Pada saat kaum wanita bersama-sama kaum pria pergi ke tempat pemilu, kaum wanita tentu memilki hak suara yang sama dengan kaum pria.
Kaum wanita, ibu-ibu, remaja putri boleh berbeda pendapat dengan suaminya, boleh berbeda pilihan dari sang pria kawannya.  Dalam keluarga, pilihan wanita boleh sah berbeda dengan suaminya.
Kaum wanita secara nature memilih pemimpin dengan kriteria umum yang disukai oleh kaum hawa.
Kriteria itu adalah :
1.Fisik yang gagah
2. Terlihat mampu memberikan perlindungan dan pengayoman.
3.Mengesankan dan kharismatik; yang membentuk alam bawah sadar seorang wanita bahwa inilah pemimpin idola yang sayang keluarga dan adil.
Jadi silent majority pada hakekatnya adalah didominasi oleh kaum perempuan. Meski pria juga banyak yang memilih sebagai silent majority, namun secara maskulin pria bisa lebih bebas menyuarakan pikirannya kepada rekan-rekan sesama pria.
Dan karena jumlah wanita di Indonesia  ini adalah kurang lebih fifty-fifty atau hampir sama dengan jumlah kaum pria. Asumsi yang saya pakai, jumlah pemilih yang mendatangi tempat TPS pun antara perempuan dan lelaki jumlahnya hampir sama.
Saya melihat perempuan pergi ke TPS dengan senyum lebar dan semangat, karena ada perasaan dihargai suaranya, yang mungkin selama ini suaranya minor dan tidak dominan dalam keluarga, serta dalam balutan tradisi kehidupan wanita secara sosial.
Berbeda dengan pemilih lelaki, pemilih lelaki lebih terfraksi atau berbeda kriteria memilih pemimpin. Lelaki pada umumnya juga memilih pemimpin berdasarkan rasio pikiran lelaki yang lebih kompleks. Sementara perempuan memilih pemimpin berdasarkan emosional dan naluri perasaannya sebagai wanita. Perempuan pada umumnya lebih diam dan mengandalkan insting keibuannya guna mencari kedamaian dari sosok pemimpin.
Tidak heran pemimpin yang terpilih adalah sosok yang anteng, maskulin,  lebih tinggi besar, ganteng gagah dan bercitra mengayomi. Pemilihnya adalah mayoritas perempuan. Citra pemimpin dengan kriteria ini sudah ada dalam masyarakat manusia sejak 20.000 tahun yang lalu saat manusia masih hidup dalam puak kecil di gua-gua.
Kini Indonesia tengah dililit persoalan korupsi yang serius, dan pemimpin yang dicitrakan itu mendadak turun citranya karena korupsi membelit orang-orang di sekitar pemimpin itu.
Silent majority masih berlaku dan floating mass masih berlaku.  Floating mass adalah massa yang sengaja mengambangkan dirinya,  karena tidak ingin  mencolok dalam menunjukkan ideologi politiknya. Resiko keamanan telah dialami saat benturan massa yang fundamemtal secara ideologi terjadi di masa lalu.  Dan yang kedua; floating mass terjadi karena rakyat sudah tidak mengenali lagi apa itu ideologi. Ideologi bukan lagi di otak rakyat, namun di perut rakyat. Ideologi adalah sembako dan itu final bagi silent majority, sekaligus yang mendasari langgengnya  floating mass di Indonesia.
Bagi pemerintahan negara dunia ketiga :  selama dunia internasional terutama negara-negara donor masih mempercayai administrasi sebuah pemerintahan di negara dunia ketiga, - dimana negara dunia ketiga sebagai penyedia bahan mentah untuk negara maju/donor-, maka dipastikan pemerintahan negara dunia ketiga itu akan baik-baik saja.
Hubungan negara dunia ketiga dan negara adi kuasa dan negara donor telah menjadi faktor hubungan internal, dan bukan lagi faktor hubungan eksternal.

Garis Massa
Indonesia praktis tidak lagi mengenal adanya garis massa. Karena garis massa hanya dikenal pada saat Indonesia baru saja merdeka. Saat romantisme revolusi, garis massa terbentuk. Dan kemudian garis massa menjadi samar dan tidak lagi dianggap penting setelah orde baru berkuasa.  Garis massa adalah sebuah line atau sebuah garis ideology yang dianut secara militan dan mendalam oleh massa yang telah mendapatkan pendidikan politik dari partai politik secara intens.
Saat orde lama,  garis massa menjadi perhatian ilmu politik karena semangat rakyat yang baru saja merdeka masih menggebu-gebu untuk menunjukkan identitas nasionalnya.
Kini massa yang ada adalah  mayoritas floating mass (massa mengambang). Bahkan adanya sentimen parsial di tingkat grass root masih kerap melihat ‘baju’ orang.
Dengan begitu, rakyat Indonesia yang mayoritas lebih memilih damai, dipastikan secara mayoritas lebih baik menjadi massa mengambang daripada berdebat dengan tetangganya yang terlihat lain pakai ‘baju’lain dan tentunya beda pendapat.
Agaknya silent majority dan massa mengambang masih akan terus terjadi di Indonesia karena ideologi sekarang, entah mau pakai baju apa saja, adalah ; mayoritas ber-ideologi merkantilisme, di mana setiap orang secara sah boleh bermimpi akan menjadi pelaku ekonomi yang bertarung di pasar bebas kapital-free market liberal. Survival of the fittest.
Seperti di Amerika bahwa American Dream adalah menjadi impian sah setiap orang, bahkan seorang buruh bekerja secara spartan, karena dalam benaknya dia bermimpi akan berkesempatan menjalani gaya hidup luks. (*)

(oleh :Mung Pujanarko, pernah berkuliah di FISIP Komunikasi Universitas Sam Ratulangi Manado-Sulut, kemudian Tamat S1 Hubungan Internasional FISIP Universias Negeri Jember Jawa Timur, Alumnus Program Magister pada Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Setuju

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons