cari kata

Selasa, 27 Maret 2012

Tipologi Massa dan Eskalasi CRRRC

Massa demonstran di Indonesia relatif tidak memiliki basic kohesivitas yang kuat seperti halnya massa pendemo di Korea Selatan atau Jepang.
Setelah pergolakan tahun 1965 dimana massa yang berbasis sosialis  dibenturkan dengan massa yang berbasis kapitalis, langsung menjadikan massa di Indonesia menjadi massa mengambang (floating mass).
Dalam berbagai aksi demo, terlihat jelas bahwa tipologi floating mass atau massa mengambang  adalah tipologi struktur massa yang membentuk aksi demo.
Di Jepang atau Korea Selatan kita melihat kohesivitas massa begitu kuat. Kita bisa melihat  di televisi  saat buruh dan juga mahasiswa Korea Selatan atau Jepang  berdemo, terlihat kompaknya.
Ini karena massa  Korea Selatan dan Jepang  bukanlah floating mass melainkan berasal dari struktur masyarakat yang satu.  Masyarakat Jepang dan Korea Selatan relatif  tidak terlalu terfragmen dengan suku agama dan ras. Seluruh semenanjung Korea adalah kebanyakan orang Korea, sukunya sama. Orang Jepang juga begitu seluruh Jepang sukunya adalah ras Jepang,  tidak ada fragmen kesukuan yang signifikan. Ada guyonan yang mengatakan kalau pergi ke Korea dan Jepang ya kita ketemunya dengan orang-orang yang sama, artinya orang Jepang yang  rasnya juga homogen.
Sementara di Indonesia, terdiri dari beragam suku yang memiliki adat  dan kebiasaan yang membentuk alam pikiran dan tindakan masing-masing.
Tipologi Massa di Indonesia adalah satu tipologi yakni : massa mengambang (floating mass). Sekali lagi, massa mengambang terjadi setelah benturan dua massa berideologi  fundamental sosialis dan fundamental kapitalis,  berbenturan dengan hebat, yang mengakibatkan jutaan orang menjadi korban. Setelah benturan usai, Orde Baru menikmati menggiring massa yang memang telah mengambang dan tidak punya ideologi yang fundamental lagi.
Masyarakat yang tak punya ideologi dan hanya memiliki  satu jalur pikiran kapitalisme, menjadi massa yang makin mengambang dan renggang.
Dalam aksi demo, terlihat massa mengambang memiliki durasi demo dan endurance yang lebih sedikit daripada massa yang  memiliki ideologi fundamental.
Di Korea dan Jepang meski sama-sama kapitalis, namun pemahaman akan wawasan ideologi kebangsaan berbeda dengan di Indonesia. 
Di Jepang dan Korea Selatan penguasa lebih memiliki niat dan kesadaran untuk tidak melebarkan kesenjangan sosial. Petani dan Buruh sebagai anak bangsa dilindungi, diberi jaminan sosial dan memiliki kebanggaan akan kemajuan teknologinya. Di sisi lainnya, pengusaha kaya dan konglomerat Jepang dan Korea Selatan juga masih memiliki rasa kebersamaan sebagai satu bangsa, kebanggaan yang sama. Karena itu biarpun dalam aksi demo, terlihat kebanggaan sebagai orang Jepang dan Korea masih tertanam kuat di benak massa. Kebanggaan sebagai citizen (warga negara) Jepang dan Korea Selatan menciptakan kohesivitas massa dalam aksi demo mereka.

Eskalasi CRRRC

Di dalam aksi demo, yang dapat terjadi di mana saja, terdapat kecenderungan Eskalasi Massa CRRRC : (crowd yang dapat berkembangcmenjadi  rage /kemarahan dan selanjutnya dapat bekembang menjadi raid dan kemudian riot/kerusuhan dan terakhir menuju situasi chaos/huru-hara besar) dapat terlihat kecenderungannya.

Ada aksi demo yang hanya sampai tahapan crowd saja kemudian bubar, ada yang sampai tahap rage dan raid kemudian dipadamkan, adapula yang sampai  riot dan chaos, tanpa terlokalisir dengan baik.

Aksi demo yang terjadi pada tipologi massa mengambang (floating mass) biasanya terlihat awalnya bergerak solid menuju tempat demo, namun karena massa pendemo terfragmen menjadi banyak ragam kelompok, maka pendemo sendiri bisa terjebak menjadi saling gesekan dan saling prasangka antar kelompok pendemo. Kohesivitas massa mengambang amat lemah.
Namun adanya provokasi intern dan ekstern yang memancing rage dari massa demonstran mengakibatkan aksi tidak lagi hanya sebatas crowd. Aparat keamanan biasanya telah paham akan ‘panic mass management’. Rage dan raid biasanya cenderung membuat barisan  massa panik dan terurai, tercerai-berai. Dan aparat hanya perlu mengantisipasinya dengan  ‘panic mass management’.

Namun  dalam situasi tertentu, bisa terjadi demo yang diselenggarakan oleh tipologi massa mengambang (floating mass) dapat segera mencapai momentum kuat, dan menuai simpati dari masyarakat luas apabila dalam demo terjadi ‘kecelakaan’ yang mengakibatkan  beberapa orang demonstran menjadi martir.

Dalam aksi demo yang dilakukan oleh gabungan kelompok-kelompok massa, -biarpun dengan kohesivitas awal lemah-, namun bila terjadi situasi gugurnya martir dalam aksi demo, maka seketika dapat segera meningkatkan kohesivitas massa itu  menjadi solid.
Momentum terjadinya fenomena martir dalam  aksi demo, segera membawa opini publik yang berlawanan dengan opini kekuasaan.
Bila opini publik telah menjadi tsunami opini, bisa menerjang kekuasaan dengan cepat.
Untuk itu kita semua sebagai pemerhati imu sosial dapat senantiasa mengamati gejala-gejala (sign) dalam masyarakat sosial kita.

(oleh Mung Pujanarko : pernah bekerja sebagai wartawan 'Surya' Surabaya dan Duta Masyarakat biro Jakarta. Saat itu sebagai wartawan seringkali meliput aksi demo, baik itu demo di depan Istana Negara, demo di Bundaran HI dan tempat-tempat pendemo lainnya. Kini menempuh thesis pada Magister Jurnalistik IISIP Jakarta dan mengajar pada FIKOM Jayabaya dan FISIKOM Unida Bogor)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons